“Saya berpikir, maka saya ada” : Refleksi Ide, Identitas, dan Visi Hidup: Eksistensi yang Terlupakan?

Oleh: Reza Noormansyah

Ungkapan “Cogito, ergo sum” atau “Saya berpikir, maka saya ada” dilontarkan oleh René Descartes, penemu filsafat modern, yang menandai titik balik cara manusia dalam memahami eksistensinya. Descartes menegaskan bahwa kesadaran akan diri yang muncul melalui aktivitas berpikir adalah bukti fundamental dari keberadaan seorang manusia. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah, berpikir tentang apa dan mengapa harus berpikir dengan cara itu?

Setiap entitas sosial, baik individu, komunitas, maupun negara, berpikir dalam kerangka ide yang mereka anut. Pemikiran bukanlah aktivitas netral, melainkan selalu dibingkai oleh sistem nilai yang mendasarinya. Sistem nilai ini ditegaskan oleh pendekatan konstruktivisme, bahwa realitas dibentuk dari ide dan identitas. Alexander Wendt menegaskan bahwa “anarchy is what states make of it”. Struktur dan makna bukan sesuatu yang objektif, melainkan dikonstruksi melalui interaksi dan pemahaman kolektif.

Dari sinilah pentingnya jalur ideologis. Setiap sistem nilai membawa ide, visi, dan arah tindakan yang khas. Maka, mengenali jalur masing-masing bukan sebatas pilihan, melainkan prasyarat untuk menjaga konsistensi dan keutuhan identitas. Salah mengenali jalur adalah awal dari keretakan pemikiran. Lebih jauh, bisa berujung pada kehilangan diri.

Manusia juga tidak cukup sekadar berpikir. Manusia musti berpikir berdasarkan ide dasar yang menjadi sumber dan tolok ukur semua pemikiran dan tindakan. Aktivitas berpikir harus terarah, karena berpikir bukan hanya bukti eksistensi, tetapi pembentukan pola pikir dan pola sikap yang semestinya berlandaskan rujukan yang memuaskan akal, menenteramkan hati, dan sesuai dengan fitrah manusia.

Maka, di tengah arus interaksi pemikiran dan identitas, kesadaran “berpikir” harus lahir dari jawaban atas pertanyaan mendasar: ide apa yang sedang kita bawa dan mengapa kita harus mengemban pemikiran tersebut? Di sinilah refleksi ideologis menemukan urgensinya, yaitu agar kita tidak sekadar “ada”, tetapi benar-benar bermakna, utuh, visioner, dan selamat.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top