Indonesia tak pernah kehabisan kisah tentang naiknya seseorang dari bawah menuju puncak kekuasaan. Dalam banyak versi, kisah ini menjadi dongeng modern tentang kerja keras, keberanian, dan ketekunan. Tapi pada satu titik, kita mesti jujur: narasi itu terlalu sering berujung pada pengaruh yang tak lagi hanya bersifat ekonomi, tapi juga politis. Kasus Haji Isam adalah salah satu contohnya.
Nama aslinya, Andi Syamsuddin Arsyad, menggema dari pelosok Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, hingga ke ruang-ruang strategis di pusat kekuasaan Jakarta. Dan kini, pada usia 48 tahun, ia tidak hanya menjadi simbol keberhasilan pengusaha daerah, tetapi juga lambang baru oligarki yang merapat ke pusat, siap mengambil bagian dalam peta kekuasaan nasional.
Lahir dari pengalaman hidup sebagai sopir truk angkutan kayu, Isam menjelma menjadi pemilik kerajaan bisnis yang mencakup tambang, logistik, dan infrastruktur. Ia tak mengenyam pendidikan tinggi, namun gelar “Andi” yang melekat padanya memberi identitas kebangsawanan Bugis, sebuah akar simbolik yang tak bisa dipandang remeh dalam politik Indonesia.
Dalam budaya patronase yang kuat seperti di Indonesia, terutama kawasan timur, garis keturunan bangsawan masih berfungsi sebagai pintu legitimasi sosial. Kombinasi antara daya tahan kerja keras, koneksi lokal, dan keberanian mengekspansi bisnis menjadikan Isam tokoh yang tidak hanya disegani, tetapi juga mulai diperhitungkan dalam arena politik nasional.
Apa yang membuat Haji Isam menarik bukan hanya latar belakangnya yang dramatis, tapi juga kecepatannya memahami logika kekuasaan. Setelah puluhan tahun membangun bisnis dan membangun relasi dengan aktor-aktor kunci di balik layar, Isam kini melangkah ke depan panggung. Ia tak lagi hanya “menyentuh” kekuasaan dari luar pagar, tetapi bersiap menanamkan pijakan di dalamnya.
Masuknya ia ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bukan sekadar manuver politik sesaat. Dengan mendukung sepupunya, Andi Amran Sulaiman yang kini menjadi Menteri Pertanian dalam pemilihan ketua umum PPP pada September 2025 mendatang, Isam sedang membangun fondasi kekuatan jangka panjang. Dalam politik, memiliki kendaraan partai adalah senjata strategis yang tak ternilai. Apalagi jika kendaraan itu bisa diarahkan pada Pemilu 2029.
Langkah ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar: apakah kita sedang menyaksikan lahirnya oligarki gaya baru di Indonesia? Dalam ilmu politik, oligarki adalah kondisi ketika kekuasaan berada di tangan segelintir elite yang memiliki sumber daya ekonomi sangat besar dan menggunakan kekuatan itu untuk mempengaruhi kebijakan negara demi kepentingannya.
Dulu, istilah ini erat dengan para konglomerat Orde Baru yang merapat ke istana. Tapi dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan transformasi bentuk dan wajah oligarki. Mereka tak selalu muncul dari kota besar, tak harus berpendidikan Barat, bahkan tak perlu tampil dengan gaya hidup metropolitan. Yang penting adalah akses ke sumber daya ekonomi strategis dan kemampuan membangun aliansi kekuasaan yang lentur.
Isam masuk dalam kategori itu. Ia bukan tipikal elite urban yang gemar tampil di media. Ia bekerja dalam senyap, membangun relasi dari pinggiran, lalu menyusup ke pusat kekuasaan dengan keahlian membaca arah angin politik. Saat Prabowo Subianto yang akan dilantik sebagai presiden pada Oktober 2024, memujinya sebagai “pengusaha terkemuka dari Kalimantan”, itu bukan sekadar sanjungan basa-basi.
Itu adalah penanda pengakuan atas posisi Isam sebagai salah satu oligark baru yang perlu diajak duduk bersama dalam negosiasi kekuasaan lima tahun ke depan. Masalahnya, ketika kekuasaan ekonomi mulai menyatu dengan kekuasaan politik, maka keseimbangan demokrasi berada di ujung tanduk. Partai politik, yang seharusnya menjadi alat representasi rakyat, kerap berubah fungsi menjadi kendaraan pribadi para pemilik modal.
Kita telah menyaksikan ini dalam berbagai bentuk: dari pencalonan legislatif yang berbasis “mahar”, hingga penentuan arah kebijakan partai yang tunduk pada kekuatan pemodal. Jika Haji Isam berhasil mengonsolidasikan kekuatannya di PPP dan menjadikan partai itu sebagai alat tawar di Pemilu 2029, maka kita tak lagi bicara tentang idealisme partai Islam. Kita sedang bicara tentang konsesi kekuasaan yang dijalankan secara oligarkis.
Tentu, tak ada yang salah dengan pengusaha yang ingin masuk ke dunia politik. Demokrasi membuka ruang bagi siapa saja untuk terlibat. Tapi masalahnya terletak pada motif dan mekanisme. Apakah seseorang masuk politik untuk memperjuangkan ide dan kepentingan rakyat? Ataukah ia masuk karena sadar bahwa dengan menjadi bagian dari sistem politik, maka jaring bisnisnya akan semakin aman dan luas? Inilah jebakan oligarki: ketika kepentingan bisnis tak lagi dibedakan dari kepentingan publik. Ketika keputusan-keputusan penting negara, dari proyek infrastruktur hingga izin tambang, diambil bukan berdasarkan kepentingan nasional, tapi berdasarkan siapa yang duduk di belakang layar.
Kita perlu membaca langkah Isam bukan sebagai cerita sukses individu semata, melainkan sebagai gejala yang lebih luas dari perubahan lanskap kekuasaan Indonesia. Di tengah krisis kepercayaan pada partai politik dan fragmentasi elite yang terus berlangsung, pengusaha seperti Isam akan selalu menemukan celah untuk masuk. Mereka membawa uang, jaringan, dan kekuatan negosiasi. Tapi sering kali, mereka tak membawa visi kebangsaan.
Dalam sistem demokrasi yang rapuh, oligarki akan tumbuh subur. Mereka tak hanya menguasai sumber daya, tapi juga mulai mengontrol narasi. Dengan kekuatan media, kekuatan logistik, dan kedekatan dengan elite politik, mereka bisa menciptakan persepsi bahwa kehadiran mereka sah, bahkan dibutuhkan. Kita perlahan-lahan bisa dibujuk untuk percaya bahwa para pemodal inilah “penyelamat” negara.
Tugas kita sebagai warga negara adalah menjaga agar demokrasi kita tetap menjadi ruang representasi rakyat, bukan hanya panggung bagi segelintir pemilik modal. Kita tak boleh hanya berdecak kagum pada cerita sukses seseorang. Kita perlu bertanya: sukses untuk siapa? Dan dengan cara apa? Sebab, jika kita terus membiarkan oligarki tumbuh tanpa batas, maka pada akhirnya negara ini tak lagi diperintah oleh hukum dan konstitusi, tapi oleh negosiasi gelap di balik layar.
Dan jika itu terjadi, maka kisah Haji Isam bukan lagi tentang seorang sopir truk yang sukses. Tapi tentang bagaimana oligarki menulis ulang masa depan demokrasi Indonesia.
__________
Penulis adalah Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol