Negara, Power, dan Keyakinan: Bagaimana Gaza Menjadi Medan Tempur?

Oleh: Reza Noormansyah

Dalam realitas politik internasional saat ini, mungkin kita sering terkecoh dengan ukuran kekuatan negara, misalnya kekuatan militer, kekayaan sumber daya, atau luas wilayah. Ada dimensi lain yang perlu dicermati, dimensi yang mendasari dan justru menjadi menjadi penentu daya tahan serta pengaruh suatu negara, yaitu konsistensi dalam menjalankan keyakinan atau ideologi negara secara total dalam arena internasional. Negara yang memiliki ideologi atau keyakinan yang utuh dan menjalankannya tanpa kompromi terbukti memiliki kekuatan strategis, bahkan ketika harus membayar mahal kerugian material yang bertubi-tubi. Sebaliknya, negara yang setengah-setengah atau kehilangan kepercayaan terhadap visinya sendiri akan mudah tumbang, dipinggirkan, dan kehilangan relevansi.

Antara AS, Israel, dan Gaza

Amerika Serikat adalah contoh klasik. Dalam beberapa hal, ia gagal dan pernah gagal, kerugian atas invasi di Timur Tengah, kegagalan militer di Vietnam dan Afghanistan, krisis ekonomi, sampai resistensi global terhadap hegemoninya. Namun, AS tetap memimpin karena konsisten dengan American exceptionalism. AS tetap memproyeksikan dirinya sebagai pelindung demokrasi dan pemimpin dunia. Kiprah AS ini menunjukkan bagaimana sebuah keyakinan ideologis bisa menjadi alat legitimasi dan ketahanan jangka panjang.

Demikian pula Israel. Meskipun terisolasi secara moral dan dihujani kecaman internasional, negara ini tidak pernah mundur dari keyakinan ideologisnya, yaitu menuntaskan misi zionisme di atas tanah yang mereka duduki. Ketekunan mereka dalam menjalankan proyek zionisme tersebut menjadikan Israel negara yang solid, kendati sering mengalami kerugian diplomatik, finansial, dan reputasi internasional.

Namun, contoh yang mengejutkan justru Palestina, yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh kelompok perlawanan di Jalur Gaza, tanpa mengecilkan makna perlawanan-perlawanan lain di Tepi Barat. Secara objektif, Gaza adalah wilayah yang di atas kertas tidak layak menjadi aktor strategis, yaitu kecil, diblokade, dan hingga hari ini terus dibombardir. Namun, Gaza memiliki satu hal yang membuatnya tampil terdepan, yaitu konsistensi dalam keyakinan. Di bawah kepemimpinan gerakan perlawanan yang kukuh menolak penjajahan dan kompromi terhadap entitas Zionis, Gaza bertahan dan bahkan menjadi simbol global perlawanan perlawanan yang meskipun secara material hancur, tetapi ia tetap hidup dalam kesadaran dunia. Keyakinan ideologis yang konsisten menjadi soft power sehingga membentuk opini, solidaritas, dan pengaruh.

Negara-Negara Arab yang Kompromistis

Di sisi lain, kasus Gaza ini menunjukkan perbandingan terbalik dengan negara-negara Arab. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Abraham Accord misalnya, mereka justru menunjukkan gejala kekosongan makna. Mereka mengorbankan prinsip demi janji investasi dan stabilitas. Mereka menyerah bukan karena kalah perang, tapi karena kalah visi. Di saat Gaza memilih jalan terjal dengan kepala tegak, negara-negara ini memilih jalan nyaman tapi kehilangan harga diri politik. Mereka tidak lagi yakin pada visi Palestina, tak lagi percaya pada solidaritas umat Islam dan bangsa Arab. Hasilnya? Mereka kehilangan pengaruh moral, kehilangan dukungan umat, dan justru menjadi target kritik karena menyerahkan prinsip demi normalisasi.

