
Oleh: Hasbi Aswar
Gerakan rakyat memang tidak bisa dipandang remeh saat berhadapan dengan kebijakan – kebijakan pemerintah yang tidak populis. Sejak dua tahun terakhir saja, aksi – aksi protes berhasil membatalkan hasrat politik penguasa yang tidak populis seperti saat DPR ingin mengubah ketentuan MK terkait syarat pencalonan kepala daerah tahun 2024 lalu. Protes terhadap rencana kenaikan pajak 12% juga berhasil dibatalkan. Terakhir, kebijakan penundaan pengangkatan ASN dan PPPK juga akhirnya dibatalkan oleh protes.
Ini baru sekelumit saja, ada ribuan cerita yang bisa kita suguhkan betapa rezim termasuk militer tidak bisa berbuat apa – apa saat rakyat bersatu dan mendesak terjadinya perubahan, entah itu perubahan kebijakan atau perubahan negara sekalipun.
Itulah mengapa, slogan “rakyat bersatu tak bisa dikalahkan” itu memang sangat logis dan nyata.
Menyadari kekuatan ini, rezim juga sering kali melakukan kontra narasi agar publik tidak bersatu, atau bahkan kontra-aksi dengan mendorong gerakan – gerakan pro – pemerintah untuk tampil seolah – olah rezim masih banyak yang mendukung. Saat ini penggunaan buzzer bayaran di media sosial menjadi sangat laris digunakan oleh rezim.
Rakyat memang punya kekuatan riil yang bisa mengubah apa saja namun kekuatan ini sifatnya netral. Artinya, ia bisa digunakan untuk kepentingan rakyat secara nyata atau juga bisa dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik.
Pesta pemilu misalnya. Suara dan dukungan rakyat selalu menjadi ajang rebutan oleh para politisi dengan segala intrik yang mereka lakukan entah dengan janji – janji atau pemberian insentif berubah barang, sembako atau yang lainnya. Suara rakyat inilah yang menjadi legitimasi mereka memimpin. Saat golput meningkat, para politisi menjadi khawatir, karena itu berarti legitimasi rendah dan peluang pembangkangan publik juga berpotensi lebih besar.
Meski dalam Sejarah rakyat bisa bergerak untuk melakukan perubahan misalnya menumbangkan rezim kolonial menuju kemerdekaan politik, atau menumbangkan rezim otoriter ke demokratis namun perubahan itu terkadang belum cukup untuk betul – betul membawa Masyarakat ke arah yang betul – betul baik sesuai harapan perubahan yang mereka perjuangkan.
Seperti, negara – negara Arab yang gelisah dengan dominasi Turki Usmani di era demam nasionalisme global abad 19. Mereka kemudian mengangkat slogan nasionalisme ini untuk memerdekakan diri dari Turki, namun setelah Merdeka dari Turki mereka malah masuk ke dalam jeratan politik Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat sampai saat ini.
Tidak hanya itu, negara – negara Arab dibuat tidak berdaya dengan pencaplokan Zionis atas tanah Palestina yang terus dibantai sampai hari ini.
Dengan ide nasionalisme yang memerdekakan Arab dari Usmani tidak membuat Nasib mereka lebih baik daripada mereka berada di bawah kekuasaan Usmani yang pernah menjadi negara nomor wahid di dunia. Arab malah dipecah belah, kalau tidak dicaplok seperti di Irak, Suriah, Yaman, Libya, mereka dijadikan boneka politik negara besar.
Di Indonesia pun sama, setelah hampir se-abad Merdeka, cara berpikir dalam membangun negara juga masih tetap sama yakni berkiblat ke metode penjajah dalam berbagai dimensi. Hal ini yang membuka ruang berbagai kepentingan asing tetap masuk di Indonesia seperti dalam pengelolaan tambang, ketergantungan kita terhadap impor dan mata uang asing, dan kerentanan intervensi politik asing dalam politik kita. Belum lagi bicara soal budaya kita yang lebih dominan dipengaruhi budaya popular barat baik melalui Hollywood atau budaya Korea.
Dari sisi potensi, rakyat Indonesia telah banyak mengalami fase perjuangan. Ratusan tahun melawan penjajah. Pernah menjatuhkan Soekarno, dan menumpas Partai Komunis Indonesia. Pernah menjatuhkan rezim otoriter Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun. Tapi, setiap energi yang digunakan untuk perubahan itu hanya mengganti elite – elite politik saja tanpa mengubah gagasan atau paradigma politik yang juga menjadi persoalan mendasar negara ini.
Sejak Indonesia merdeka sampai kini, dominasi asing sangat kuat yang Soekarno pun tidak bisa mencegahnya. Bahkan sampai harus terguling pada akhirnya. Setelah itu sampai kini, Indonesia betul – betul masuk dalam pusaran politik sekuler dan liberal di mana negara kapitalis asing dan oligarki domestik menjadi pemain dominan dalam politik di negara ini. Mereka menguasai sektor – sektor strategis di negara kita melalui berbagai produk undang – undang.
