
Oleh: Mustajab al-Musthafa
Mendekati setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, komunikasi politik yang dibangun menunjukkan tanda-tanda yang kurang elok. Masih cenderung bombatis bahkan manipulatif. Model komunikasi seperti itu jamak terjadi pada masa kampanye pemilihan umum untuk membangun citra postif atau untuk menarik dukungan publik. Kini,setelah pemilu itu usai, model komunikasi seperti itu masih berlangsung dan dilakukan oleh penguasa. Padahal komunikasi politik penguasa—yang dalam hal ini pemerintah (eksekutif), anggota DPR dan lembaga yudikatif–menjadi sangat penting untuk membangun kepercayaan publik atas kinerja mereka.
Komunikasi politik yang problematik bisa saja berupa ketidak sesuaian antara janji politik dan kebijakan yang diambil setelah terpilih atau penyampaian data yang tidak akurat. Ketidaksesuaian janji dengan realitas politik tidak serta merta menjadi buruk karena banyaknya faktor yang terkait dan berpengeruh. Dalam konteks ini,ada ruang klarifikasi yang cukup bagi pemerintah (penguasa) sehingga publik tidak memandangnya sebagai pengingkaran janji yang disengaja. Sementara dalam konteks penyampaian data yang keliru,tidak akurat atau bahkan manipulatif, bisa menimbulkan masalah baru dan tidak terselesaikannya maslaah yang ada. Walaupun bisa saja data tersebut dianggap tepat oleh pimpinan karena diperoleh dari para pembantunya. Disini ada potensi terjadi pelaporan Asal Bapak Senang (ABS). Dalam konteks ini,penyampaian data yang tidak akurat, apalagi jika amnipulatif, bisa masuk pada kategori Kebohongan Publik.
Janji vs Realita
Pada awal pemerintahan Prabowo-Gibran, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan efisisensi keuangan yang bukan saja menyasar anggaran kementerian tetapi juga pemerintah daerah. Namun kebijakan itu menjadi konta produktif ketika diperhadapkan pada kebijakan pemerintah yang lainnya, yang justru menunjukkan inefisiensi. Contohnya pembentukan “kabinet gemoy” (gemuk), peluncuran program Makan Gizi Gratis dan Pembangunan Sekolah Rakyat. Tetapi dalam konteks ini, pemerintah bisa saja membangun banyak dalih untuk membenarkan klaim urgensi dan ketepatan kebijakannya.
Janji politik memang tidak serta merta dan tidak mutlak terealisasi. Ada banyak faktor yang berpengaruh atas perealisasiannya. Disinilah ruang perdebatan itu terjadi, apakah alasannya rasional atau tidak, logis atau tidak. Karena memang ada janji politik yang tingkat kemustahilannya untuk direalisasikan sangat tinggi. Misalnya tentang menjadikan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar USA menjadi 10.000:1. Ralitas ekonomi negara saat janji itu dilontarkan memang tidak mendukung, terlebih pada perjalanan pemerintahan selanjutnya tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Sebagaimana janji untuk menjadikan negara sebagai negara maju ditengah-tengah semua kompenen pendukungnya bermasalah secara akut.
Contoh lain dari komunikasi seperti ini adalah terkait pemberantasan korupsi. Ketika pemerintah, yang dalam hal ini presiden, menyampaikan komitmennya secara terbuka untuk memburu dan menindak tegas koruptor, justru kebijakannya bertolak belakang dengan memberikan amnesti, abolisi dan remisi kepada terdakwa dan terpidana kasus korupsi.
Komunikasi politik seperti ini cenderung hanya memperpanjang perdebatan politik dan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Validitas Data
Data yang tidak valid ini seringkali menghiasi komunikasi politik politisi dan penguasa. Hal ini biasanya dilakukan oleh lembaga yang kemudian menjadi rujukan pihak tentu untuk mendukung penyampainnya. Kalau dalam konteks kampanye, para politisi rentan melakukan atau terjebak dengan hal ini. Semisal data dukungan, elektabilitas, dan lainnya. Tetapi dalam konteks kampanye pemilihan umum, pola ini cenderung dinormalisasi dengan nama pencitraan. Bisa juga manipulasi data itu dari lembaga tentu untuk mendukung klaim kesuksesan rezim tertentu. Sebagai contoh, laporan keuangan Garuda menjelang pemilu 2019 diklaim “untung”, padahal data yang dimasukkan adalah “potensi keuntungan”. Contoh lainnya adalah klaim data 11.000 triliun dana yang menganggur (tersimpan) di luar negeri. Ini sama sekali tidak memiliki sumber yang bisa difalidasi. Tapi itu juga dalam konteks kampanye pemilihan umum.
Problem validitas data ini menjadi bermasalah secara sistemik ketika dilakukan oleh lembaga resmi negara. Misalnya tentang data kemiskinan. Klaim keberhasilan menurunkan “angka kemiskinan” berulangkali dilakukan oleh pemerintah. Pada pemerintahan sebelumnya, klaim angka kemiskinan dibawah 10%. Padahal untuk mencapai angka yang diinginkan itu, nilai standar kemiskinannya diturunkan atau komponen penilaiannya diatur. Misalnya penerima bantuan Rumah Layak Huni diklaim sudah sejahtera sekalipun pendapatannya untuk kebutuhan pangan dan pakaian belum mencukupi. Problem lainnya soal data kemiskinan adalah ketidaksinkronan antara data penduduk miskin di BPS dengan Data BPJS kesehatan, Kementerian Sosial, dan beberapa lembaga lainnya yang pada umumnya penerima bantuan mensyarakatkan penduduk miskin. Contoh kasus
Terakhir, presiden Prabowo Subianto menyampaikan penurunan angka kemiskinan dengan sumber BPS, pada angka 8,47% per Maret 2025 (23,85 juta), yang menurun sebanyak 1,37 juta dari Maret 2024. Hal itu disampaikan pada Pidato Kenegaraan tanggal 15 Agustus di Gedung MPR. Seiring dengan itu juga diklaim terjadi penurunan angka pengangguran menjadi 4,76 per Februari 2025 dari 4,82% pada tahun lalu (cnbcindonesia, 15/8/2025). Sementara pada saat yang sama, penerima bantuan BPJS Kesehatan yang dibayarkan iurannya oleh negara (PBI) sebanyak 96,8 juta hingga Mei 2025. Ini mencakup peserta miskin dan tidak mampu ( Data BPS). Sementarapenerima Bantuan Sosial (bansos) Tahap II Tahun 2025 sebanyak 16,5 juta keluarga, mencakup Program Keluarga harapan dan Bantuan pangan Nontunai. Jika dirata-ratakan satu keluarga 4 orang anggota maka ada 66 juta orang penerima (Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional/DTSEN).
Dengan pola komunikasi seperti itu, pemerintah sulit membangun kepercayaan publik atas kinerja mereka. Bahkan berpotensi kehilangan kepercayaan yang berujung pada ketidakpatuhan atau pembangkangan. Olehnya itu menjadi penting bagi pemerintah, bahkan bagi siapapun dan utamanya para politisi dan pejabat publik/negara untuk membangun komunikasi politik yang baik dan benar serta menjunjung tinggi etika.[mm]