
Oleh: Reza Noormansyah
Tur Trump ke Riyadh, Abu Dhabi, dan Doha di pertengahan Mei ini dirayakan dengan aplaus dan guyuran emas oleh para penguasa Arab. Di saat yang bersamaan, pemboman di Gaza yang hanya berjarak ratusan kilometer semakin intensif dan impunitas Israel semakin tidak tersentuh.
Dari sudut pandang politik ideologi, fenomena ini bukanlah hal baru dan sama sekali tidak mengejutkan. Artinya, tidak ada seruan perubahan. Dalam lanskap geopolitik, Timur Tengah saat ini tidak lagi beroperasi menjadi aktor strategis yang independen. Timur Tengah telah menjadi ruang transaksi di panggung teater kekuasaan global, di mana kedaulatan dijual dan penjajahan disulap menjadi proyek mercusuar. Kunjungan Trump hanyalah episode baru dari skenario panjang kooptasi negara-negara Arab ke dalam poros ideologi kolonialisme yang dipraktikkan di tanah Palestina.
Geopolitik lebih dari kontrol wilayah secara fisik, tetapi juga memastikan kesetiaan politik dari elit nasional. Timur Tengah saat ini menjadi salah satu episentrum geopolitik ini, jika tidak bisa dibilang menjadi pusatnya. Negara-negara Arab yang memiliki leverage energi dan finansial tidak mampu menggunakannya untuk mengeluarkan diri dari kesetiaan politik dan kepatuhan total terhadap hegemon untuk melawan penjajahan misalnya. Justru, mereka memilih untuk membeli keamanan internal dan legitimasi yang melemahkan kedaulatan.
Ketika Trump mendeklarasikan dukungan tanpa syarat untuk Israel, termasuk pembenaran atas genosida di Gaza, bahkan menjadi pioneer dalam pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem yang melanggar hukum internasional, para penguasa Arab menyambut dan membalasnya dengan triliunan dolar investasi, jet pribadi, kontrak infrastruktur, dan foto bersama yang secara geopolitik bermakna “Kami tunduk”.
Alih-alih menjadi kekuatan regional yang bisa menyeimbangkan hegemoni global, negara-negara Arab malah mengadopsi kerangka dan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan entitas Zionis. Artinya, dalam kerangka world system theory, posisi negara-negara Arab hanyalah periphery yang bersedia dikooptasi demi stabilitas status penguasa dan proteksi dari perubahan politik internal. Padahal, secara sumber daya dan juga pernah dibuktikan secara sejarah (Rashida, Umayyad, Abbasid, Ottoman), kawasan Timur Tengah mempunyai potensi untuk menjadi core atau pengatur sistem dunia.
Diplomasi Trump sendiri merupakan politik simulasi. Dari Jean Baudrillard (2005), politik simulasi adalah politik menutup realitas dengan pertunjukan simbolik. Dalam konteks ini, terjadi koreografi dalam bentuk penyambutan, foto bersama, kontrak dagang, dan narasi perdamaian yang tidak realistis, baik sacara basis pemikiran maupun metodologinya.
Misalnya, normalisasi dengan Israel tidak ditimbang berdasarkan keadilan atau hak warga Palestina, tetapi berdasarkan keuntungan yang didapatkan oleh penguasa untuk bertahan dari amarah rakyatnya sendiri. Dalam teori kritis, kekuasaan yang seperti ini adalah agensi lokal yang bersedia menjadi subkontraktor proyek kolonial. Tidak ada instrumen untuk kebaikan bersama karena telah terkooptasi struktur dominasi global.
Trump sadar bahwa entitas yang ia hadapi adalah entitas yang ketakutan akan gelombang rakyatnya sendiri sehingga tidak lagi sepenuhnya berdaulat. Dalam kondisi seperti ini, tawaran proteksi dari chaos menjadi lebih berharga bagi para penguasa ketimbang solidaritas terhadap saudaranya yang sedang ditindas. Ide ini bisa menjadi faktor kuat mengapa para penguasa Arab diam terhadap Gaza, atau setidaknya tidak sinkron antara pernyataan dan sikap politiknya. Para penguasa ini berlomba-lomba menjadi klien setia imperium demi keamanan status rezim.
Kedaulatan menjadi komoditas. Para penguasa bisa menukarkan mandat konstitusional dan tanggung jawabnya atas warga dan wilayahnya demi menjadi mitra proyek rekayasa kawasan ala Washington dan Tel Aviv. Seperti yang telah terlihat dari bahasan di atas, kawasan ini dibuat kompatibel untuk menjadi depot senjata, ATM geopolitik, dan pasar untuk imperialisme. Berubah dari kawasan yang dulunya adalah rumah bagi kemanusiaan dan peradaban.
Tur Trump ke Timur Tengah menjadi lebih dari agenda bilateral. Tur ini adalah simbol dari pelemahan kawasan dari pusat potensi pembebasan menjadi wilayah netralisasi, tempat di mana suara untuk keadilan warga Palestina dibungkam dan berbagai bentuk pelanggaran dilanggengkan melalui jet pribadi, gedung-gedung pencakar langit, dan resort-resort mewah.
Di tengah reruntuhan Gaza, di atas jasad anak-anak dan ibunya, di bawah rumah sakit yang hancur akibat senjata buatan Amerika, para penguasa Arab tetap melempar senyum, bersalaman, berpose, dan menandatangani cek yang menyerahkan kepercayaan dan masa depan. Sebuah pola sikap politik yang memastikan kegagalan dalam catatan kaki sejarah.