Negara-negara seperti Mesir pasca-Arab Spring atau Turki yang bolak-balik dalam aliansi Timur-Barat juga menjadi contoh dari negara yang kehilangan pijakan ideologisnya. Dalam konsep struktur ideasional konstruktivisme oleh Wendt (1999), pola ini disebut sebagai bentuk kejatuhan strategis karena menjauh dari identitas dan ideologi utama. Bendera mereka “Islam” dan/atau “Arab”, tetapi kepentingannya tidak searah, yang artinya adalah bentuk pelepasan terhadap sumber kekuatan non-material. Ini adalah bentuk kehancuran paling sunyi, yaitu saat negara masih berdiri secara fisik, tapi sudah runtuh secara ide.

Gaza: Pertarungan Visi

Mengapa Gaza menjadi medan tempur? Tentu, bukan karena Gaza adalah entitas “adidaya” seperti AS, karena pada kenyataannya pun tidak. Yaitu, karena Gaza konsisten dalam menolak eksistensi penjajahan dan menolak kompromi. Gaza adalah entitas yang tetap berkata tidak pada penjajahan dan memegang teguh ide perlawanan sampai tuntas. Karena itu, Gaza adalah ancaman terbesar bagi hegemoni AS dan Israel yang kompak dalam proyek zionisme. Bukan ancaman secara senjata, tetapi secara ide. Bukan dimusuhi karena peralatan tempurnya, tetapi karena Gaza memberi contoh. Gaza menunjukkan bahwa keyakinan yang dijalankan secara menyeluruhl bisa menandingi proyek penjajahan yang dibangun di atas materialisme, kompromi, diplomasi palsu, dan normalisasi pragmatis.

Gaza telah mengajari dunia dengan perlawanan totalnya. Maka, AS, Israel, dan sekutu-sekutunya (yang memasok senjata, tentara, dll untuk Israel) memusuhi Gaza karena proyek zionismenya terancam. Sementara itu, negara-negara Arab juga tidak nyaman karena Gaza menjadi lembaran kegagalan moral penguasa Arab, mengingatkan pada jalan yang pernah ditinggalkan oleh kawasan tersebut, yaitu perjuangan ide. Gaza memilih untuk menjadi kuat secara prinsip, dan karenanya, meskipun dikepung, diblokade, dan dibombardir, Gaza tidak pernah berhenti melawan. Gaza bertahan, karena kekuatan utamanya bukan terletak pada logistik, tetapi pada ide yang hidup dan diperjuangkan.

Artinya, kekuatan bukan semata hasil dari ekspos militer, ekonomi, wilayah, dan kekuatan hitam-putih yang lain. Namun, semuanya lahir dari totalitas dalam membawa visi. Misi yang konsisten dijalankan menciptakan narasi yang mengukuhkan legitimasi, baik di dalam negeri maupun dalam konstelasi global. Sebaliknya, negara yang tidak yakin pada dirinya sendiri, ataupun menyandarkan eksistensinya hanya pada kepentingan pragmatis-material jangka pendek akan menjadi lemah, kehilangan pengaruh, dan mudah didikte oleh kekuatan lain.

Negara bukan hanya dipandu oleh kepentingan material, tetapi juga oleh ide utama. Ketika negara menyimpang dari idenya, maka ketahanan strategisnya melemah, dan ketika identitas tidak dijalankan secara utuh, maka negara kehilangan arah dan hanya menjadi penonton dari AS, Israel, dan Gaza yang saat ini berperan sebagai pemeran utama. Dalam dunia yang dibanjiri kompromi dan pragmatisme, justru yang memegang prinsiplah yang bertahan. Kuat atau lemah bukan nasib, melainkan hasil dari pilihan atas konsistensi keyakinan.

Gaza adalah cermin yang membuktikan bahwa ide dan keyakinan bisa menjelma menjadi kekuatan yang mengalahkan logika geopolitik klasik. Gaza memang tidak punya apa-apa, tetapi Gaza punya segala-galanya, yaitu keyakinan yang tidak bisa dibeli atau ditaklukkan. Gaza bukan sekadar wilayah geografis, tetapi medan tempur peradaban. Terakhir, jika kita refleksikan pada diri kita sendiri, kita tinggal memilih, visi dan ide yang seperti apa yang akan kita emban dan jalankan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top