
Oleh: Reza Noormansyah
Setiap 1 Mei, dunia kembali menggema dengan penghormatan kepada buruh atau pekerja. 1 Mei menjadi pengingat tahunan tentang pertarungan panjang pekerja melawan ketidakadilan yang terlembaga dalam berbagai lini produksi dan relasi kuasa. Namun hingga kini, pekerja tetap menjadi entitas yang rapuh dalam rantai nilai global. Mereka menggulirkan roda ekonomi dunia, tetapi nasibnya berjalan di tempat. Upah kerap tak cukup, perlindungan minim, dan nasib masih ditentukan oleh sekelompok kecil pemilik modal yang dominan dalam struktur ekonomi.
Secara mendasar, pekerja adalah orang yang menyewakan jasanya untuk mendapatkan upah. Namun, problemnya terletak pada ketidakadilan struktural, seperti upah minimum yang tidak kunjung sebanding dengan lonjakan harga kebutuhan, kontrak kerja yang menggantung masa depan, serta pengambil kebijakan yang lebih fasih menjadi juru bicara investor daripada menjadi perisai pekerja.
Pada titik ini, penting untuk disadari bahwa masalah pekerja bukanlah sekadar persoalan relasi industrial mikro. Ia adalah cermin retak dari ekonomi-politik global yang membolehkan ketimpangan, menjadikan manusia sekadar faktor produksi, dan menempatkan efisiensi serta keuntungan di atas hidup manusia itu sendiri.
Relasi Eksploitasi yang Tersamarkan
Relasi antara pekerja dan pemilik modal sering dibungkus sebagai “kerja sama saling menguntungkan”. Namun dalam banyak kasus, yang satu menawarkan seluruh tenaganya demi bertahan hidup, sementara yang lain membeli tenaga tersebut semurah mungkin untuk memperbesar margin laba. Relasi ini dilegitimasi oleh sistem hukum dan regulasi pasar, tetapi substansinya tetaplah eksploitasi yang terstruktur dan terlembaga.
Produktivitas menjadi ukuran utama. Tidak mengherankan apabila jutaan orang bekerja keras dari pagi hingga malam, tetapi tetap terjerat dalam ketidakpastian dan kerentanan. Di sisi lain, segelintir elite bisa hidup nyaman hanya dengan menikmati dividen dari sumber daya yang mereka kuasai.
Kita telah terlalu lama hidup dalam tatanan yang menilai manusia semata dari output ekonomi. Tatanan yang memungkinkan akumulasi kekayaan yang luar biasa di tangan segelintir pihak, sementara mayoritas hanya dihitung sebagai statistik tenaga kerja. Relasi ini lahir dari paradigma yang menempatkan asas manfaat di atas keadilan, dan dari sanalah berbagai bentuk pemiskinan struktural bermula.
Beberapa Problem Pekerja Hari Ini
Persoalan ketenagakerjaan hari ini tidak dapat dipahami secara terpisah dari konfigurasi global yang membentuknya. Masalah seperti pekerja lepas (outsourcing), ketimpangan upah minimum, lemahnya perlindungan terhadap pekerja migran, ketidakjelasan status pekerja gig, hingga relasi kerja yang timpang adalah bagian dari tatanan pasar kerja global dalam ekonomi-politik internasional.
Praktik outsourcing, misalnya, adalah bagian dari dorongan global terhadap fleksibilisasi pasar tenaga kerja. Di berbagai negara, pekerja dikontrak jangka pendek secara terus-menerus tanpa status tetap, tanpa akses jaminan sosial, dan tanpa perlindungan masa depan. ILO memang menyerukan prinsip kerja layak (decent work), tetapi Bank Dunia dan IMF justru mendorong negara-negara “berkembang” untuk melakukan deregulasi pasar tenaga kerja sebagai prasyarat stabilitas fiskal dan iklim investasi.
Begitu pula dalam isu pengupahan. Meskipun ILO menekankan pentingnya upah minimum yang layak, kenyataannya kebijakan nasional dibatasi oleh logika kompetisi pasar global. Misal, kenaikan UMP sebesar 6,5% tidak sebanding dengan lonjakan harga kebutuhan pokok yang mencapai 12-15% yang menyebabkan stagnasi daya beli dan mempertahankan siklus kemiskinan struktural. Negara didorong untuk menekan biaya tenaga kerja agar tetap kompetitif dalam sistem perdagangan bebas dengan tanda tanya klausul wajib mengenai standar perlindungan buruh dalam perjanjian perdagangannya.
Eksploitasi terhadap pekerja migran juga mencerminkan kondisi serupa. Meski ILO telah menetapkan perlindungan pekerja migran dalam Migration for Employment Convention 1949 (No. 97) dan Migrant Workers Convention 1975 (No. 143), lemahnya implementasi menunjukkan bahwa konvensi tersebut tanpa daya paksa. Sejak 2020, sebanyak 110.640 pekerja migran non-prosedural asal Indonesia dideportasi dan 2.597 di antaranya dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia. Pekerja migran diperlakukan sebagai komoditas yang berpindah lintas batas serta dipertanyakannya kiprah negara asal.
