Hasbi Aswar (Ketua MSPI & Dosen Hubungan Internasional, UII Yogyakarta)

Dukungan barat dan pembiaran terhadap pembantaian warga Gaza oleh Israel akan membuahkan kekerasan yang berkepanjangan dalam skala global. Tragedi Gaza ini memang skalanya lokal tapi dampak buruk ke depannya akan meluas dan dalam jangka waktu yang lebih lama.
Sejak perang dingin berakhir tahun 1990an, ada harapan dunia menjadi lebih damai dengan demokratisasi, pasar bebas, serta harapan terhadap lembaga perserikatan bangsa – bangsa. Bahkan Francis Fukuyama saat itu menyambut dunia baru pasca perang dingin dengan karyanya The End of History and The Last Man (1992).
Demokrasi sangat diandalkan sebab kedaulatan publik serta transparansi politik akan membuat negara lebih damai dan akan menyelesaikan berbagai masalahnya juga dengan cara – cara yang damai. Pasar bebas juga menjadi harapan, sebab masyarakat dunia akan disibukkan dengan kerjasama saling menguntungkan, dan saling mensejahterakan. Selain itu, adanya Lembaga internasional seperti PBB akan menjadi sarana atau wadah negara untuk menyelesaikan konflik secara bersama – sama. Tiga hal inilah yang menjadi Impian dunia pasca perang dingin.
Setelah lebih dari tiga dekade pasca perang dingin, dunia belum kunjung membaik. Negara – negara besar khususnya Amerika Serikat bersama sekutunya malah banyak terlibat dalam berbagai intervensi politik dan militer di berbagai negara termasuk di dunia Islam seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, dan Libya.
Intervensi militer Amerika di dunia Islam ini menjadi cikal bakal munculnya kelompok – kelompok pejuang militant Islam seperti Al-Qaeda, Taliban dan Hamas. Kelompok – kelompok ini muncul sebagai reaksi atas intervensi militer AS, dukungannya terhadap Israel, dan para pemimpin – pemimpin Arab yang otoriter dan sekuler.
Di antara kelompok ini beroperasi tidak hanya di negara – negara konflik Timur Tengah saja tapi juga diberbagai wilayah seperti berbagai serangan dan ledakan yang terjadi di Eropa, Amerika, Australia, termasuk di Asia Tenggara selama ini. Bukan hanya itu, para militan ini pula yang menginspirasi munculnya gerakan serupa di kawasan – kawasan lain, seperti Jamaah Ansharut Daulah di Indonesia serta Abu Sayyaf di Filipina.
Berawal dari intervensi politik dan kekerasan yang terjadi di dunia Islam kemudian bermuara pada meluasnya gelombang radikalisasi diberbagai penjuru dunia yang mengorbankan banyak jiwa; menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat Muslim dan peningkatan Islamophobia di wilayah – wilayah minoritas Muslim. Dari satu sumber masalah berujung pada berbagai persoalan lain yang semakin rumit.
Selama perang Gaza terjadi pada Oktober 2023, beberapa insiden mulai terjadi di Amerika dan Eropa mengatasnamakan solidaritas terhadap warga Palestina begitupun sebaliknya, serangan terhadap Muslim.
Menurut Kepala Jaringan Kontraterorisme Inggris, pada awal Januari 2024 saja, terjadi peningkatan ajakan – ajakan melakukan kekerasan sampai 700 kasus, lebih tinggi dari tahun – tahun sebelumnya.
Al-Qaeda bahkan mengumumkan dalam berbagai jejaring media yang dimiliki untuk mengajak mendukung perlawanan di Gaza Palestina dan melakukan serangan terhadap negara – negara yang melakukan normalisasi dengan Israel.
Menyadari potensi ancaman ini, lima kepala intelijen negara berkumpul pada Oktober 2023 di AS termasuk Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat untuk membicarakan perlunya meningkatkan kewaspadaan mengenai ancaman terror yang berpotensi meningkat di negara mereka selama perang Gaza terjadi.
Bukan hanya kekerasan yang dilakukan oleh kelompok – kelompok yang berlatar Islam, serangan ke umat Islam (Islamophobia) juga akan meningkat di berbagai negara sebagai dampak dari perang Gaza ini. Ini sudah terlihat dampaknya. Bulan Desember 2023, Al- Jazeera telah melaporkan mengenai meningkatnya ujaran kebencian terhadap Muslim di Inggris sebanyak 140 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara di Amerika Serikat, Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), mengatakan telah terjadi peningkatan sebesar 172 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dampak dari serangan Israel ke Palestina pada akhirnya akan menghasilkan spiral kekerasan baik yang dilakukan oleh oknum yang berlatar Islam atau sebaliknya serangan terhadap umat Islam di wilayah – wilayah Minoritas.
Untuk mencegah ini terjadi, tidak ada Solusi lain kecuali negara – negara besar mengesampingkan kepentingan mereka untuk terus mendukung Israel sehingga pembantaian di Palestina dapat dihentikan serta bantuan – bantuan kemanusiaan dan Pembangunan Kembali dapat dilakukan.
Amerika, Inggris, Prancis, Jerman dan negara – negara sekutu mereka telah menghabiskan banyak dana untuk terus mendukung Israel selama ini. Jika mereka tidak Bersatu menghentikan Israel, maka dana mereka akan terkuras untuk menanganinya ancaman kekerasan yang akan terus meningkat di waktu – waktu yang akan datang di negara mereka sendiri.
Professor Politik AS, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam buku The Israel Lobby and US Foreign Policy (2007) sebenarnya sudah mengingatkan bahwa dukungan AS terhadap Israel tidaklah mendatangkan keuntungan lebih banyak daripada potensi kerugian yang negara ini dapatkan. Salah satunya adalah meningkatnya ancaman serangan kelompok militan terhadap AS dan fasilitas-fasilitas AS di berbagai negara.
Negara – negara pro- Israel ini masih punya waktu untuk memilih apakah akan terus berkontribusi mendukung Israel atau berhenti. Jawaban mereka ini akan menentukan nasib keamanan dunia ke depan baik di Timur Tengah maupun di belahan dunia lainnya.