Rendahnya Kompetensi Anggota Legislatif: Sebuah Fenomena Gunung Es


Oleh: Dr. Suswanta, Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Kejujuran Alfiansyah Komeng, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Barat, yang secara terbuka mengakui bahwa ia tidak memiliki kompetensi di bidang pertanian, menggemakan persoalan serius terkait kinerja anggota legislatif kita. Komeng yang berharap ditempatkan di komite seni dan budaya, justru dipaksa bertugas di Komite II DPD yang membidangi pertanian. Pengakuan ini bukan sekadar masalah personal, tetapi mencerminkan fenomena lebih luas—bahwa banyak anggota DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak memiliki kompetensi sesuai dengan tugas yang mereka emban.

Apa yang dialami oleh Komeng seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi kita semua. Sistem politik kita, yang membuka peluang bagi siapa pun untuk menjadi legislator asalkan memiliki modal sosial, politik, dan ekonomi, telah menciptakan situasi di mana kualifikasi dan kompetensi menjadi hal yang dikesampingkan. Dalam konteks ini, demokrasi kita menjadi kurang efektif karena kemampuan legislator dalam menjalankan fungsinya tidak didasarkan pada keahlian yang memadai, melainkan pada popularitas dan modal yang dimiliki.

Sistem Rekrutmen Parpol yang Bermasalah

Rendahnya kompetensi anggota DPD dan DPR adalah fenomena gunung es. Akar permasalahan ini terletak pada sistem rekrutmen partai politik yang lebih mengutamakan pragmatisme dibandingkan dengan kompetensi. Partai politik di Indonesia cenderung mencalonkan individu yang populer, berpengaruh, dan memiliki modal besar, tanpa memperhatikan apakah mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas legislatif. Akibatnya, ketika mereka terpilih dan duduk di parlemen, mereka kerap kali tidak mampu menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran dengan baik.

Tidak adanya sistem seleksi yang berbasis pada kompetensi telah menurunkan kualitas legislatif kita secara drastis. Banyak anggota dewan yang tidak serius dalam menghadiri sidang-sidang penting terkait pembahasan undang-undang atau peraturan yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Rendahnya kehadiran dalam sidang serta minimnya kontribusi dalam perumusan kebijakan menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang tidak memahami, atau tidak tertarik untuk memahami, isu-isu yang mereka hadapi.

Lebih parah lagi, banyak anggota legislatif yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi, kolusi, nepotisme, hingga pelanggaran moral seperti asusila dan narkoba. Ini menunjukkan betapa lemahnya kontrol internal dan etika di kalangan legislator kita. Ketika mereka lebih sibuk memikirkan bagaimana mengembalikan modal kampanye daripada memikirkan kepentingan rakyat, maka sudah dapat dipastikan bahwa kinerja lembaga legislatif akan semakin memburuk.

Modal dan Transaksionalisme dalam Pemilu

Dalam sistem demokrasi kita, siapa pun memang memiliki peluang untuk menjadi legislator. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki modal sosial, politik, dan ekonomi yang benar-benar berpeluang terpilih. Dukungan dari pemodal dan elit politik partai menjadi penentu utama kemenangan seseorang dalam pemilu legislatif, dan dukungan ini tidak pernah gratis. Dalam banyak kasus, dukungan tersebut bersifat transaksional, di mana legislator yang terpilih memiliki kewajiban untuk membalas budi kepada pihak-pihak yang telah membantu mereka.

Pola transaksional ini membuka pintu bagi intervensi kepentingan oligarki dalam proses pembuatan undang-undang. Tidak jarang, legislator yang minim kompetensi menerima masukan atau bahkan “dikendalikan” oleh lembaga-lembaga konsultan yang berafiliasi dengan oligarki, baik dalam maupun luar negeri. Mereka membantu merumuskan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan kelompok elit tersebut, sementara rakyat sebagai konstituen utama justru dirugikan. Beberapa contoh yang jelas adalah pengesahan UU Cipta Kerja, UU Sumber Daya Air, dan UU Minerba, yang dinilai lebih banyak menguntungkan kepentingan korporasi besar daripada melindungi kepentingan masyarakat umum.

Konsekuensi bagi Kinerja Legislatif

Salah satu konsekuensi paling nyata dari rendahnya kompetensi anggota DPD dan DPR adalah merosotnya kualitas legislasi. Fungsi legislasi, yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, justru sering kali diabaikan. Banyak legislator yang bahkan tidak hadir dalam sidang-sidang pembahasan rancangan undang-undang, atau jika hadir, kontribusinya sangat minim. Hal ini jelas menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas regulasi yang dihasilkan.

Fungsi pengawasan juga sering kali tidak berjalan dengan baik. Legislator yang tidak memahami isu-isu penting di bidang tugasnya tentu tidak akan mampu melakukan pengawasan yang efektif terhadap eksekutif. Ini menyebabkan kontrol terhadap pemerintah menjadi lemah, yang pada akhirnya memperburuk kualitas pemerintahan secara keseluruhan.

Jalan Keluar dari Krisis Kompetensi

Untuk mengatasi krisis kompetensi di lembaga legislatif, diperlukan reformasi mendalam dalam sistem rekrutmen partai politik. Partai politik harus mulai mengutamakan kompetensi dan integritas dalam memilih calon legislatifnya. Pragmatisme yang mengedepankan popularitas dan modal harus ditinggalkan demi terciptanya legislator yang benar-benar mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Partai politik harus memiliki mekanisme seleksi yang ketat, yang mengukur kualifikasi calon legislatif berdasarkan kemampuan mereka dalam bidang yang relevan.

Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan kapasitas anggota legislatif melalui pelatihan dan pendidikan berkelanjutan. Legislator harus diberikan kesempatan untuk memperdalam pemahaman mereka terhadap isu-isu penting yang mereka hadapi, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif.

Tanpa adanya reformasi mendasar dalam sistem politik kita, rendahnya kompetensi anggota legislatif akan terus menjadi hambatan bagi perkembangan politik kita. Sistem politik yang ideal adalah di mana para elit – elit politiknya dipilih berdasarkan kompetensi, bukan karena popularitas atau kekayaan. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh para pembuat kebijakan benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elit yang memiliki modal besar.

Sebagai bangsa, kita perlu bergerak ke arah perbaikan yang lebih sistematis, demi terciptanya para pemimpin yang kompeten, efektif, dan berintegritas tinggi.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top