
Oleh: Reza Noormansyah
Mengapa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam justru menjadi lokasi paling brutal bagi eksploitasi lingkungan? Mengapa kerusakan ekologis yang sistematis, seperti akibat tambang nikel, berulang di tempat yang sama, yaitu di wilayah yang kaya raya, tetapi tidak berdaya mengangkat nasibnya sendiri?
Persoalan ini tidak semata-mata bisa ditelaah dari lemahnya regulasi atau perilaku sekelompok individu penentu kebijakan, tetapi tumbuh dari struktur ekonomi-politik yang secara sistematis menempatkan negara sebagai penyedia bahan mentah dan tenaga kerja murah, sementara peran negara sebagai penjaga kehidupan masyarakat dan alam dikesampingkan. Dalam literatur ekonomi politik, kondisi ini dikenal sebagai ciri negara kapitalis tipe buruh, sebuah negara yang tidak menguasai nilai tambah, tetapi didorong untuk terus menyediakan bahan mentah dan pekerja demi kepentingan pasar global.
Ketika Masyarakat Tidak Mempunyai Pilihan
Eksploitasi nikel di pulau-pulau kecil memperlihatkan sebuah paradoks. Alam yang kaya dan melimpah justru menciptakan kemiskinan struktural bagi penduduknya. Salah seorang pekerja tambang memberikan testimoni yang mencerminkan relasi eksploitatif ini, yang kurang lebih “Saya tidak setuju dengan eksploitasi alam dan miris dengan kondisi ini, tetapi tidak ada pilihan lain.”
Pernyataan tersebut adalah potret struktural dari bagaimana negara didesain untuk mengintegrasikan rakyatnya ke dalam sistem produksi global sebagai tenaga kerja murah, sementara akses dan kendali atas sumber daya tetap berada di luar jangkauan masyarakat lokal. Tanah yang dahulu menopang hidup lewat hutan dan laut kini berubah menjadi kawasan industri ekstraktif. Pilihan hidup masyarakat menyempit, dan tambang menjadi satu-satunya solusi yang disodorkan.
Hilirisasi Semu
Pemerintah sering menyebut kegiatan ini sebagai hilirisasi. Namun, bagaimana hilirisasi tanpa industri manufaktur canggih, tanpa pengembangan teknologi nasional, dan tanpa pembangunan kapasitas rakyat (melalui pendidikan, riset, dan pemberdayaan) sebagai produsen nilai tambah?
Praktik yang berlangsung menunjukkan kecenderungan pada hilirisasi buruh dan tanah, dengan porsi yang dominan dibanding penguatan hilirisasi industri secara substansial. Peran pemerintah dalam konteks ini lebih terlihat sebagai fasilitator bagi akumulasi kapital global, sementara fungsi sebagai pengatur pembangunan yang berpijak pada keadilan belum terartikulasikan secara memadai. Dalam kerangka accumulation by dispossession (David Harvey), rakyat dicabut dari akses tanah dan pilihan hidupnya, sehingga bisa dijadikan buruh tetap dalam sistem yang tidak pernah mereka kuasai.
Negara Kapitalis Tipe Buruh: Posisi Terjepit dalam Sistem Dunia
Istilah negara kapitalis tipe buruh dalam analisis kontemporer merujuk pada negara-negara yang terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global sebagai pemasok tenaga kerja murah dan bahan mentah, tanpa kontrol atas proses produksi bernilai tambah. Dalam sistem kapitalisme global, ada negara yang berfungsi sebagai pusat inovasi dan akumulasi (core), dan ada pula negara yang terjebak sebagai penyedia input tenaga kerja dan bahan mentah (periphery).
Negara kapitalis tipe buruh adalah bentuk konkret dari posisi pinggiran ini, di mana negara berdaulat secara administratif, tetapi tersubordinasi dalam rantai pasok global. Berada dalam rantai produksi global sebagai penyedia sumber daya mentah dan tenaga kerja, tetapi terasing dari nilai tambah, teknologi, dan keputusan. Seberapa banyak pun nikel digali, masyarakat tetap terpinggirkan. Kesejahteraan yang dijanjikan tidak kunjung datang, sementara risiko ekologis dan sosial ditanggung secara lokal.
Pulau yang dikenal sebagai taman bawah laut sekaligus menjadi habitat bagi 75% spesies karang dunia dan ribuan jenis biota laut merupakan fondasi ekologis dan ekonomi bagi masyarakat. Namun, celakanya, dinamika yang terjadi di satu lokasi tidak dapat dipahami sebagai kasus yang terisolasi. Pola yang sama juga berlangsung di berbagai wilayah lain dan di pulau-pulau lain, memperlihatkan kecenderungan sistemik berupa kerusakan alam, ketimpangan kuasa, serta beban sosial-ekologis yang ditanggung oleh komunitas setempat.
Reorientasi Kritik: Menelaah Akar Struktural dalam Krisis Eksploitasi
Keseluruhan dinamika ini menunjukkan urgensi negara yang menjalankan fungsi kedaulatan dan keadilan. Peran negara dalam mengatur kehidupan publik memerlukan fondasi nilai yang berpijak pada tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan, tanpa tereduksi oleh dominasi logika akumulasi kapital.
Kapitalisme, sebagai sistem yang mendefinisikan tanah sebagai komoditas, manusia sebagai unit produksi, dan kehidupan sebagai instrumen akumulasi modal, telah membentuk struktur relasi yang mereproduksi eksploitasi secara sistemik. Selama sistem ini tetap menjadi landasan pembangunan, kecenderungan eksploitasi akan terus berlangsung, terlepas dari aktor politik maupun lokasi geografisnya.
Konsep pembangunan yang berkeadilan menempatkan masyarakat sebagai pemegang tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya dan arah kehidupan bersama. Masyarakat adalah aktor ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan umum serta menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan pelestariannya.
Kawasan indah yang saat ini sedang ramai kontroversi eksploitasi memiliki nilai ekologis sekaligus memuat dimensi amanah penciptaan yang meniscayakan perlindungan terhadap ruang hidup sebagai bagian integral dari penjagaan kehidupan masyarakat. Artinya, pembangunan harus direposisi menjadi instrumen untuk menegakkan keadilan dan menjamin keberlangsungan hidup yang bermartabat.