Di sektor ekonomi digital, Indonesia termasuk dalam 15 besar negara pekerja platform daring. Namun, pekerja gig, dari pengemudi, kurir, hingga konten kreator, masih berada dalam ruang hukum yang abu-abu, tanpa status hukum formal dan tanpa akses perlindungan sosial. Meski ILO telah mengkategorikan pekerja gig sebagai “non-standard workers” dan perlunya regulasi baru, seruan tersebut tenggelam karena perusahaan platform multinasional menjadi aktor dominan dalam rantai nilai global. Tanpa perangkat internasional yang mengikat perusahaan ini secara hukum, tanggung jawab sosial tetap bersifat sukarela.
Persoalan juga ditemukan dalam implementasi UU Ciptaker, yang memperkenalkan narasi fleksibilitas hubungan kerja. Dalam praktiknya, fleksibilitas ini merupakan cerminan dari cetak biru reformasi pasar tenaga kerja yang mendorong liberalisasi dan deregulasi ketenagakerjaan demi peningkatan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business). Narasi tersebut memperlihatkan bagaimana sistem hukum nasional pun diarahkan untuk melayani logika liberalisasi pasar.
Negara Tidak Boleh Netral, Apalagi Absen
Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan pekerja tidak hanya disebabkan oleh lemahnya komitmen nasional, tetapi juga karena negara ditempatkan dalam posisi subordinat oleh sistem internasional yang lebih besar. Namun, justru dalam konteks seperti inilah peran negara harus ditegaskan kembali, yaitu bukan sebatas sebagai fasilitator pasar, tetapi sebagai pelindung pekerja.
Dalam tatanan seperti ini, negara kerap diposisikan sebagai wasit netral antara kepentingan pemilik modal dengan pekerja. Padahal, justru di situlah letak kegagalan fundamentalnya. Negara seharusnya tidak netral dan tidak boleh absen. Negara harus hadir sebagai pelindung kehidupan rakyat dan penjamin keadilan yang konkret, bukan sekadar simbolik.
Negaralah yang memiliki kewajiban, legitimasi, dan kapasitas untuk menolak relasi kerja yang timpang. Negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh warganya yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan, serta menyediakan regulasi yang memudahkan masyarakat mendapat kebutuhan pokok dalam sandang, pangan, papan. Bukan sebagai bantuan, melainkan konsekuensi yang melekat pada amanat kekuasaan.
Paradigma yang dibutuhkan bukanlah yang memandang masyarakat sebagai kumpulan individu kompetitif, tetapi sebagai struktur sosial yang memiliki tanggung jawab kolektif terhadap kesejahteraan umum. Kerja bukan semata transaksi ekonomi, melainkan bagian dari peran sosial manusia dalam membangun kehidupan yang adil dan bermartabat.
Negara yang benar-benar hadir akan memastikan distribusi kekayaan berlangsung adil, membuka akses terhadap sumber daya bagi masyarakat, dan menghapus semua bentuk eksploitasi yang disamarkan atas nama pasar. Dalam tatanan seperti ini, tidak ada ruang bagi pekerja untuk terus-menerus dipaksa memilih antara digaji rendah atau menjadi pengangguran.
Perlu Perubahan Paradigmatik, Bukan Tambal Sulam Regulasi
Ketimpangan ini bukan akibat dari penyimpangan praktik semata, melainkan produk dari tatanan yang menjadikan manfaat material sebagai asas hubungan antar manusia, menggantikan asas keadilan yang seharusnya. Setiap kali tuntutan pekerja direspons dengan penyesuaian regulasi atau kenaikan upah yang tak sebanding, kita hanya memperbaiki atap dari bangunan yang fondasinya telah rapuh. Kita seolah diajak percaya bahwa kosmetika kebijakan parsial dapat menyelesaikan kerusakan sistemik.
Yang dibutuhkan bukan sebatas revisi teknis, tetapi keberanian untuk mengubah cara pandang terhadap manusia, kerja, dan kesejahteraan,. Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan perbaikan implementasi, karena akar persoalannya terletak pada tatanan yang menempatkan akumulasi kapital di atas kemanusiaan dan keadilan, menjadikan pasar bebas dan investasi sebagai poros utama, sementara nasib pekerja diposisikan sebagai variabel penyesuaian. Selama arsitektur seperti ini dibiarkan mendikte arah kebijakan nasional, upaya memperbaiki nasib pekerja bisa jadi akan terus kandas dalam ruang kompromi yang sempit.
Keadilan tidak akan lahir dari negosiasi yang timpang antara yang kuat dan yang lemah, tetapi dari restrukturisasi total atas struktur yang memfasilitasi ketimpangan dan mengindustrialisasi ketidakpastian, membangunnya ulang dengan meletakkan manusia sebagai pusat, bukan sebagai alat.
Pekerja adalah manusia yang berhak hidup dengan layak, tanpa harus menukar seluruh hidupnya hanya untuk sekadar bertahan. Hidup tidak boleh dibatasi pada kemampuan bertahan, tetapi harus dimaknai sebagai kehidupan yang bermartabat.