
Oleh: Reza Noormansyah
Suatu kaum dapat tetap tegak meski ditimpa bencana, kehilangan wilayah, atau bahkan dikepung oleh kekuatan besar, selama mereka masih memegang teguh akar ideologisnya. Ideologi adalah asas hidup yang bertumpu pada pemikiran dasar dan melahirkan suatu sistem dengan metode penerapan yang khas. Artinya, ideologi adalah fondasi eksistensial sebuah entitas yang membentuk arah berpikir, memandu perilaku, dan menentukan tujuan. Selama fondasi ini masih mengakar dalam kesadaran kehidupan, maka suatu kaum tetap memiliki kekuatan untuk bertahan, bangkit, dan bergerak maju. Sebaliknya, ketika akar ini dicabut, maka meskipun kaum tersebut masih memiliki tubuh, struktur, dan nama, mereka sejatinya telah kehilangan spiritnya.
Mencerabut ideologi bukan sekadar melarang simbol-simbol, ritual, atau aktivitas. Pencerabutan adalah proses sistematis untuk memutus kesinambungan pemikiran dan keyakinan yang menjadi dasar orientasi hidup. Ketika ideologi tercerabut, maka yang hilang adalah kerangka berpikir, keberanian untuk memperjuangkan sesuatu secara utuh, dan kemampuan untuk membedakan antara jalan hidup yang sesuai dengan jati dirinya dengan jalan yang menyimpang dari identitasnya.
Karena itu, jika tujuan akhir dari penundukan adalah memastikan bahwa suatu kaum tidak lagi menjadi ancaman, maka strategi paling efektif bukanlah penaklukan fisik, melainkan penghancuran akar ideologisnya. Tanpa keterikatan pada ideologi, masyarakat akan tercerai, mudah dipengaruhi, kehilangan daya dorong, dan hanya bergerak mengikuti kekuatan luar tanpa kesadaran. Mereka mungkin masih hidup, tetapi tidak lagi mampu menghidupkan.
Maka, siapapun yang ingin melemahkan suatu kaum secara permanen, cukup memastikan bahwa kaum itu tidak lagi memiliki dasar untuk berpikir, merasa, dan bertindak berdasarkan ideologi yang mempersatukan dan menggerakkan mereka. Tanpa akar, mereka akan tumbang bukan karena ditumbangkan, tetapi karena sudah tidak mampu lagi berdiri sendiri.
Lalu, apakah berideologi berarti menanggalkan rasionalitas? Tidak. Justru sebaliknya, ideologi dimulai dari proses berpikir tentang asal-usul manusia, tujuan eksistensinya, akan ke mana setelahnya, dan keterkaitannya dengan keseluruhan realitas kehidupan. Ideologi yang kokoh lahir dari keyakinan yang dibangun melalui pemikiran rasional, bukan dari warisan turun-temurun, dorongan emosi, atau tekanan tradisi. Dari asas inilah hadir sistem hidup yang menyeluruh dan khas. Maka, berideologi berarti menggunakan akal secara sadar dalam menetapkan pijakan hidup, lalu berkomitmen menjalani kehidupan sesuai dengan sistem yang tegak di atas pijakan tersebut.
Ketika akal ditinggalkan dalam proses memahami realitas dan menetapkan landasan hidup, maka kesadaran ideologis akan kehilangan fondasi rasionalnya. Sebuah keyakinan yang tidak dibangun di atas proses berpikir hanya akan menjadi doktrin kosong. Manusia menjadi tidak hidup berdasarkan pemahaman, melainkan sekadar kebiasaan. Ia mungkin terlihat meyakini sesuatu, tetapi tidak mampu menjelaskan mengapa ia meyakininya, untuk apa ia menjalaninya, dan bagaimana seharusnya ia mempertahankannya. Ini menjadikan komitmen terhadap ideologi bersifat rapuh dan bergantung pada kondisi luar. Tanpa kerangka berpikir yang jernih dan menyeluruh, manusia akan kesulitan membedakan mana prinsip yang harus dijaga dan mana kompromi yang akan melemahkan. Akhirnya, yang tersisa bukan lagi kesadaran ideologis, melainkan keterikatan emosional yang mudah dipatahkan.
Karena itu, kesadaran ideologis hanya mungkin lahir jika akal digunakan secara aktif untuk menimbang, meneguhkan, dan menjalani keyakinan hidup. Sebab tanpa akal, ideologi hanya akan tinggal nama, tidak memandu, tidak menyatukan, dan tidak menghidupkan.