
Oleh: Dr. Riyan, M.Ag
Salah satu teori yang populer di dalam sosiologi, adalah teori strukturasi, yang mengintegrasikan hubungan agen-struktur. Anthony Giddens, perumusnya, menyatakan : “setiap riset dalam ilmu sosial atau sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan (seringkali disinonimkan dengan agen/aktor) dengan struktur…Namun, dalam hal ini tidak berarti struktur ‘menentukan’ tindakan (agen/aktor) atau sebaliknya”(1984:219).
Menurut Giddens, agen dan struktur tidak dapat dipahami secara terpisah satu sama lain. Agen dan struktur adalah dwirangkap, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Seluruh tindakan sosial dari agen atau aktor memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial.
Korupsi Pertamina yang diduga merugikan negara lebih dari Rp 193,7 trilyun per tahun (2023), selama fase 2018-2023. Bila dkalikan lima tahun maka, didapat angka yang sangat fantastis, hampir Rp 1 kuadriliun (Rp 1000 trilyun)!. Langsung memberikan kita konfirmasi bagaimana agen atau aktor berjalin kelindan dengan struktur sosial (regulasi dan berbagai tata aturan kelola).
Sembilan aktor (sementara) yang menjadi tersangka dan sudah ditahan memiliki peran dalam tindakan atau praktika sosial masing-masing dalam korupsi tersebut. Maka dengan melihat besaran potensi kerugian negara dan durasi yang lama (5 tahun), sembilan orang aktor tersebut tentulah bekerja secara berkelompok untuk bisa menjalankan aksinya. Dan tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi yang akan ditangkap. Tentu harapan publik, aktor utama (dalang) dapat segera ditangkap dalam kejahatan korupsi ini.
Disisi lain, keberadaan struktur atau sejumlah besar regulasi, banyak yang membuat marah rakyat. Diantaranya, memaksa Pertamina harus impor melalui broker pemburu rente. Bagaimana mungkin, BUMN sekelas Pertamina, yang harusnya mandiri dalam melayani kepentingan rakyat, justru dibelenggu oleh segelintir mafia jahat dan regulasi yang membuat 270 juta rakyat Indonesia dirugikan. Ketika mereka membeli Pertamax RON 92 ternyata dibohongi secara massal dengan mendapat Pertalite RON 90 yang dioplos.
Ketika aktor dan struktur bersekongkol melakukan kejahatan bersama, maka dapat dipastikan perilaku sosial koruptif terus terjadi. Kejahatan ini harus segera dihentikan. Negara tidak boleh kalah. Negara harus hadir untuk menuntaskannya sampai ke aktor utama dan mengubah struktur regulasi yang menguntungkan segelintir mafia. Bila tidak, maka sebagaimana pernyataan Acemoglu dan Robinston(2012) dalam Why Nations Fail, negara akan gagal dalam memenuhi tuntutan rakyat dan tuntunan konstitusi.
Bahkan lebih jauh lagi, negara (baca: pemerintah) harus membuktikan bahwa apakah mereka masih layak dipercaya untuk mengelola urusan rakyat. Bila tidak, maka gelombang kepercayaan publik (publik trust) yang makin defisit akan terus menerpa, di tengah maraknya PHK massal berbagai industri dan dengungan sayup narasi radikalisme. Bukankah korupsi Pertamina ini menjadi bukti kesekian kali, bukan tuduhan radikalisme yang menyebabkan masalah di negeri ini. Tetapi penyebabnya adalah perilaku aktor penyelenggara negara yang koruptif-mafioso yang didukung regulasi bisnis liberal kapitalistik.
Demikian.
*Penulis: Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI)