
Oleh: Dr. Riyan, M.Ag
Secara sosio-historis, di Eropa, menurut Encyclopædia Britannica, kata “radikal” (dari bahasa latin: radix, artinya akar) dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan “reformasi radikal” sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen.
Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.
Sedangkan di Amerika Serikat, umumnya istilah radikalisme berarti ekstremisme politik dalam bentuk apa pun, baik kiri maupun kanan. Komunisme dianggap sebagai radikal kiri, sementara fasisme dianggap sebagai radikal kanan.
Adapun di Indonesia, kolonialis belanda telah menggunakan istilah radikal untuk menstempel negatif para pejuang kemerdekaan. Soekarno juga menggunakan kata radikal dalam konteks pembentukan partai pelopor untuk meraih kemerdekaan. Tapi, intensi penggunaan istilah radikalisme makin muncul seiring maraknya istilah terorisme, berupa ledakan bom Bali 2002. Terutama setelah peristiwa 9/11 di Amerika 2001, dan Bush menuduh Osama bin Laden dengan organisasi Al Qaidah sebagai pelakunya. Sejak itu, kemudia muncul secara global apa yang disebut dengan perang melawan terorisme (war on terrorism).
Bila dicermati, sejarah historis, istilah radikalisme (dan terorisme) saat ini, sebenarnya muncul lebih karena arogansi dan teror yang dilakukan negara-negara imperalis, dalam hal ini AS. Bush saat itu memaksa dunia untuk mengikuti ambisinya yang megalomaniak.
Istilah radikalisme tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Karena secara historis, justru Islam dan para pemeluknya, sejak zaman Nabi SAW mengalami teror dan kekerasan. Ketika terjadi perlawanan, seperti dalam perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Futuh Mekkah, dll. Dikenal istilah jihad, yaitu perang melawan orang kafir dalam menegakkan agama Allah.
Saat ini, begitu peyoratifnya istilah radikal, bila ada muslim yang meyakini jihad fi sabilillah sebagai ajaran Islam (karena faktanya demikian), dicap sebagai kaum radikal. Bila keyakinan itu dipraktekkan, bahkan “hanya” untuk membela diri terhadap teror musuh, seperti yang terjadi dengan Hamas dan mujahidin di Palestina. Hal tersebut dianggap sebagai tindakan terorisme yang dilandasi keyakinan radikal.
Maka implikasi politiknya, terjadi secara sistematis pembingkaian sosial (social framing) yang bertendensi jahat dan ahistoris terhadap ajaran Islam, khususnya jihad fi sabilillah.
Demikian.
*Penulis Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia – MSPI