RUU TNI dan Dwi Fungsi TNI

Oleh: Mustajab al-Musthafa

Pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menyeruak ke publik setelah tersebar informasi adanya rapat pembahasan revisi UU TNI oleh Panitia Kerja di Hotel Fairmont Jakarta pada tanggal 14-15 Maret 2025. Rapat yang dihadiri oleh pihak pemerintah, yang dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan anggota Panja Revisi UU TNI DPR digeruduk oleh para aktivis yang memprotes pembahasan RUU TNI tersebut. Mereka memprotes terkait urgensitas revisi undang-undang dan pelaksanaan rapat yang digelar tertutup dan ditempat mewah atau bukan di Gedung DPR (Kompas,16/3).

Secara subtantif, revisi UU TNI 2004 tersebut secara umum meliputi masa pensiun dan penempatan anggota TNI aktif di kementerian/lembaga. Kritikan lebih banyak mengarah kepada permasalahan penempatan anggota TNI aktif di kementerian/lembaga dan pelaksanaan rapat di luar Gedung DPR.

Terkait dengan penempatan anggota TNI aktif di berbagai kementerian dan lembaga, revisi tersebut disinyalir oleh sementara pihak untuk mengokohkan legitimasi atas penempatan yang selama ini sudah berlangsung sekaligus untuk memperluas ruang penempatan, utamanya pada posisi strategis seperti di lembaga yudikatif: Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Sementara di lembaga eksekutif, sudah berlangsung selama ini di Kementerian Pertahanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan terakhir adalah pengangkatan Mayor Teddy sebagai Sekertaris Kabinet. Untuk yang terakhir ini, cukup menimbulkan perdebatan.

Revisi terkait penempatan tersebut dikhawatirkan menjadi jalan kembalinya TNI dalam politik praktis seperti pada era Orde Baru yang lalu. Rezim kekuasaan menjadi otoriter yang menimbulkan banyak permasalahan yang dipersepsikan sebagai akibat dari Dwi Fungsi ABRI. Memori Dwi Fungsi ABRI (sekarang TNI dan Polri) itu kembali terbuka ketika Presiden Prabowo Subianto dan beberapa pejabat lainnya di pemerintahan menunjukkan gelagak otoritarianisme. Setidaknya terkesan memaksakan kehendak, anti kritik atau mengabaikan aspirasi publik, yang salah satunya pada kasus Makan Siang Gratis (MBG) dan Kabinet Gemoy. Sementara mereka juga memiliki rekam jejak yang terhubung dengan rezim penguasa Orde Baru.  

Pada pelaksanaan rapat pembahasan RUU TNI ini, fokus kritik sebenarnya terletak pada inkonsistensi pemerintah dan anggota parlemen dalam menjalankan kebijakan efisiensi. Saat anggaran diberbagai kementerian/lembaga dan daerah terkena efisisiensi yang sangat besar, justru mereka melakukan rapat ditempat mewah. Padahal sudah tersedia kantor dan ruang rapat yang sangat memadai dan representatif untuk pelaksanaan rapat-rapat mereka. Ini masalah kepekaan, yang seharusnya pemerintah dan anggota parlemen telah lulus.

Selain itu, urgensitas revisi undang-undang tersebut juga dipertanyakan. Rapat dilakukan terburu-buru dan cenderung menghindari partisipasi publik secara luas. Pola pembahasan undang-undang seperti ini telah berulang kali terjadi pada era sebelumnya seperti UU Cipta Kerja dan yang lainnya hingga ada yang diputuskan pada dini hari, seolah negara dalam keadaan darurat.

Dikotomi Sipil-Militer

Adanya dikotomi sipil dengan militer dalam pengisian jabatan sebenarnya merupakan bagian dari manajemen kekuasaan dan pemerintahan. Sejatinya dalam hal kekuasaan atau kelembagaan politik, aspek pembagian tugas, profesionalitas dan stabilitas kekuasaan didalamnya harus dikelola dengan baik. Selain itu ada aspek historikal yang turut berpengaruh dalam diskursus jabatan sipil-militer ini.

Seiring perjalanan waktu terjadi perkembangan dalam kehidupan manusia yang tentunya menyertakan tingkat kompleksitas permasalahan yang juga beragam dan rumit, termasuk dalam konteks kekuasaan dan pemerintahan. Untuk itu tentu dibutuhkan manajemen kekuasaan dan pemerintahan yang baik pula—good government and clean governace—sebagai ikhtiar untuk bisa menjalankan kekuasaan dan pemerintahan yang lebih baik, bisa mengatasi masalah yang ada dan mencegah munculnya masalah baru yang rumit. Olehnya itu adanya pembagian tugas menjadi sangat penting. Prinsip “ the right man on the right pleace” merupakan suatu keharusan. Asas profesionalitas harus dikedepankan dalam pengisian jabatan. Inilah yang akan menjamin stabilitas kekuasaan secara substantif. Tapi bagaimana penerapannya sekarang?

