
Oleh: Mustajab al-Musthafa
Kontestasi politik pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah telah lama berlalu, presiden-wakil presiden, anggota legislatif dan kepala daerah terpilih sudah dilantik dan sedang menjalani tugasnya untuk merealisasikan janji-janji politiknya selama masa kampanye. Harapan publik secara umum selalu terkait dengan kesejahteraan. Terlebih dimasa-masa “paceklik” ini, efisiensi bukan hanya pada level negara tapi juga di tataran rumah tangga. Kini para pihak yang telah terpiih itu dituntut untuk mampu merealisasikan janji-janji politiknya, khususnya membawa masyarakat dan negara ini menjadi lebih baik.
Etika Politik
Gegap gempita pesta demokrasi telah berlalu tapi sorotan terhadap intrik politik yang telah terjadi tidak boleh dilupakan begitu saja karena ia turut berpengaruh terhadap keberlangsungan politik pasca pemilu. Salah satu problem yang kita hadapi dalam dunia politik adalah etika, ya etika politik. Alam politik kita masih rendah dalam hal etika politik ini. Suatu kondisi yang bukan saja menjadi problem pada kontestasi politik pemilihan umum tapi juga setelahnya, yakni bagaimana mengelola kekuasaan.
Permasalahannya bukan sekedar “money politics” dan perubahan norma politik pra pemilu, tapi juga tentang pengelolaan pemerintahan dan kekuasaan secara “prudent” dan profesional pasca pemilu. Termasuk didalamnya tentang pembenukan lembaga dan pengisian pos-pos jabatan politik dan penopangnya dilakukan oleh penguasa terpilih. Yang semua itu mengarah pada satu point yaitu etika politik.
Tentu fokusnya bukan pada boleh-tidaknya pemberian kepada pemilih, tidak pula soal sah-tidaknya pencalonan seseorang. Tetapi pada pantas-tidaknya proses pencarian dukungan dengan memanfaatkan titik lemah pemilih dan menggodanya dengan materi dan janji-janji yang muluk-muluk, kepatutan pencalonan yang dilakukan dengan proses pengkondisian dan penyesuaian aturan terlebih dahulu sehingga menjadi sah secara legal-formal dan pengabaian terhadap kapabilitas politik untuk mengisi pos-pos jabatan politik yang ada.
Penilaian etika politik berfokus pada perilaku politik politisi, baik yang duduk di kursi kekuasaan maupun tidak, hubungannya dengan norma-norma dan nilai-nilai politik yang berlaku, tertulis ataupun tidak. Etika politik lebih menekankan soal kepantasan (kepatutan), bukan pada benar-salah ataupun sah-tidak sah.
Kontestasi politik yang telah berlangsung—pemilihan umum (pemilihan presiden-wakil presiden dan anggota legislatif) dan pemilihan kepala daerah—seyogyanya menghasilkan sosok yang paling berkualitas. Karena keterpilihannya merupakan awal dari penugasannya dalam mengemban amanah rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kepada pihak yang memilihnya. Elektablitas memang bisa berhasil mengantarkan pada kursi kekuasaan, tapi jika tidak dibarengi dengan kapabilitas, ia tidak akan bisa menghantarkan pada kesuksesan dalam mengemban amanah kepemimpinan.
Para pemburu kursi kekuasaan, pada level dan bidang apapaun, seharusnya sadar –dan mengingat pesan Aristoteles bahwa peran etis pemimpin bukanlah untuk meningkatkan kekuatannya sendiri, melainkan untuk menciptakan kondisi yang dipimpinnya dapat meningkatkan potensi mereka. Kekuasaan bukanlah untuk menumpuk dan menambah kekuatan penguasa melainkan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada publik agar mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Bukan menciptakan ketergantungan yang justru menjadi alat kooptasi untuk mempertahankan kursi kekuasaan.
