
Oleh: Dr. Riyan, M.Ag
Greenpeace Indonesia menyebut, alih fungsi lahan di daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi menjadi salah satu penyebab parahnya banjir di Bekasi baru-baru ini.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, area terbangun mencakup 42 persen dari total luas DAS Kali Bekasi pada 2022. DAS ini melalui daerah Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, Sentul, dan Hambalang, Kabupaten Bogor.
“Perubahan fungsi lahan ini mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpasan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya,”¬ ujar Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, dalam keterangannya, Kamis (6/3/2025). “Dan mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi yang berada di lokasi yang lebih rendah,” imbuh dia.
Sapta mengatakan, jumlah area terbangun di DAS Kali Bekasi melonjak sekitar 36 persen dari yang sebelumnya 5,1 persen di 1990. “Kini, lahan hutan di wilayah DAS Kali Bekasi hanya tersisa sekitar 1.700 hektare atau kurang dari 2 persen luas wilayah DAS,” papar Sapta.
Sedangkan Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yus Budiono, mengungkapkan bahwa ada empat faktor utama penyebab banjir di wilayah ini, yaitu penurunan muka tanah (land subsidence) berkontribusi 145 persen terhadap peningkatan resiko banjir, perubahan tata guna lahan (land use change) sebesar 12 persen, kenaikan muka air laut sekitar 3 persen, serta fenomena cuaca ekstrem.
Lebih lanjut Yus menjelaskan bahwa banjir di Jabodetabek bisa dikategorikan ke dalam tiga jenis utama, yakni banjir akibat hujan lokal (torrential rain flood), banjir akibat luapan sungai (fluvial flood), serta banjir akibat pasang laut (coastal flood). “Banjir yang terjadi beberapa waktu lalu lebih dominan sebagai fluvial flood, di mana hujan terjadi lebih intens di bagian hulu dan menyebabkan luapan air di sungai-sungai besar,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN Luki Subehi menyampaikan bahwa banjir yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi juga dipengaruhi oleh pengelolaan sumber daya air dan perubahan tata guna lahan di wilayah perkotaan. Ia menekankan bahwa pengurangan luas hutan dan daerah resapan air di wilayah hulu, khususnya di sepanjang Sungai Bekasi dan Ciliwung, menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya aliran air permukaan yang berujung pada banjir. “Banjir di Bekasi, misalnya, terjadi hampir setiap tahun karena daerah hulunya kurang mampu meresapkan air, sementara daerah datarannya telah dipenuhi permukiman,” katanya.
Selain itu, sistem drainase di Jabodetabek yang sudah tidak memadai turut memperparah kondisi banjir. Luki menyoroti bahwa banyak sistem drainase yang masih menggunakan perhitungan lama tanpa memperhitungkan peningkatan hujan ekstrem akibat perubahan iklim dan perkembangan tata guna lahan. “Pembangunan kawasan permukiman baru sering kali tidak diiringi dengan sistem drainase yang memadai, sehingga limpasan air hujan tidak dapat tertampung dengan baik,” katanya.
Menurutnya, salah satu langkah mitigasi yang perlu segera dilakukan adalah pengerukan sungai dan saluran air sebelum musim hujan tiba untuk meningkatkan kapasitas aliran air.
“Di beberapa negara, seperti Belanda, konsep ‘Room for Water’ diterapkan dengan menyediakan kolam-kolam penampungan air di sekitar sungai. Namun, di beberapa wilayah Jabodetabek, yang ada justru ‘Room for People’, di mana banyak pemukiman dibangun di sekitar sungai,” ujarnya.
Lebih lanjut Luki menjelaskan pentingnya koordinasi antarwilayah dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), terutama untuk sungai yang melewati lebih dari satu kabupaten atau kota. “Menurut PP No. 37 Tahun 2012, pengelolaan DAS harus dikoordinasikan oleh gubernur agar kebijakan di hulu dan hilir selaras, termasuk dalam penerapan aturan konservasi tanah dan air,” katanya.
Secara sosiologis, penjelasan tiga pakar ini memberikan pelajaran bagi kita terkait peran individu, masyarakat, dan negara dalam menangani secara komprehensif terkait banjir. Ruang air (room for water) dikalahkan dengan ruang pemukiman (room for people). Ini tentu tidak sekadar di Bekasi, tetapi di daerah lainnya. Manakala negara (baca: pemerintah) membiarkan dominasi ideologi yang memberikan ruang kepada penguasaan lahan secara liberal (room for capitalist), dari hulu sampai hilir, tampaknya peran individu dan masyarakat tidak akan mencukupi untuk mengatasi permasalahan banjir ini.
Demikian.
*Penulis Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia – MSPI