
Oleh: Mustajab Al Musthafa
Demokrasi yang akar sejarahnya 5 Abad Sebelum Masehi dengan lokus Negara Polis (Negara Kota) Yunani Kuno, yang menekankan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan, sesuai namanya yang berasal dari kata ‘demos’ dan ‘kratos’ (pemerintahan rakyat). Tapi pemerintahan ini tidak berlangsung lama karena digilas oleh kekuatan Sparta hingga sistem ini lenyap dari penerapannya dalam kurung waktu lebih dari sepuluh abad, sebelum muncul kembali pada “abad renaissance” (TIM ICCE UIN Jakarta, Demorasi, HAM dan Masyarakat Madani, 2003).
Gagasan demokrasi muncul kembali sebagai upaya untuk keluar dari kegelapan (the dark age) pada Abad Pertengahan ( 500-1500 Masehi). Era yang diliputi otoritarianisme kolaborasi penguasa dengan tokoh agama (gerejawan). Para filsuf melakukan penggalian atas gagasan yang ditulis oleh filsuf klasik utamanya karya Plato dan Aristoteles. Muncullah nama-nama filsuf seperti Thomas Hobbes, Imanuel kant, J.J. Rosseau, Jhon Locke dan Mountesquieu yang melakukan perumusan ulang—dengan berbagai modifikasi dan pengembangannya—atas konsep demokrasi. Dari Locke dan Montesquieu lahir konsep “Trias Politika” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008).
Era Pencerahan (Rennaisance) dengan latar kegelapan itu, para ilmuawan (filsuf) berhadapan dengan penguasa tiran dalam gejolak ilmu pengetahuan dan politik untuk jangka waktu yang panjang (berabad-abad) hingga akhirnya melahirkan revolusi politik dan ekonomi atau lebih dikenal dengan Revolusi Industri yang melanda Eropa. Lahir Revolusi Perancis (1789-1799) yang mengakhiri kekuasaan monarki absolut negara itu dan menggantinya menjadi Republik. Inggris berbenah melakukan reformasi politik (1760-1830) dengan mengubah Monarki Absolut menjadi Monarki Konstitusi yang mengadopsi Trias Politika. Angin revolusi dan reformasi itu menjalar ke berbagai negara di Eropa.
Ada satu alasan utama perubahan sistem politik itu ditempuh oleh masyarakat di negara-negara Eropa, yaitu dari Monarki ke Demokrasi, adalah untuk mengakhiri otoriterianisme. Sitem monarki dan keterlibatan agamawan (gerejawan) dalam kekuasaan diidentikkan dengan otoritarianisme, sehingga untuk mengakhirinya tak ada pilihan lain selain mengganti sistem politik/pemerintahan mereka menjadi demokrasi dengan konsep Trias Politika (pembagian kekuasaan) dan liberalisme-sekulerisme. Mereka meraihnya bahkan bukan saja kehidupan politiknya yang berubah tapi juga pada kehidupan ekonominya dengan lahirnya Revolusi Industri sebagai buah kebebasan berpikir yang berdampak pada pengembangan sains dan teknologi yang revolusioner.
Untuk beberapa saat, Eropa menikmati angin revolusi itu baik secara politik maupun ekonomi sebelum munculnya penguasa-penguasa tiran dari proses demokrasi pada abad 20, seperti yang terjadi di Jerman dengan Adolph Hitler, di Italia muncul Benito Mussolini, dan di Rusia (era Uni Sovyet) berkuasa Joseph Stalin.
Pasca revolusi industri Eropa, kebutuhan bahan baku industri meningkat mendorong perburuan bahan baku ke berbagai negeri yang berujung terjadinya kolonialisasi. Eropa mencatatkan pemerintahan kolonial terbesar dan terburuk dalam sejarah dengan mengeksploitasi sumber daya ekonomi negara lain dan menindasnya secara politik dan militer. Sebuah zaman yang kolonialisasi dilakukan oleh negara-negara yang telah mengadopsi sistem demokrasi. Era kegelapan mereka singkirkan dari negerinya dengan semboyan “liberty, egality and fraternity” (kesetaraan, kesetiaan and persaudaraan), tetapi menciptakan kegelapan baru di negeri lainnya atas nama “gold, glory and gospel” (emas/kekayaan,kemenangan/kejayaan dan agama-kristiani)! Sebuah sikap paradoks dari negara-negara Eropa yang nota bene menerapkan demokrasi.
Adapun dibelahan dunia lainnya, khususnya di Asia dan sebagian Eropa yang menjadi wilayah kekuasaan Islam, pada saat Eropa mengalami masa kegelapan, umat islam mengalami masa keemasan dan kegemilangan (the golden age). Andalusia yang merupakan pusat pemerintahan islam di Eropa menjadi mercusuar peradaban emas dalam waktu yang lama. Demikian juga Bagdad (Irak) yang menjadi pusat pemerintahan islam era Khilafah Abbasiyah dan Damaskus yang menjadi ibukota pemerintahan islam era Khilafah Umayyah. Tak ketinggalan Istambul (sebelumnya Konstantinopel) menjadi simbol kedigdayaan pemerintahan islam era Khilafah Utsmani (Philips K. Hitty, History of the Arabs, 2014).
Sayangnya era kejayaan dan keemasan peradaban islam tersebut yang berlangsung sekira 7 abad, kemudian merdup dan akhirnya padam di awal abad 20 masehi (runtuh 3 Maret 1924), yang kemudian wilayahnya berada dalam kolonialisasi negara-negara Eropa. Wilayah-wilayah tersebut kemudian mendapatkan kemerdekaannya sebagai sebuah negara baru dalam bentuknya yang baru sebagai negara bangsa—bukan lagi sistem pemerintahan islam (khilafah)—tetapi sebagian besarnya mengadopsi sistem demokrasi yang sistem politik, hukum dan ekonominya merujuk pada negara-negara bekas penjajahnya (Abid Karim & Shabir Ahmed, Akar Nasionalismedi Dunia Islam, 1997).