Demokrasi yang secara prosedural dipahami sebagai proses rekruitmen politik yang melibatkan masyarakat luas dengan slogannya “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, seringkali dibajak oleh para demagog untuk kepentingannya sendiri. Suara rakyat digiring dan diarahkan bahkan bisa saja dimanipulasi, sekalipun secara legal-formal sesuai aturan. Kepentingannya berlindung dibalik nama rakyat.
Secara substansial demokrasi memang menyimpan problem internal yang menihilkan etika, yaitu terletak pada liberalisme dan sekulerisme yang menjadi basisnya. Norma politik terbangun dari pemisahan dengan agama dan hanya berfokus pada kepentingan manusia. Norma politik yang berlaku mengikuti kehendak dan kepentingan yang berkuasa, sekalipun diatasnamakan rakyat, sehingga ia mudah berubah dan dirubah sesuai kepentingan pengendali kekuasaan.
Maka nepotisme yang memanfaatkan norma dan prosedural politik formal kerap terjadi dan itulah yang telah terjadi. Seseorang tak akan malu-malu memanfaatkan pengaruhnya sebagai politisi atau pejabat untuk kepentingan keluarganya. Kapabilitas tidak lagi dinomorsatukan dan dengan berbagai cara elektabilitas bisa dipermak.
Sementara pihak bertanya, adakah yang salah dari semua itu? Ini bukan soal benar-salah, tapi soal patut ataukah tidak, pantas ataukah tidak! Semua itu memang berjalan sesuai norma dan prosedural politik yang legal, tapi kita menyaksikan bagaimana norma politik itu bisa dirubah. Semua persyaratan formal terpenuhi, tapi apakah ia memiliki kapabilitas untuk mengemban amanah setelah terpilih?
Terlepasnya norma politik dari agama menjadi pintu utama hilanganya etika politik. Terlebih ketika kran politik terbuka luas dan bebas bagi publik ditengah rendahnya pendidikan politik. Praktis politik akan mengalami masalah, kehilangan etika. Prinsip kerja politik menjadi bias, siapapun bisa memasukinya bahkan tanpa pengetahuan dan kapabiltas politik sekalipun. Yang berlaku adalah “trial and error”, bukan “the right man on the right place”.
Padahal sejatinya politik adalah aktifitas yang paling rumit dan paling tinggi karena menyangkut urusan kehidupan banyak orang (publik). Ia seharusnya dimasuki oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan politik yang memadai dan jabatan-jabatan politik diperebutkan oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas mumpuni dalam masalah politik. Itulah mengapa Plato dalam Politeia menekankan pentingnya pendidikan politik calon pemimpin agar terbentuk karakter elok dan baik (kaloskagathos). Beliau pun menekankan bahwa warga negara yang paling baik dan paling cakaplah (cendikiawan, filsuf) yang dapat diangkat menjadi kepala negara. Dalam perspektif politik islam, ada peringatan Nabi Muhammad bahwa apabila suatu amanah diberikan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Profesionalitas Politik
Beberapa bulan terakhir ini publik disuguhi kontestasi politik pengisian kursi kekuasaan, khususnya di lembaga eksekutif (pemerintahan). Pengisian kursi kekuasaan semisal menteri dan kepala badan serta jabatan-jabatan politik lainnya serta jabatan-jabatan penunjang serupa staf khusus dan staf ahli, seyogyanya diisi oleh para profesional. Tapi nyatanya tidklah demikian, bahkan cenderung terlihat sebagai ajang bagi-bagi kekuasaan untuk para pihak yang berjasa menghantarkan sang penguasa menduduki kursi eksekutif tertinggi di republik ini. Tim sukses dan para pendengung (buzzer) pun tak terkecuali mendapatkan kursi walaupun harus diadaadakan.
