Tidak Ada yang Membela Muslim Uyghur

Oleh: Hasbi Aswar, S.IP., M.A., Ph.D

Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini menjatuhkan sanksi visa terhadap pejabat Thailand setelah negara tersebut mendeportasi 40 Muslim Uyghur ke China. Deportasi ini mendapat kecaman luas karena Uyghur yang dikembalikan ke China berisiko menghadapi penyiksaan, penghilangan paksa, dan penindasan yang lebih lanjut. Departemen Luar Negeri AS menegaskan bahwa sanksi ini bertujuan untuk melawan tekanan China terhadap negara-negara lain agar mengembalikan warga Uyghur yang melarikan diri dari penganiayaan.

Meskipun AS dan Kanada telah menawarkan pemukiman kembali bagi 48 Uyghur, Thailand tetap menolak tawaran tersebut, diduga karena takut merusak hubungan diplomatik dan ekonominya dengan China. Sanksi yang dijatuhkan oleh AS bertujuan untuk memberikan efek jera bagi negara lain agar tidak melakukan deportasi serupa di masa mendatang.

Nasib Uyghur: Tidak Aman di China, Tidak Aman di Luar Negeri

Komunitas Muslim Uyghur terus hidup dalam ketidakpastian. Di dalam China, mereka menghadapi pembatasan ketat terhadap kebebasan beragama. Selama bulan Ramadan, mereka diawasi dengan ketat untuk mencegah mereka menjalankan ibadah puasa. Lebih dari satu juta Muslim Uyghur dilaporkan telah dikirim ke kamp-kamp “re-edukasi,” di mana mereka dipaksa meninggalkan Islam dan menggantikannya dengan ideologi nasionalisme China dan komunisme.

Sayangnya, di luar China pun nasib mereka tidak jauh lebih baik. Negara-negara dengan hubungan erat dengan Beijing sering kali menolak memberikan perlindungan kepada warga Uyghur yang mencari suaka. Bahkan negara-negara mayoritas Muslim seperti Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab diketahui telah mendeportasi pengungsi Uyghur kembali ke China, di mana mereka menghadapi ancaman penindasan lebih lanjut. Keengganan negara-negara ini dalam membela Uyghur dapat dimaknai sebagai bentuk kepatuhan terhadap kepentingan politik dan ekonomi mereka dengan China.

Isu Uyghur: Kepentingan Geopolitik di Balik Solidaritas

Amerika Serikat sering kali tampil sebagai pihak yang lantang menyuarakan pembelaan terhadap hak-hak Uyghur. Namun, apakah ini benar-benar didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan? Nyatanya, isu Uyghur lebih banyak dijadikan sebagai alat politik dalam persaingan global AS dan China. Dengan menyoroti pelanggaran hak asasi manusia terhadap Uyghur, AS berupaya merusak citra internasional China. Jika bukan karena rivalitas geopolitik ini, kemungkinan besar perhatian AS terhadap nasib Uyghur tidak akan sebesar sekarang.

Ketidakseriusan AS dalam membela hak-hak Muslim juga terlihat dalam sikapnya terhadap kasus penindasan Muslim di Myanmar dan India. Meskipun Muslim Rohingya mengalami kekerasan genosida dan Muslim di India menghadapi diskriminasi sistematis, AS tidak mengambil langkah tegas seperti yang dilakukan terhadap isu Uyghur. Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian Washington terhadap Uyghur lebih bersifat selektif dan berbasis kepentingan strategis.

Dunia Muslim dan Krisis Solidaritas

Islam dan umat Muslim kini semakin menjadi objek politik bagi berbagai rezim dunia. Para pemimpin negara-negara Muslim lebih mengutamakan kepentingan nasional mereka sendiri, termasuk menjaga hubungan baik dengan kekuatan besar seperti China dan AS, daripada membela saudara seiman mereka yang sedang mengalami penindasan. Mereka memilih diam ketika Muslim Uyghur dianiaya, bahkan ketika negara-negara Barat lebih aktif menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

Situasi ini mencerminkan bagaimana nasionalisme telah merusak solidaritas dunia Islam dengan kesibukan mereka terhadap masalah internal masing – masing. Selama umat Islam terus mengutamakan kepentingan nasional di atas solidaritas Islam, mereka akan tetap menjadi objek manipulasi politik global dan tidak mampu melindungi komunitas Muslim yang tertindas.

Kini saatnya bagi dunia Islam untuk mengesampingkan ego nasionalisme dan membangun solidaritas sejati. Jika tidak, nasib Uyghur hanya akan menjadi cerminan dari masa depan umat Islam lainnya yang gagal mempertahankan persatuan dan kekuatan mereka di tengah percaturan geopolitik global.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top