Relokasi Warga Tesso Nilo Riau: Antara Hak Rakyat dan Konservasi

Oleh: Dr. Riyan, M.Ag (Peneliti MSPI – Masyarakat Sosial Politik Indonesia)

Rencana relokasi warga di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, kembali menimbulkan kontroversi. Pemerintah beralasan relokasi diperlukan demi menjaga kawasan konservasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, masyarakat telah menempati wilayah itu sejak 1998 dengan legalitas yang sah. Mereka memiliki lebih dari 1.700 sertifikat hak milik, dan bahkan telah membangun permukiman, sekolah, hingga jalan dengan dukungan pemerintah daerah.

Artinya, masyarakat bukan pendatang liar. Banyak di antara mereka adalah peserta program transmigrasi era Orde Baru. Ironisnya, keberadaan mereka dipersoalkan setelah terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 255 Tahun 2004 yang menunjuk kawasan itu sebagai calon konservasi TNTN—padahal SK tersebut belum melalui validasi batas wilayah dan belum berkekuatan hukum final.

Persoalan Sistemik, Bukan Personal

Sekilas, tampak adanya kesewenang-wenangan pejabat yang tergesa-gesa memaksakan relokasi. Namun, akar persoalan jauh lebih dalam: tata kelola sumber daya alam yang timpang dan cenderung berpihak pada korporasi.

Di Riau, lebih dari 512 ribu hektare hutan dikuasai perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI), termasuk 156 ribu hektare di kawasan Tesso Nilo. Ironisnya, kerusakan hutan banyak terjadi akibat eksploitasi besar-besaran oleh perusahaan, tetapi yang justru ditekan adalah rakyat kecil dengan lahan terbatas. Inilah bentuk ketidakadilan sistemik: rakyat disalahkan, korporasi dibiarkan.

Pandangan Islam: Hutan sebagai Kepemilikan Umum

Dalam perspektif Islam, hutan tergolong kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah). Rasulullah SAW menegaskan: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan api (energi).” Dengan demikian, hutan tidak boleh diprivatisasi atau dikuasai segelintir pihak, melainkan dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Maka, ada tiga prinsip penyelesaian yang bisa diambil:

(1) Relokasi tidak boleh dipaksakan. Selama warga memiliki dasar hukum sah, negara tidak boleh menggusur tanpa keridhoan dan kompensasi yang adil.

(2) Perusahaan perusak hutan harus ditertibkan. Negara wajib mencabut izin HTI yang merugikan lingkungan dan mengembalikan kawasan tersebut untuk dikelola negara demi kesejahteraan bersama.

(3) Konservasi berbasis masyarakat. Alih-alih menggusur, warga bisa dijadikan mitra pengelolaan hutan. Dengan melibatkan masyarakat, konservasi dapat berjalan tanpa menimbulkan konflik sosial.

Menjaga Hutan, Melindungi Hak Rakyat

Kasus warga Tesso Nilo Riau menjadi cermin lemahnya keberpihakan negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Rakyat sering dipaksa menanggung beban kebijakan, sementara korporasi besar justru menikmati kelonggaran. Padahal, jika negara benar-benar ingin menjaga hutan, langkah pertama adalah menghentikan ekspansi perusahaan yang terbukti merusak ekosistem.

Konservasi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan hak hidup masyarakat yang sah. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menata ulang tata kelola hutan, menjadikan rakyat sebagai mitra, dan menegakkan keadilan atas kepemilikan umum.

Dengan pendekatan yang adil, konservasi dan kesejahteraan masyarakat bisa berjalan beriringan. Sebaliknya, jika relokasi dipaksakan, maka yang muncul hanyalah konflik sosial baru, ketidakpercayaan publik, dan semakin rusaknya legitimasi negara.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top