
Hasbi Aswar (Ketua MPSI, dan Dosen HI UII Yogyakarta).
Latihan militer bersama antara Rusia dan Cina baru-baru ini telah menarik perhatian banyak pihak. Dengan berakhirnya latihan pada 16 September, sejumlah pengamat bertanya-tanya apakah manuver ini merupakan provokasi langsung terhadap Jepang, yang terus mengawasi wilayah maritimnya dengan ketat ataukah bagian dari saling provokasi antara blok China dan AS terkait isu laut China Selatan.
Selama beberapa tahun terakhir, Cina memang telah bersikap semakin agresif di Laut Cina Selatan. Latihan militer antara kekuatan global sudah menjadi hal biasa. Pada tahun ini saja, Amerika Serikat dan Filipina telah menggelar latihan besar bersama, sementara tahun lalu kita menyaksikan latihan Garuda Shield antara Amerika Serikat dan Indonesia, yang melibatkan banyak negara. Demikian pula, Rusia dan Cina secara rutin mengadakan latihan militer baik di udara maupun di laut.
Pertunjukan kekuatan militer ini pada dasarnya adalah balas-membalas antara dua kubu yang bersaing: Amerika Serikat beserta sekutunya, yang ingin mempertahankan dominasinya di kawasan Asia-Pasifik, dan Cina, yang berupaya menolak tekanan Amerika dan memperkuat posisinya sebagai pemain penting di kawasan tersebut.
Jepang, sebagai sekutu utama Amerika Serikat di kawasan ini, selalu bersikap hati-hati dalam hal militer. Sejak akhir Perang Dunia II, Jepang menganut kebijakan militer yang bersifat defensif, dengan ketergantungan yang besar pada dukungan Amerika. Meskipun Jepang telah menyatakan kekhawatirannya terhadap latihan militer ini, respons mereka relatif tenang. Amerika Serikat, sebagai pendukung utama Jepang, juga tidak memberikan reaksi yang signifikan terhadap latihan ini, menandakan bahwa mereka tidak menganggapnya sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan Jepang atau Amerika Serikat.
Apakah ini merupakan awal dari Perang Dingin jilid kedua? Tidak sepenuhnya. Meskipun ada beberapa kesamaan antara ketegangan geopolitik saat ini dengan yang terjadi pada abad ke-20, situasinya jauh lebih kompleks. Rusia dan Amerika Serikat jelas berada dalam konflik, seperti yang terlihat dari perang di Ukraina. Namun, hubungan antara Cina dan Amerika lebih rumit. Meski ada perselisihan politik, hubungan perdagangan antara kedua negara tetap kuat, dengan saling menguntungkan.
Tidak seperti Perang Dingin dulu, ketika Amerika dan Uni Soviet terpisah secara ideologis dan ekonomi, kekuatan besar saat ini terikat dalam ekonomi global yang saling tergantung. Oleh karena itu, meskipun retorika politik dan manuver militer terkadang mengingatkan kita pada masa lalu, baik Cina maupun Amerika Serikat berhati-hati untuk tidak meningkatkan ketegangan hingga ke tingkat konflik terbuka.
Salah satu faktor utama yang mencegah eskalasi lebih lanjut adalah tingginya ketergantungan ekonomi antara Cina dan Amerika. Amerika masih menjadi salah satu mitra dagang terbesar bagi Cina, dan defisit perdagangan antara kedua negara memastikan bahwa Cina terus mendapatkan keuntungan dari pasar Amerika. Setiap gangguan dalam hubungan ini akan berdampak buruk bagi kedua belah pihak.
Dengan adanya latihan militer ini, kemungkinan peningkatan penjualan senjata antara Rusia dan Cina pun semakin besar. Menghadapi sanksi dari Barat, Rusia telah melakukan diversifikasi ekspor minyaknya, dengan Cina muncul sebagai salah satu konsumen terbesar. Namun, meskipun ada potensi kerjasama militer, Cina tidak mungkin sepenuhnya mendukung Rusia dalam konflik di Ukraina. Beijing berhati-hati agar tidak memicu respons keras dari Amerika Serikat dan sekutunya, karena dukungan terbuka terhadap Rusia bisa berujung pada sanksi ekonomi atau diplomatik bagi Cina.
Walhasil, latihan militer bersama antara Rusia dan Cina lebih merupakan bagian dari dinamika kekuatan yang sedang berlangsung di kawasan. Baik Jepang maupun Amerika Serikat tidak melihat latihan ini sebagai ancaman serius pada tahap ini. Sebaliknya, ini menjadi pengingat akan perubahan aliansi dan strategi di Asia-Pasifik, di mana pertimbangan militer dan ekonomi saling terkait.