MENYOAL KOMUNIKASI POLITIK PEJABAT PUBLIK

Oleh: Dr. Riyan, M.Ag

Mungkin harga cabai rawit naik beberapa saat lalu, sekarang sudah mulai turun. Tapi saran saya jangan terlalu makan pedas dulu. Waktu muda saya sering makan pedas,” ujar Prabowo dalam Pengantar Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (21/3).

Sudah dimasak saja, sudah dimasak saja,” kata Hasan Nasbi (Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/3).

Kita khawatir tenaga kerja produktif ini berkualitas rendah. Jadi jangan heran kalau PSSI itu sulit menang karena main 90 menit berat. Kenapa? Karena gizinya tidak bagus dan banyak pemain bola lahir dari kampung,” kelakar Dadan (Kepala Badan Gizi Nasional/BGN/22/3).

Tiga pernyataan politik pejabat publik, baik dari Presiden, Kepala BGN, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan. Menyiratkan kurang peka dalam merespon terhadap berbagai isu yang berkembang di masyarakat saat ini. Menariknya ketiganya dilontarkan dalam waktu yang berurutan.

Setidaknya ada lima unsur dalam proses komunikasi-termasuk komunikasi politik: komunikator(penyampai pesan) – pesan –media- komunikan (penerima pesan) – efek.

Selain itu, ada prinsip bahwa komunikasi itu bersifat irreversible yang berarti bahwa ketika berkomunikasi dengan orang lain, sangat penting untuk berhati-hati dalam menyampaikan pesan kepada lawan bicara. Karena efeknya tidak bisa ditiadakan sama sekali, meski telah berupaya memperbaiki atau meralat kata, kalimat, dan bahasa yang digunakan. Dengan kata lain, dalam proses komunikasi, pesan yang telah disampaikan kepada komunikan tidak bisa ditarik kembali(Mulyana, 2010).

Kasus pertama terkait pernyataan politik Presiden, merespon harga cabai yang mahal. Dikomentari dengan “jangan makan pedas dulu”. Pihak komunikan bisa dengan mudah meng-copy paste– pesan tersebut dengan kritis: ”Kalau beras mahal, jangan beli beras”, “kalau rumah mahal, jangan beli rumah”, “kalau minyak langka, ya rebus aja”, “kalau cabai mahal mahal, nanam sendiri”, dst.

Kasus kedua, terkait teror kepada jurnalis Majalah Tempo yang dikirimi kepala babi. Maka kepala kantor komunikasi kepresidenan merespon: “ya dimasak aja.” Tentu sangat berbeda dengan pernyataan Kapolri, “Saya sudah perintahkan Kabareskrim untuk melaksanakan penyelidikan lebih lanjut dan kami tentunya akan memberikan pelayanan yang terbaik dalam menindaklanjuti hal tersebut,” ujar Listyo saat kunjungan safari Ramadhan di Medan, Sabtu, 22 Maret 2025, terkait kasus teror kepala babi.

Kasus ketiga, terkait Timnas PSSI sering kalah karena gizi tak bagus. Pernyataan Kepala BGN ini menimbulkan kecaman. Karena jelas pemain nasional gizinya terjamin. Ini tentu karena yang bersangkutan ingin mengedepankan program yang dikelola lembaganya: MBG (Makan Bergizi Gratis). Padahal tidak nyambung.

Masih panjang kalau diuraikan. Tetapi kita menyarankan agar para pejabat publik berhati-hati, walaupun bisa jadi bercanda, dalam menyampaikan pesan komunikasinya. Ingat efek pesan itu tidak dapat dihilangkan, walaupun sudah ada klarifikasi. Mereka tidak berada dalam ruang yang hampa. Tapi penuh tatapan para komunikan, yang jangan-jangan lagi menunggu: kapan pejabat publik ngaco lagi ucapannya, sehingga netizen akan “merujaknya” ramai-ramai. Wah!

Demikian.

*Penulis Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia – MSPI

1.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top