Pencermatan tentang tata kelola kekuasaan dan pemerintahan selama ini atau setidaknya mengambil masa pemerintahan sebelumnya (10 tahun terakhir)—supaya mudah diingat, mengingat publik cenderung pendek daya ingatnya—prinsip profesionalitas itu cenderung diabaikan dan warna kolusi dan nepotisme lebih kentara. Ini bukan berarti era kepemimpinan sebelumnya lebih baik. Setidaknya sepuluh tahun terakhir sampai sekarang ini, manajemen kekuasaan dan pemerintahan amburadul. Dampaknya terlihat pada “kesehatan” negara, salah satunya dan utamanya sektor ekonomi dan keuangan.  

Pertumbuhan utang 10 tahun terakhir mencapai angka 200% (Rp2.608,78  triliun pada akhir 2014 menjadi Rp8.461,93 triliun pada Agustus 2024). Eksploitasi sumber daya alam yang massif oleh para investor dibidang pertambangan, perumahan dan perkebunan turut menyumbang kerusakan lingkungan yang cukup parah. Setidaknya terlihat dari peristiwa banjir yang berulang-ulang dan merata pada semua daerah. Sementara angka kemiskinan terus bertumbuh jika dilihat dari anggaran bantuan sosial di kementerian dan pemerintah daerah khususnya yang mensyaratkan penerima dari keluarga kurang mampu. Bukan dari data BPS, karena BPS cenderung mencatatkan angka yang turun tapi dengan standar yang sangat rendah. 

Gambaran lainnya terlihat pada pengisian jabatan di Kementerian/Lembaga dan BUMN yang diisi oleh orang-orang yang terafiliasi secara politik dengan pemerintah dan partai politik pendukungnya termasuk didalamnya para relawan pemilu.

Kondisi tersebut tentu memprihatinkan jika kebijakan serupa terus berlanjut bahkan lebih parah dari sebelumnya. Misalnya pembentukan kementerian dan lembaga baru, penambahan jabatan seperti wakil menteri yang bahkan jumlahnya ada yang lebih dari satu, sehingga disebut “kabinet gemoy”. Jabatan-jabatan tersebut juga diisi oleh para pendukung presiden-wakil presiden, baik dari kalangan partai politik dan relawan politik.

Semua itu menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa dalam pengelolaan negara, kekuasaan dan pemerintahan.

Sementara secara historikal, pelibatan anggota militer aktif dalam jabatan-jabatan publik seperti pada era Orde Baru, telah membangun iklim kekuasaan yang bersifat sentralistik dan kaku. Budaya politik yang mengikuti pola militer yang satu komando, tidak terbiasa dengan kritik dan pendapat yang berbeda, menciptakan iklim kekuasaan yang cenderung otoriter. Ini tentu kontra produktif untuk era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Permasalahanya, apakah anggota tentara aktif (bahkan yang pensiun) mampu beradaptasi secara cepat dengan budaya keterbukaan?

Performa kepemimpinan para pensiunan militer yang telah menduduki jabatan publik selama ini masih kental karakter militernya sebagaimana telah disebut sebelumnya. Cenderung kaku, anti kritik dan mengabaikan saran/pendapat yang berbeda. Ini yang turut melahirkan kekhawatiran kembalinya masa kegelapan Orde Baru dalam bentuk Dwi Fungsi TN–beserta Dwi Fungsi POLRI—melalui revisi UU TNI.

Jika sekiranya para anggota TNI-Polri dan para pensiunannya yang selama ini menduduki jabatan publik-politik mampu menunjukkan profesionalitas dan menunjukkan karakter akomodatif terhadap kritik dan saran publik, maka tidak akan muncul penolakan pelibatan mereka pada jabatan-jabatan publik-politik. Karena tidak ada juga jaminan bahwa orang dengan latar belakang sipil tidak akan berlaku otoriter, tetapi setidaknya trauma atau kenangan masa lalu tidak mudah hilang.

Permasalahannya memang tidak terletak pada dikotomi sipil-militer, tetapi lebih pada perwujudan “good government and clean covernance”. Dibutuhkan perwujudan manajemen kekuasaan dan pemerintahan yang baik sehingga tidak menghasilkan pejabat dengan latar belakang sebagai “orang sipil” yang korup atau  “anggota militer”  yang otoriter.[]

*Penulis Analis Politik MSPI

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top