Saat masyarakat merasa kecewa kemudian menumbangkan para rezim itu, para kapitalis tidak tersentuh sama sekali. Bahkan mereka dapat ikut bermain dengan mendukung elite-elite baru, atau partai – partai yang dominan agar kepentingan bisnis mereka tetap aman.
Sama halnya, saat Prabowo diharapkan jadi alternatif terhadap kegagalan Joko Widodo di periode pertama, meski banyak yang terbius oleh propaganda framing tim Prabowo, tetap saja Prabowo tidaklah membawa gagasan baru yang menyentuh persoalan sistemik negeri ini. Bahkan Prabowo juga berada di jajaran oligarki yang selama ini mengambil untung dari kekayaan alam strategis negeri ini.
Pemilu kemarin, 2024, Anies Baswedan yang diharapkan jadi sang alternatif. Sayangnya kalah oleh kecurangan rezim. Tapi, seandalnya Anis menang presiden, ia juga sama secara ideologis. Apalagi track record politiknya yang pernah berada di lingkaran rezim penguasa baik di era Joko Widodo maupun rezim Prabowo saat ini.
Oleh sebab itu, agar kekuatan rakyat betul – betul dapat efektif melakukan perubahan ke arah yang ideal maka butuh pemahaman ideologis agar dapat melihat semua sisi dari sebuah persoalan untuk menemukan akar masalahnya.
Hal ini penting, sebab jika hanya fokus terus menerus menyerang kebijakan atau menyerang rezim yang ada maka, perubahan hakiki tidak mungkin tercapai. Energi malah akan banyak habis untuk mengadvokasi isu dan berhadapan dengan represifitas rezim secara terus menerus.
Misalnya, saat pemerintah membuat rencana kebijakan yang tidak populis dengan menaikkan pajak atau saat pemerintah membuat UU Ciptaker (Omnibus Law), atau revisi UU KPK. Terkadang pemerintah mau mendengar tuntutan aksi, tapi terkadang juga tidak walaupun aksi telah dilakukan berhari – hari dengan jatuhnya korban baik dari kalangan demonstran atau pihak keamanan.
Setelah aksi bubar. Kondisi juga tidak membaik. Bahkan jika tuntutan demonstran terhadap pemerintah dikabulkan.
Semestinya, kerja – kerja gerakan masyarakat harus menarget sistem yang menjadi landasan bernegara kita, dan yang menuntun pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan – kebijakan yang merugikan rakyat.
Kerja – kerja gerakan ini butuh gagasan, organisasi yang solid, serta kerja – kerja tanpa henti siang dan malam.
Jika pun ada kebijakan yang tidak populis, energi tidak dihabiskan ke kebijakan itu, tapi ia digunakan untuk mendelegitimasi sistem yang dominan di negara kita.
Misalnya, saat pemerintah rencana menaikkan pajak 12%, Gerakan tidak hanya mengkritik kebijakan itu yang berdampak pada inflasi ekonomi tapi juga menyorot kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian dengan hanya fokus pada rakyat kecil saja. Sementara, pengelolaan sumber – sumber daya alam diserahkan kepada swasta. Jika demikian, maka target perlawanan bukan hanya pada kebijakan tapi juga pada sistem.
Contoh lain, saat menjelang pemilu, gerakan rakyat tidak sekedar fokus pada menyorot figur kontestan semata tapi juga mengungkap persoalan ideologis di negara ini yang kemudian digunakan untuk menekan para calon pemimpin untuk mau menerima tawaran – tawaran gagasan ideologis yang baru. Gerakan rakyat juga mesti berkompetisi dengan partai – partai penguasa untuk mendekati rakyat, agar rakyat menjadi lebih kritis dan tidak mudah ditipu oleh intrik politik calon penguasa atau partai.
Mengubah sistem itu tidak sesederhana mengangkat pemimpin baru yang buat kebijakan – kebijakan baru.
Mengubah sistem itu berarti mengubah asas dari cara pandang bernegara. Hal ini butuh dukungan rakyat dengan mengubah pola pikir dan kesadaran masyarakat.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan level kontribusinya terhadap masyarakat maka gerakan perubahan mesti mengawali perjuangan mereka dengan ideologi yang jelas agar mereka bisa melihat masalah dengan jernih. Hal ini juga dapat mencegah gerakan dari upaya pengalihan isu atau provokasi dari penguasa. Ideologi juga yang akan menjaga gerakan itu dari sikap – sikap pragmatis baik karena tuntutan kondisi atau desakan masyarakat. Pada akhirnya, Ideologi yang konsep berpikir dan metode perjuangannya jelas akan selalu menjadikan ideologi itu sebagai tolak ukur berpikir dan bertindak.
Sebaliknya, bagi gerakan yang motivasinya sekedar kemarahan kepada kebijakan atau rezim tertentu akan gampang dieksploitasi dan diprovokasi oleh lawan – lawan mereka. Bahkan, energi mereka pun akan banyak terbuang sia – sia dengan aksi – aksi reaktif yang dilakukan atau aksi musiman.
Salah satu chapter dalam Buku Indonesia Gelap, diterbitkan oleh Penerbit Lakesha, tahun 2025