
Oleh: Reza Noormansyah
Pada 13 Juni 2025, terjadi eskalasi militer terbesar antara Israel-Iran sejak Revolusi Islam 1979. Israel melancarkan Operation Rising Lion, menghantam lebih dari 100 target strategis di Iran, termasuk fasilitas nuklir Natanz, Isfahan, dan Teheran, dengan tujuan melumpuhkan kemampuan nuklir dan infrastruktur militer Iran. Sebagai balasan, Iran segera merespons melalui Operation True Promise 3, yang sampai hari ini telah menembakkan ratusan rudal balistik dan drone ke wilayah Israel.
Saling balas serangan ini merepresentasikan transisi dari bentuk-bentuk perang bayangan menuju fase konfrontasi langsung antarnegara. Di tengah kerusakan fisik dan korban jiwa, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana konstelasi global memperlihatkan kembali asimetri struktur kekuasaan internasional. Pertarungan ini, pada satu sisi, adalah soal misil dan target. Namun pada sisi lain, perang ini adalah ujian terhadap daya tahan narasi keadilan dalam sistem dunia yang berlaku saat ini.
Bagaimana Bahasa Berbicara?
Para pejabat militer Israel menyatakan bahwa serangan terhadap situs nuklir Irandilakukan “preemptively” untuk menghadang potensi ancaman nuklir yang disebut “imminent threat” terhadap kelangsungan hidup negara Israel. Sekretaris Pertahanan Israel Yoav Gallant menyebutnya “a targeted military operation” yang dilakukan “at the most appropriate time in light of an existing and real threat”.
Narasi ini diamini oleh media global. Seperti ABC News yang melaporkan Israel telah “launched what it is calling a ‘preemptive strike’”. NBC juga menulis bahwa tindakan Israel merupakan “launched a preemptive, precise…offensive to strike Iran’s nuclear program”.
Sebaliknya, beberapa media menggambarkan serangan balasan Iran sebagai “provocative” dan “reckless aggression”. Reuters, FT, AP menggambarkan Iran yang menembakkan “hundreds of missiles and drones” sebagai eskalasi yang mengkhawatirkan terhadap stabilitas kawasan.
Artinya, sebagaimana operasi militer Israel ke Jalur Gaza, peristiwa ini dibingkai dalam narasi keamanan yang tidak setara. Sementara serangan Israel diberi label sebagai “preemptive strike” atau pertahanan terukur, balasan Iran justru dilabeli sebagai provokasi. Padahal, secara teknis militer, kedua pihak menggunakan pendekatan yang serupa, yaitu serangan presisi terhadap infrastruktur musuh. Iran menargetkan situs militer dan infrastruktur penting Israel, sama seperti Israel menargetkan situs nuklir dan militer Iran. Namun, framing yang tidak simetris ini menunjukkan bahwa bahasa netral dalam hubungan internasional gagal menyembunyikan bias struktural.
Ketimpangan narasi ini mengakar dalam konstruksi historis sistem internasional, di mana posisi negara dalam hierarki global lebih menentukan persepsi publik dan legitimasi tindakan, dibandingkan prinsip hukum dan moral universal. Faktor inilah yang membuat tindakan Israel seolah berada dalam kerangka justifikasi, sementara respons Iran otomatis dicurigai sebagai ancaman bagi stabilitas kawasan.
Menyoal Keseimbangan Kekuatan
Secara militer, Iran telah menunjukkan kapasitas ofensif. Operation True Promise 3 berhasil menembus pertahanan Iron Dome dan Arrow, meski sebagian bisa dicegat. Kelompok-kelompok proksi seperti Houthi juga aktif membuka front baru terhadap Israel. Iran menjalankan kebijakan militernya di tengah situasi domestik yang penuh tekanan, termasuk inflasi, ekspor minyak yang menurun, krisis pangan, dan dinamika politik termasuk infiltrasi intelijen Israel melalui agen politik internal Iran.
Di sisi lain, Israel juga sedang tidak bebas dari krisis domestik. Akibat perang Gaza dan eskalasi di kawasan, ekonomi Israel mengalami kontraksi -19%, sektor tenaga kerja stagnan karena mobilisasi 300.000 reservis pasukan IDF, 38% populasi atau 3 juta warganya mengalami trauma atau depresi berat, serta 550.000 warga Israel dilaporkan meninggalkan negara itu selama enam bulan pertama perang.
Namun secara geopolitik, posisi Israel tetap lebih diuntungkan. Israel mendapatkan dukungan terbuka dari Amerika Serikat, baik dalam bentuk material (bantuan militer) maupun dukungan diplomatik di PBB. Israel juga bermitra dengan sejumlah negara Arab seperti UEA, Bahrain, Maroko, Mesir, dan Yordania. Bahkan, dalam konteks operasi militer ini, beberapa negara tersebut turut berperan mencegat drone dan misil Iran agar tidak sampai ke wilayah Israel. Sebaliknya, Iran harus menghadapi isolasi politik, embargo ekonomi, dan pembatasan diplomatik dan hanya disokong oleh Rusia dan Tiongkok dalam bentuk terbatas.
Batas Rasionalitas dalam Sistem Global
Jika keduanya berada dalam tekanan, lalu mengapa konflik ini tidak segera dihentikan? Jawabannya terletak pada cara sistem internasional yang mendefinisikan rasionalitas lebih sering berlandaskan pada upaya menjaga stabilitas kekuasaan dibandingkan pada dorongan untuk mewujudkan keadilan. Dalam logika ini, tindakan yang mempertahankan status quo global akan cenderung dianggap rasional, meskipun mencederai hak kolektif suatu bangsa. Sementara, langkah yang mengusik struktur hegemonik akan dilabeli sebagai “ekstrem”, “destabilisasi”, atau bahkan “terorisme”.
Eskalasi militer Israel-Iran menjadi studi kasus tentang bagaimana sistem internasional masih gagal menciptakan arena penyelesaian konflik yang setara. Dalam praktiknya, keamanan sering dipahami melalui ukuran kekuatan, sementara aspek perlindungan hak hidup dan keadilan belum menjadi pijakan utama dalam perumusannya.
Solusi Sistemik
Gencatan senjata mungkin bisa menghentikan ledakan misil. Namun tanpa revisi cara pandang terhadap ketimpangan dalam struktur sistem dunia, konflik semacam ini akan selalu menemukan bentuk barunya. Perang ini mengindikasikan perlunya pembaruan cara pandang global dalam memahami keamanan, legitimasi, dan keadilan, di samping upaya-upaya negosiasi yang selama ini dilakukan.
Maka apabila ada pertanyaan “sampai mana perang ini akan berlanjut?”, maka itu adalah pertanyaan yang mengundang refleksi struktural, yaitu sejauh mana sistem internasional akan terus mempertahankan relasi kekuasaan yang timpang, dan kapan dunia bersedia membuka ruang bagi nilai-nilai alternatif yang mampu menyelesaikan konflik hingga ke akarnya, seiring dengan upaya-upaya meredakan ketegangan yang telah berjalan.