
Oleh: Dr. Riyan MAg (MSPI – Masyarakat Sosial Politik Indonesia)
Presiden Prabowo baru saja melakukan reshuffle kabinet dengan mengganti lima menteri, termasuk posisi penting Menteri Keuangan dan Menkopolkam. Namun, langkah ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Publik menunggu arah baru yang jelas untuk mengatasi krisis fiskal, membengkaknya utang, dan ketimpangan ekonomi. Sayangnya, tanda-tanda perubahan struktural yang dibutuhkan rakyat justru tidak tampak.
Reshuffle Parsial dan Reaktif
Pertama, reshuffle kali ini tampak reaktif, bukan proaktif. Perubahan kabinet muncul lebih sebagai respon terhadap tekanan politik pasca “Agustus Kelabu” ketimbang strategi jangka panjang. Lebih jauh, reshuffle ini bersifat parsial, karena tidak menyentuh akar masalah atau figur yang dinilai bermasalah secara menyeluruh.
Kedua, komposisi pengganti pun membuat publik menilai reshuffle hanya sebagai sirkulasi elite. Menteri baru yang diangkat pun menimbulkan kontroversi. Menteri Keuangan, misalnya, sudah menuai sorotan setelah pernyataan awalnya memicu gelombang protes mahasiswa, hingga dia – di hari kedua setelah menjabat, langsung minta maaf. Belum lagi isu capital flight di media asing. Beberapa pos lainnya juga lebih terlihat sebagai hasil kompromi politik daripada seleksi berdasarkan kompetensi.
Kekosongan Strategis di Pos-Pos Vital
Salah satu contoh nyata adalah posisi Menko Polkam yang justru dibiarkan kosong dan hanya dijalankan ad interim. Padahal, Indonesia sedang menghadapi tantangan serius di bidang politik, keamanan, dan stabilitas nasional. Alih-alih memperkuat koordinasi keamanan, pemerintahan justru memberi sinyal ketidaksiapan menghadapi situasi pasca tragedi Agustus. Idealnya, posisi Kapolri, Panglima TNI, hingga Mendagri turut dievaluasi demi stabilitas politik yang lebih kokoh.
Penambahan Kementerian Baru: Efisiensi atau Bagi-Bagi Kekuasaan?
Pemerintah juga menambah pos baru, Kementerian Haji dan Umrah, yang sebelumnya statusnya badan haji dan umroh. Secara logika, urusan ini sebelumnya ditangani Kementerian Agama. Alih-alih memperbaiki birokrasi, langkah ini justru memperbesar tubuh kabinet yang sudah obesitas. Narasi efisiensi anggaran pun berseberangan dengan kenyataan penambahan pos politik baru.
Harapan bahwa pelayanan haji dan umrah akan membaik tentu ada. Namun, publik tidak lupa pada kasus dugaan korupsi kuota haji 2024 lalu, di mana negara dirugikan lebih dari Rp1 triliun dan ribuan kuota jamaah reguler dialihkan ke jalur khusus – yang itu melanggar UU. Jika pola lama berulang, kementerian baru ini hanya akan menjadi ruang bagi kepentingan politik, bukan solusi pelayanan publik.
Antara Koalisi dan Kepentingan Rakyat
Pertanyaan mendasar: apakah reshuffle ini untuk berpihak kepada rakyat atau sekadar menyelamatkan koalisi? Fakta menunjukkan, politik kabinet saat ini lebih diarahkan untuk menjaga harmoni elite daripada menghasilkan kebijakan pro-rakyat. Koalisi yang terlalu gemuk justru membuat postur kabinet tidak efisien.
Masalah utama demokrasi adalah dominasi kepentingan, bukan gagasan. Demokrasi yang diharapkan memperjuangkan kepentingan rakyat justru sering ditentukan oleh segelintir oligarki politik dan ekonomi. Selama orientasi ini tidak berubah, reshuffle kabinet hanya akan menjadi formalitas politik yang jauh dari solusi struktural.
Penutup
Jika pemerintah serius ingin membangun fondasi baru, langkah mendesak adalah merampingkan kabinet, memilih menteri dengan kapasitas teknokratik, dan membangun arah kebijakan yang jelas untuk menyelesaikan persoalan fundamental bangsa. Tanpa itu, reshuffle hanya akan dipandang sebagai manuver elite, sementara rakyat tetap menanggung beban krisis.