Kebijakan Efisiensi APBN dan APBD: Efektifkah?

Oleh: Mustajab al-Musthafa

Seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi sorotan pelbagai pihak. Penelitaian dan Pengembangan (Litbang) Kompas merilis hasil surveinya dengan tingkat kepuasan publik mencapai angka 80,9%, melebihi capaian yang pernah diraih Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudoyono. Sementara pihak juga menyoroti beberapa hal yang menarik perhatian publik seperti Pagar Laut, program Makan Bergizi Gratis (MBG), dan kebijakan pemotongan/pengalihan anggaran.

Pemotongan/pengalihan anggaran ini merupakan kebijakan penghematan atau efisiensi yang ditempuh oleh Presiden Prabowo untuk mendapatkan dana pembiayaan program “prioritasnya”, utamanya program MBG. Program ini membutuhkan tambahan Rp100 tiliun dari 71 triliun yang sudah tersedia untuk menjangkau 82,9 juta penerima pada akhir tahun ini. Selain itu ada kewajiban pembayaran utang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp1.353 teriliun, terdiri dari utang pokok Rp800,33 triliun dan bunga utang Rp552,9 triliun. Untuk hal ini presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efesiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025 dengan target penghematan Rp306,69 triliun (CNN Indonesia, 7/2/2025).

Kebijakan Efisiensi

Kebijakan efisiensi anggaran tersebut dilakukan ditengah keterbatasan keuangan, baik karena belum memadainya pemasukan negara dari pajak maupun karena ada kebutuhan pembiayaan MBG dan pembayaran utang (plus bunganya). Kebijakan ini sebenarnya menunjukkan inkosistensi pemerintah karena yang dilakukan sebelumnya, khususnya dalam penyusunan kabinet, tidak menunjukkan upaya efesinesi. Kabinet “gemoy” Prabowo-Gibran dengan 48 menteri, 5 kepala badan dan 56 wakil menteri merupakan kabinet tambung yang membutuhkan banyak anggaran. Beberapa kementerian dan badan baru dibentuk, menyusul pengangangkatan banyak pejabat yang urgensitasnya tidak jelas. Implikasi kebijakan tersebut  membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Kebijakan tersebut juga menunjukkan ketidakcermatan pemerintah dalam penyusunan APBN. Kondisi seperti ini terjadi tiap tahun yang ditandai dengan penyusunan anggaran yang defisit hingga ratusan triliun. Selama dua periode (10 tahun) kepemimpinan Joko Widodo, rata-rata defisit APBN sebesar Rp500 triliun per tahun. Pada APBN 2025 angka defisitnya justru bertambah menjadi 700 triliun. Permasalahannya, defisit anggaran tersebut selalu ditutupi melalui utang. Ini berarti pemerintah melakukan penumpukan utang. Sudah terkesan gali lobang tutup lobang.

Kebijakan efisiensi tersebut jika untuk menunjang program MBG, justru kontra produktif dan lebih menunjukkan “pemaksaan kehendak” untuk merealisasikan janji politik presiden. Kebijakan MBG tidak menggambarkan sebagai program yang efisien dan efektif bagi pengembangan SDM. Dengan estimasi jangkaun 82,7 juta penerima manfaat, khususnya anak sekolah usia PAUD hingga SMA, itu melampaui perkiraan jumlah orang yang masuk ketegori miskin sebagaimana yang dirilis pemerintah, yakni pada angka 8,57% dari jumlah penduduk atau dikisaran 24,06 juta orang (BPS, Data September 2024). Dari jumlah tersebut jika ¼ adalah anak-anak (usia sekolah) maka hanya ada sekitar 6 juta jiwa anak yang membutuhkan dukungan makan bergizi. Selebihnya merupakan anak-anak dari keluarga yang dianggap mampu menyediakan makanan bergizi. Artinya, dari 82,7 anak yang akan dijangkau program MBG 2025, ada 76,7 juta yang sebenarnya bisa mendapatkan makanan bergizi secara mandiri.