Penguasa negara-negara baru tersebut cenderung otoriter dan korup. Ada nama-nama Mushtafa Kemal (Turki), Idi Amin (Uganda), Husni Mubarak (Mesir), Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), Hafids Assad dan Bashar Assad (Suriah), Mohammad Reza Pahlevi (Iran), Muammar Kaddafi (Libya), Saddam Husain (Irak), dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan Sukarno dan Suharto (Indonesia) pun tak lepas dari penilaian sebagai pemimpin otoriter.
Selain pemerintahannya yang otoriter, para penguasa negeri-negeri bekas jajahan Barat itu juga dikenal korup. Mewariskan sistem politik dan ekonomi yang buruk bahkan negaranya terlilit utang sementara para pejabat dan koleganya bergelimang harta dan tak sedikit dari keluarga mereka memiliki asset (kekayaan) di luar negeri.
Menariknya, para penguasa otoriter tersebut lahir/mengokohkan kekuasaannya melalui proses politik demokrasi. Mereka bisa bertahan lama (puluhan tahun) di tampuk kekuasaan dengan legitimasi proses demokrasi. Dan itu terjadi hingga sekarang ini. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menggambarkan anomali itu, termasuk di negara kampiun demokrasi Amerika Serikat dengan terpilihnya Donld Tump, dalam bukunya “How Democracies Die” (2018).
Yang menjadi pertanyaan pentingnya adalah mengapa dalam sistem demokrasi bisa lahir pemimpin yang otoriter? Bukankah sistem politik ini dirancang untuk mencegah otoritarianisme?
Sistem ini memiliki celah yang bersifat sistemik yang memberi peluang dan ruang bagi penguasa untuk bertindak otoriter. Celah itulah yang dimanfaatkan oleh mereka.
Pertama, celah hukum. Adanya kewenangan pembuatan hukum pada legislatif bersama eksekutif berupa pembuatan dan perubahan perundang-undangan (undang-undang dan turunannya), memberikan ruang untuk membuat hukum yang memperkuat kedudukan dan kewenangan mereka. Beberaapa tahun terakhir ini muncul adagium terkait politik hukum, semisal: apabila berpotensi melakukan pelanggaran terhadap hukum maka hukumnya dirubah. Ini mengambil contoh kasus di negeri ini tentang perubahan peraturan terkait batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden dan gubernur wakil gubernur untuk meloloskan calon tertentu.
Adapun konsep “trias politika” sebagai dasar pembagian kekuasaan (bukan pemisahan kekuasaan),bukanlah menciptakan kesetaraan politik melainkan memberi porsi besar kepada eksekutif. Kepala eksekutif memiliki hak/kewenangan terkait yudikatif seperti pengangkatan dan pemberhentian pejabat yang mengurusi urusan yudikatif, termasuk hak keuangan. Kepala eksekutif memiliki hak pemberian Amnesti, Grasi dan Abolisi. Bukankah setiap tahun kita medapatkan berita tentang Pemotongan Masa Tahanan para terpidana termasuk Terpidana Korupsi? Selain itu, eksekutif (pemerintah, presiden) mendapatkan hak pengusulan rancangan undang-undang, hak pengeluaran Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan pembuatan aturan teknis turunan undang-undang. Semua itu memberi celah untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya.
Aspek kewenangan itulah yang menjadi bukti bahwa lembaga eksekutif memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada dua lembaga lainnya (legislatif dan yudikatif), sekalipun secara teoritik ketiga lembaga itu disebut setara. Fakta lainnya yang mendukung pandangan tersebut adalah banyak pihak yang telah menduduki kursi di lembaga legislatif dan yudikatif berusaha meraih kursi eksekutif atau rela meninggalkan posisinya di lembaga legislatif untuk mengambil posisi di lembaga eksekutif.
Kedua, celah ekonomi dan keuangan. Eksekutif memegang kendali pengelolaan keuangan negara (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN), termasuk dan utamanya dalam hal penarikan pajak dan penerimaan negara lainnya, melakukan perjanjian ekonomi (termasuk investasi) dengan pihak lain, dan kontrol terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain sebagainya. Kewenangan-kewenangan tersebut berpotensi disalahgunakan untuk mengatur dan mengendalikan ekonomi dan keuangan negara sesuai keinginannya. Dengan kendali keuangan di tangan eksekutif, ini sudah cukup untuk bisa menjadi alat dalam mempertahankan dan memperbesar kekuasaan, mengendalikan legislatif dan yudikatif.
Ketiga, celah budaya. Budaya paternalistik masih melekat pada sebagian besar penduduk negara-negara baru itu sebagai buah dari rendahnya pendidikan, termasuk pendidikan politik akibat hidup dalam kolonialisasi dan tirani yang lama membuat mereka cenderung “nrimo” (patuh, tak menuntut lebih) atas apa yang diperintahkan dan diberikan oleh penguasa. Kondisi ini diperburuk dengan lemah dan rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat sehingga tidak berdaya untuk menuntut hak-hak politiknya sekalipun.
Inilah beberapa problem sistemik yang terjadi di negara-negara demokrasi, termasuk dan utamanya di negara-negara miskin dan berkembang. Demokrasi bukanlah jaminan bebas dari otoritarianisme. [mm]
*Penulis Analis Politik MSPI