Politik Figuratif dan Krisis Pemikiran: Perlunya Transformasi Kultus Tokoh Menuju Kesadaran Sistemik

Oleh: Reza Noormansyah

Dalam kancah politik, publik telah disuguhi kisah perubahan haluan tokoh-tokoh yang sebelumnya lantang mengkritik penguasa, keras ketika menjadi oposisi, tetapi kemudian justru menjadi bagian dari persoalan yang sebelumnya ia masalahkan sendiri. Ada yang dulunya menggelari pemimpin sekarang sebagai raja bohong, sekarang menjadi tonggak dari kabinet. Ada yang dulunya berpegang prinsip pantang ulama mendekati pintu penguasa, sekarang meminta khalayak melupakan pernyataan ikoniknya. Hanya dari dua fenomena tersebut, telah terbayang puncak dari gunung es politik figuratif yang rapuh secara ideologis. Di awal, mereka tampil sebagai simbol perlawanan, vokal menyoal ketimpangan dan moralitas kekuasaan. Namun tak lama berselang, mereka masuk dalam pusaran kekuasaan yang dulunya bulat-bulat ia nyatakan tidak sejalan, seolah menghapus ingatan kolektif akan apa yang pernah disuarakan.

Politik Praktis: Mengapa Manusia Berubah?

Untuk memahami dinamika ini, kita dapat merujuk pada teori perilaku politik rational choice theory. Dalam bukunya, An Economic Theory of Democracy, Downs (1957) berargumen bahwa partai politik berperilaku sebagai aktor rasional yang bertujuan utama untuk memenangkan pemilu, sehingga partai akan menyesuaikan kebijakan dan platform agar sesuai dengan preferensi mayoritas pemilih. Model ini dikenal sebagai pendekatan vote-maximizing atau office-seeking. Aktor politik bertindak secara rasional demi memaksimalkan keuntungan pribadi, baik dalam bentuk kekuasaan, pengaruh, maupun posisi. Dalam konteks ini, perubahan haluan bukanlah pengkhianatan terhadap nilai, tetapi kalkulasi rasional terhadap peluang dan akses terhadap sumber daya, bisa jadi dalam bentuk jabatan, legitimasi, atau bahkan imunitas politik.

Pierre Bourdieu menambahkan dengan konsep habitus, arena, dan kapital. Para tokoh yang memiliki modal simbolik seperti popularitas, moralitas, atau ketokohan agama akan terus berupaya mempertahankan posisi dan pengaruhnya dengan menyesuaikan diri terhadap struktur dominan, yaitu kekuasaan politik. Bourdieu menulis bahwa “agents invest in a field… to preserve or transform their capital” (Bourdieu 1986). Maka perpindahan posisi bukan soal nilai dan prinsip, tetapi strategi reproduksi posisi sosial.

Namun, pendekatan-pendekatan tersebut ini masih dalam tataran individual. Untuk melihat secara struktural, kita dapat menggunakan pendekatan sumber daya kekuasaan oleh Michael Mann dalam The Sources of Social Power, yang melihat masyarakat sebagai sistem fungsional. Sistem terdiri dari masing-masing pihak yang memegang otoritas atas kuasa (politik), harta (ekonomi), senjata (militer), dan ilmu (intelektual). Apabila fungsi-fungsi ini tidak dijalankan dengan benar, maka akan terjadi disfungsi sosial dan distorsi orientasi kekuasaan (Mann 1986). Bisa jadi, seperti inilah yang kita saksikan, yaitu ketika intelektual menjadi pelayan kekuasaan, penguasa mengabdi pada modal, dan agama dijadikan alat pembenaran, bukan kontrol.

Politik Figuratif: Masalah Ideologis

Fenomena ini menyingkap realitas mendasar yang semestinya menjadi alarm, bahwa masyarakat belum selesai secara pemikiran atau belum tumbuh kesadaran terhadapnya. Dalam kondisi tanpa kerangka berpikir yang kokoh, masyarakat mudah dipengaruhi oleh simbol-simbol personal. Orientasi pada tokoh menciptakan ilusi bahwa perubahan akan datang dari orang yang “baik”, bukan dari sistem yang dibangun di atas pemikiran yang benar. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh teori konstruktivisme, struktur sosial dibentuk oleh ide-ide, bukan oleh kekuatan material semata (Wendt 1992). Realitas sosial dan politik dibentuk oleh konstruksi ide, bukan oleh figur perorangan. Jika orientasi masyarakat masih berpusat pada tokoh, maka struktur sosialnya akan tetap rapuh dan bisa sewaktu-waktu dikendalikan.

Kita bisa juga mengaitkannya dengan pemikiran Antonio Gramsci, yang menegaskan bahwa kekuasaan tidak bertahan lama hanya dengan dominasi kekuatan semata tanpa melalui konsensus ideologis. “The supremacy of a social group manifests itself in two ways: as ‘domination’ and as ‘intellectual and moral leadership’” (Gramsci 1971). Jika masyarakat terus menerus terikat pada figur dan bukan ide, maka proses konsensus akan mudah dikooptasi oleh kekuatan hegemonik.

Di sinilah pentingnya beralih dari orientasi tokoh ke orientasi pemikiran. Sebab hanya dengan ide yang kuat dan teruji, seseorang akan mampu menahan godaan pragmatisme politik. Orientasi ide memungkinkan masyarakat menilai siapa pun, bahkan tokoh idola sekalipun, dengan standar objektif, yakni sejauh mana ia konsisten terhadap nilai yang diyakininya, bukan sejauh mana ia menempel pada kekuasaan.

Menuju Transisi Kultus Tokoh ke Politik Berbasis Pemikiran

Dalam sistem demokrasi elektoral sejenis ini, pemujaan terhadap tokoh telah menjadi industri politik tersendiri. Figur dijadikan komoditas, bukan pelayan ide. Maka sangat wajar jika publik kecewa, karena mereka menaruh harapan pada manusia, bukan pada sistem ide yang jelas.

Kita perlu menggeser fokus dari “siapa yang memimpin” menjadi “dengan ide apa ia memimpin”. Teori hegemoni Gramsci pun menunjukkan bahwa kekuasaan yang stabil lahir bukan dari dominasi kekuatan, tetapi dari persetujuan ideologis masyarakat terhadap narasi yang dibawa oleh penguasa. Tanpa pemikiran yang kokoh, negara akan terus digerakkan oleh elite yang berganti wajah, tapi membawa agenda yang sama, yaitu mempertahankan status quo dan menundukkan rakyat melalui manipulasi simbolik. Dalam kerangka sosiologi politik, perubahan orientasi ini adalah bagian dari transisi menuju masyarakat yang berpikir kritis, bukan hanya responsif terhadap wacana media atau kampanye citra.

Fenomena pindah haluan tokoh dalam politik praktis bukan semata soal pengkhianatan personal, tapi bukti lemahnya ikatan pemikiran dalam lanskap politik kita. Selama orientasi politik masyarakat masih bertumpu pada sosok, bukan sistem ide, maka publik akan terus dikecewakan oleh para tokoh yang berpindah haluan sesuai arah angin kekuasaan. Sudah saatnya kita membangun tradisi politik yang berbasis ide, bukan figur. Sebab hanya dengan ide yang kuat, keadilan dan perubahan hakiki bisa diperjuangkan secara konsisten.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top