
Oleh: Dr. Riyan MAg
Kejadian pembubaran diskusi di Kemang menunjukkan betapa barbar dan primitifnya tindakan preman yang mengganggu kebebasan berpendapat. Tindakan ini tak bisa dilepaskan dari dugaan keterlibatan pihak-pihak yang merasa terganggu oleh kritik terhadap kepentingan mereka. Pembubaran serupa juga terjadi dalam aksi Global Climate di Jakarta beberapa hari lalu yang memperlihatkan pola yang sama yang mengindikasikan ada agenda untuk membungkam suara-suara kritis.
Rezim saat ini memiliki karakter populisme otoritarian, di mana kebijakan-kebijakan yang zalim ditutupi dengan citra merakyat. Menjelang akhir masa jabatan, kekhawatiran akan terbongkarnya kebobrokan mereka semakin nyata. Pembubaran acara ini merupakan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan menghindari kritik yang bisa membongkar kebusukan mereka.
Demokrasi, yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan, justru menunjukkan wajah aslinya yang cacat. Kebebasan berpendapat kerap kali dibungkam ketika dianggap mengganggu eksistensi demokrasi itu sendiri.
Di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika, pembungkaman rezim atas protes mahasiswa pro Palestina terhadap kebijakan AS yang mendukung penjajah Zionis yahudi, pun terjadi.
Sikap represif terhadap kritik publik mengkonfirmasi bahwa kebebasan berpendapat, bahkan di negara yang mengklaim denokratis pun, seringkali merupakan ilusi.
Sebaliknya, dalam sistem pemerintahan Islam, kritik terhadap penguasa yang zalim adalah kewajiban. Menyampaikan kebenaran, meskipun berisiko, dianggap sebagai jihad yang paling utama.
Oleh karena itu, masyarakat harus berani berbicara dan menuntut keadilan, karena setiap suara kritis adalah bagian dari perjuangan untuk mencapai pemerintahan yang adil.
Keberanian rakyat untuk bersuara adalah kunci untuk melawan tirani dan mewujudkan keadilan sejati. Wallahu A’lam.