Sebenaranya negara ini butuh pemimpin profesional, bukan sekedar pemimpin yang punya popularitas. Karena yang kita butuhkan bukanlah penghibur dikala lara, bukan pula dermawan dikala susah, tapi yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara, maju dan mandiri. Mampu mengelola organisasi pemerintahan dengan baik (good government and clean govenrnance) sehingga dapat bekerja dengan baik dan efisien. Mengatur pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, tidak hanya pandai menyerahkannya kepada investor asing dan menumpuk utang tanpa pandai memberdayakan potensi bangsa; SDA, BUMN dan anak-anak bangsa (SDM). Mampu menciptakan pemerataan ekonomi, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Mampu mengorganisir lembaga kekuasaan sehingga memberi pelayanan publik yang berkualitas dan terjangkau, bukan hanya pandai menprivatisasi (swastanisasi) layanan publik. Mampu mendorong dan menciptakan supremasi hukum yang berkeadilan, bukan yang memanfaatkan hukum untuk memukul lawan politik.
Sayangnya suguhan politik cenderung membawa publik terpaku pada pidato-pidato membahana seolah masih dalam masa kampanye yang tebar janji. Efisiensi didengungkan tapi organisasi pemerintahan digemukkan. Penghematan diserukan tapi pelaksanan program yang berbiaya tinggi dijalankan bahkan terkesan dipaksakan. Apa yang kita harapkan dari pola kepemimpinan yang seperti itu?
Pelbagai prestasi pemerintah sekarang dan sebelum-sebelumnya tentu harus diapresiasi positif oleh publik. Tapi sebaliknya, pemerintah juga harus berlapang dada atas kritikan terhadap keterbatasan dan kealpaan yang dilakukannya. Misalnya, g pembangunan infrastruktur yang masif tapi pertumbuhan utang negara/pemerintah terus membengkak. Angka-angka pertumbuhan ekonomi selalu diumumkan positif tapi kesenjangan ekonomi yang masih mengaga. Laporan angka kemiskinan terus menurun tapi angka bantuan sosial terus meningkat. Bisakah kita memperbincangkan hal itu dengan tangan terbuka dan dengan hati yang tulus?
Para politisi yang telah menduduki kursi-kursi kekuasaan—baik di lembaga eksekutif maupunlegistalif dan yudikatif—seharusnya sadar bahwa kepentingan pribadi dan kelompok tetap bisa dicapai dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Idealisme tak mesti luntur untuk mencapai kepentingan politik. Etika tak harus tergerus demi meraih dan mempertahankan kursi kekuasaan. Janji politik masa kampanye tidak mutlak harus direalisasikan, utamanya yang memang tak masuk akal dan tak urgen bgi kepentingan publik dan masa depan bangsa.
Penutup
Etika dan profesionalitas berpolitik hanya akan terwujud denganbaik dalam alam politik yang dihuni oleh orang-orang yang memiliki kemelekan politik yang baik, yang memegang teguh prinsip etika politik, dan yang mengedepankan nalar dalam menentukan dukungan politik. Tidak lahir dan tumbuh pada suasana politik yang pragmatis dan liberal. Popularitas seharusnya berberangan dengan profesionalitasnya.
Olehnya itu para politisi tidak cukup hanya berupaya meningkatkan elektabilitasnya melainkan juga meningkatkan kapabilitas dan kapasitas politiknya. Karena jika terpilih untuk menduduki kursi-kursi kekuasaan, maka tugasnya bukan untuk mengurusi partai politik dan kelompok, melainkan untuk mengurusi negara; mengurusi rakyat dan wilayah dengan sumber dayanya (sumber daya alam dan sumber daya manusia). Dengan tingkat kemelekan politik yang baik, publikpun bisa melakukan kontrol terhadap kekuasaan secara efektif.
Perpaduan antara etika dan profesionalisme para penyelenggara kekuasaan dengan tingginya kesadaran dan kemelekan politik publik akan menciptakan ”check and balance” terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Dengan kondisi itu, dimungkinkan mencapai keghidupan masyarakat yang egaliter, aman dan sejahtera. [mm]
*Penulis Analis Politik MSPI