Selain itu program MBG ini memang proplematis dari sisi konsep sejak awal. Sebagai sebuah janji politik dalam kampanye, muncul tanpa riset dan pemikiran matang. Ia disampaiakn ke publik sebagai propaganda penarik dukungan (pencitraan). Ketidakmatangan konsep ini tergambar diantaranya dengan perubahan istilah yang berulang-ulang dan ketiadaan alokasi anggaran yang khusus dalam APBN 2025 yang disusun tahun 2024. Program ini awalnya diwacanakan tidak akan membebani APBN, sebagaimana Proyek Kereta Cepat dan IKN era kepemimpinan Joko Widodo, namun pada akhirnya membebani APBN.

Problem Efisiensi Anggaran

Salah satu tantangan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah keuangan. Kemampuan APBN sangat terbatas. Dengan postur APBN yang mengandalkan penerimaan pajak hingga 82,4% (2.309,9 T), ini sangat rentan tidak tercapai dalam suasana ekonomi yang tidak kondusif baik global maupun domestik. Pada sisi lain utang pemerintah menumpuk naik hingga Rp5.000 triliun dalam 10 tahun kepemimpinan presiden Joko Widodo, yang beban pembayarannya terus meningkat tiap tahun. Pada tahun ini, alokasi pembayaran utang di APBN mencapai Rp1.353 triliun (cicilan pokok + bunga), hampir separuh APBN.

Beban politik Prabowo lainnya yang membutuhkan banyak anggaran adalah kelanjutan proyek pembangunan IKN, KEK dan mega proyek lainnya yang merupakan janji politik “berkelanjutan” yang digaungkan saat kampanye. Janji politik ini bukan saja berimplikasi pada kuangan negara tetapi juga berkonsekuensi politik secara khusus bagi Prabowo sendiri. Dukungan politik dari kubu Joko Widodo berada pada poin ini. Dukungan politik Prabowo bisa bermasalah jika mengabaikan “keberlanjutan” program yang ia janjikan.  Disini titik dilematisnya.

Pada sisi lain, Presiden Prabowo terlihat lemah dalam penerapan prinsip “good and clean governance” dan terjebak dalam politik akomodasi terhadap kekuatan politik yang berkumpul padanya. Ini memberikan beban tersendiri dalam mengelola pemerintahan. Kabinet tambung tidaklah efektif baik dari segi koordinasi maupun dalam pembiayaan. Ini justru bisa menciptakan krisis politik kedepannya.

Dalam jangka pendek suara oposisi di parlemen memang bisa diredam karena mayoritas partai politik yang memiliki kursi telah mendapatkan jabatan di kabinet. Tetapi tidak bagi rakyat secara umum sekalipun secara formal Prabowo-Gibran mengantongi suara dukungan 58% pada pilpres lalu. Kekecewaan publik bisa saja muncul, menguat dan membesar jika terjadi masalah pada bidang ekonomi seperti krisis ekonomi, keuangan dan hukum.

Kepercayaan publik bisa terjaga jika pemerintahan baru ini bersama parlemen berani melakukan penataan dan pembenahan ulang terhadap regulasi yang dianggap bermasalah baik secara substansi maupun prosedural yang dibuat pada rezim sebelumnya seperti UU Cipta Kerja, UU Pemilu dan Pilkada, UU IKN serta kebijakan-kebijakan lainnya yang sebelumnya mendapatkan sorotan publik, termasuk kebijakan Program MBG ini.

Selain itu, efisiensi APBN dengan fokus belanja pada sektor produktif dan program strategis yang mendesak sesuai kemampuan fiskal. Bukan melakukan “efisiensi” anggaran untuk mendukung program yang tidak efisien. Bukan pula merencanakan defisit yang kemudian menutupinya melalui utang. Yang lebih utama, “mindset” kapitalisme harus dibuang dalam penyusunan APBN dan pengelolaan ekonomi dan keuangan negara secara umum![]

*Penulis Analis Politik MSPI (Masyarakat Sosial Politik Indonesia)

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top