SOSIOLOGI REVISI UU TNI: INDONESIA MAKIN MILITERISTIK?

Oleh: Dr. Riyan M.Ag

Hari ini, Kamis (20/03) Revisi UU No 34/2004 tentang TNI disahkan. DPR bersama Pemerintah menyepakati perubahan sebagai berikut. Pertama, menambahkan dua tugas atau kewenangan baru TNI untuk operasi militer selain perang (OMSP) yang diatur dalam Pasal 7. Dengan revisi ini, TNI dapat membantu menanggulangi ancaman siber, membantu, dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri.

Kedua, pada Pasal 47 mengenai kementerian/lembaga yang bisa diisi prajurit aktif. Dalam RUU TNI, jumlah instansi yang bisa diduduki prajurit aktif berjumlah 15, atau bertambah 5 dari aturan yang sebelumnya berlaku. Lima kementerian/lembaga tambahan tersebut adalah Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.

Ketiga, berkaitan dengan usia pensiun prajurit TNI yang diatur dalam Pasal 53 juga turut mengalami perubahan. Dalam RUU TNI, terdapat kenaikan usia pensiun bagi prajurit aktif berdasarkan umur dan pangkatnya. Untuk pangkat bintara dan tamtama, pensiun pada usia 55 tahun. Sedangkan perwira hingga pangkat kolonel pensiun paling tinggi 58 tahun. Sementara itu, perwira tinggi (pati) bintang 1 pensiun usia 60 tahun, pati bintang 2 pensiun usia 61 tahun, dan pati bintang 3 pensiun usia 62 tahun. Untuk pati bintang 4 bisa pensiun usia 63 tahun, tetapi masa kedinasannya bisa diperpanjang sebanyak 2 kali oleh Presiden RI sesuai kebutuhannya.

Apa yang bisa dimaknai dari Revisi UU TNI ini? Pertama, secara politis, revisi ini diduga kuat adalah bagian dari upaya pemerintahan Prabowo memperoleh “dukungan” dari TNI dalam konsolidasi politik. Setelah mendapat dukungan 58 % dari rakyat di pilpres 2024. Sebagaimana mereka merevisi UU Kementrian Negara yang menghasilkan “kabinet gemoy” di kabinet dengan menarik sebanyak-banyaknya berbagai elemen politik dan masyarakat.

Kedua, secara substansi materi, tiga poin revisi UU diyakini akan makin memperkuat posisi tentara di ranah sipil. Karena: (a) poin pertama akan menambah kewenangan TNI dengan OMSP, (b) poin kedua terkait penambahan 5 instansi baru yang dapat diduduki tentara aktif, tentu makin meluaskan pengaruh tentara, yang seharusnya fokus ke pertahanan negara. Data Laboratorium Indonesia Emas 2045 (LAB 45) menemukan sudah ada 2.569 perwira TNI menduduki jabatan sipil di sejumlah kementerian dan lembaga negara pada era pemerintahan Presiden Jokowi, (c) poin ketiga terkait perpanjangan usia pensiun, akan berpotensi menghambat khususnya regenerasi kepemimpinan TNI yang notabene banyak perwira tinggi yang saat ini non-job. Pada 2018, Imparsial pernah mendata sebanyak 1.069 kolonel dan 156 jenderal berstatus non-job. Data lain dari BBC, per 2019, ada 150 perwira tinggi berpangkat jenderal dan 500 perwira menengah berpangkat kolonel yang tidak memiliki jabatan struktural.

Ketiga, secara sosiologis, langkah revisi UU TNI ini makin memperkuat pola kepemimpinan yang populis-otoriter. Yaitu penciptaan citra rezim yang “merakyat” melalui berbagai program populer, seperti MBG (makan bergizi gratis) sebagaimana juga bantuan sosial (bansos), tetapi karena akumulasi dan legitimasi kekuasaan makin besar, akan makin otoriter dalam memaksakan agenda kekuasaan melalui berbagai bentuk kebijakan. Revisi UU TNI ini dikebut hanya sekitar 3 bulan. Artinya TNI berpotensi menjadi alat kekuasaan, setelah sebelumnya disinyalir terjadi pada polisi. Pada masa lalu ini yang dikhawatirkan mengarah kepada kembalinya dwifungsi ABRI/TNI di masa ORBA, saat Soeharto berkuasa yang terkenal militeristik.

Demikian.

*Penulis merupakan Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia – MSPI

1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top