Penjarahan Legal Pertambangan oleh Oligarki lebih Menyengsarakan Rakyat

Oleh : Suswanta  

Banyak pihak menyesalkan aksi penjarahan yang menyasar rumah pejabat negara, termasuk milik Anggota DPR RI Nonaktif Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam pandangan publik, demonstrasi merupakan hak warga negara dalam berdemokrasi. Akan tetapi, demi kepentingan bersama, hendaknya demonstrasi dilakukan secara damai tanpa aksi penjarahan dan perusakan fasilitas publik. Polisi pun segera sigap dan menangkap para pelaku perusuhan hingga penjarahan. Dengan alasaan apapun, aksi penjarahan memang tidak bisa dibenarkan karena merugikan pihak lain.

Menarik untuk dijelaskan, jika publik mencela aksi penjarahan rumah anggota DPR dan Menteri beberapa waktu lalu serta polisi dengan sigap segera menangkap para pelaku, mengapa mayoritas publik, pemerintah dan aparat kepolisian diam terhadap penjarahan legal pertambangan oleh oligarki? Tidak ada yang menjadi tersangka dan ditahan, malah para pembuat kebijakan dan oligarki diuntungkan dengan berbagai fasilitas. Padahal penjarahan legal sumberdaya pertambangan ini terbukti sangat merugikan rakyat. Artikel singkat ini bertujuan menjelaskan bagaimana penjarahan sumber daya pertambangan, khususnya nikel  dilakukan secara legal dan disetujui pemerintah dan DPR padahal jelas-jelas memiskinkan dan menyengsarakan rakyat.

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” demikian bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Gemah Ripah loh jinawi merupakan semboyan yang menggambarkan betapa kaya rayanya Indonesia akan sumber daya alam, termasuk dari sektor pertambangan. Jika kekayaan alam tersebut dikelola sesuai amanat konstitusi, niscaya akan membawa kemakmuran, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian bagi masyarakat seutuhnya. Ironisnya, hasil tambang melimpah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke tidak membuat masyarakat menjadi makmur dan sejahtera. Aceh yang kaya dengan sumber daya pertambangan justru menjadi provinsi termiskin di Sumatera. Demikian juga dengan Papua, daerah yang kaya dengan sumber daya pertambangan justru menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Carut marut tata kelola pertambangan hingga kebijakan nasional pertambangan yang tidak sesuai mandat konstitusi menyebabkan kemakmuran dan kesejahteraan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Sebagai contoh kasus, Indonesia adalah negara dengan sumber daya dan cadangan nikel terbesar kedua di dunia. Sumber daya dan cadangan nikel di Indonesia terbagi dua, yaitu bijih dan logam. Total sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 17,3 miliar ton, dengan hitungan logam hingga 174,2 juta ton, merujuk data pemerintah per 2022. Pada saat yang sama, berdasarkan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), cadangan nikel Indonesia dalam logam menyentuh 21 juta ton, terbesar di dunia bersama Australia. Kedua negara ini sama-sama memegang 21% cadangan nikel global. Pasokan nikel Indonesia terpusat di Pulau Sulawesi ( cadangan mencapai 54,7% dari angka total Indonesia). Lumbung nikel kedua terbesar adalah Kepulauan Maluku dengan 44,6%. Per 2023, ada 373 konsesi tambang nikel berstatus clean and clear atau CnC yang diterbitkan pemerintah, entah dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan maupun Kontrak Karya. Ini mencakup area dengan luas total 960.117 hektare. Sebanyak 309 di antaranya, dengan luas 691.929,6 ha, berada di Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Tengah. Lalu, ada 59 konsesi di Maluku Utara dan hanya satu di Maluku dengan luas gabungan 231.486,4ha.(https://projectmultatuli.org/cina-di-hilir-gurita-oligarki-nikel-indonesia).

Melihat potensi tersebut, para pemodal, baik asing atau lokal, berbondong-bondong datang ke kedua kawasan itu untuk menambang atau membangun pabrik pengolahan nikel. Per 2023, ada 373 konsesi tambang nikel berstatus clean and clear atau CnC yang diterbitkan pemerintah, dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan maupun Kontrak Karya. Ini mencakup area dengan luas total 960.117 hektare. Sebanyak 309 di antaranya, dengan luas 691.929,6 ha, berada di Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Tengah. Lalu, ada 59 konsesi di Maluku Utara dan hanya satu di Maluku dengan luas gabungan 231.486,4 ha. Dari ratusan data itu, Project Multatuli menyisir empat korporasi atau grup usaha yang mengendalikan konsesi CnC seluas total 271.650,5 ha atau lebih dari 28% lahan tambang nikel Indonesia. Mereka adalah PT Vale Indonesia, PT Aneka Tambang, PT Weda Bay Nickel, dan Bintang Delapan Group.

Operasi tambang nikel di Indonesia disebut telah mengakibatkan deforestasi seluas 78.948 ha sejak 2014. Operasi PLTU di Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah dan Kawasan Industri Weda Bay di Maluku Utara, membuat udara tercemar dan memicu lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut. Selain itu, masalah pembebasan lahan yang memicu konflik horizontal dan bahkan membuat smelter dibangun di atas tanah masyarakat adat. Investasi di sektor pengolahan ternyta bersifat padat modal, bukan padat karya. Penyerapan banyak pekerja dibutuhkan hanya tahap awal saat konstruksi infrastruktur, setelah itu mesin yang bekerja. Sepanjang 2017-2022, angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara tetap lebih tinggi dari angka nasional.

Kondisi ini didukung dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang secara terang-terangan melegalkan perusakan lingkungan oleh pengusaha tambang secara terstruktur dan masif untuk sebesar-besarnya kemakmuran elit dan penguasa. Hal ini mengindikasikan bahwa UU Minerba Baru merupakan hasil kompromi antara elit pengusaha dan penguasa, praktik inilah yang dikenal dengan state capture corruption. State capture corruption merupakan manipulasi pembuatan kebijakan dan aturan yang main muncul termasuk hukum dan peraturan ekonomi oleh penguasa dan/atau pengusaha kuat untuk keuntungan mereka sendiri (Anne Lugan and Mouli, 2010).

Beberapa keuntungan yang diperoleh pengusaha akibat penerapan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 yaitu  ; Pertama, cakupan wilayah pertambangan menjadi tanpa batas sehingga berpotensi dieksploitasi habis-habisan oleh pengusaha tambang guna memperoleh untung sebesar-besarnya tanpa mempedulikan risiko bencana ekologis yang mengikutinya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 angka 28a dan Pasal 17 ayat (2) UU Minerba baru, dimana Pasal 1 angka 28a menyebutkan bahwa “Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah dibawah perairan, dan landas kontinen.” Akibat ketentuan ini, lebih dari 11 juta hektar ruang hidup dan wilayah kelola rakyat dijarah oleh investasi pertambangan, pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil juga mengakibatkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan terdampak dan terancam ruang hidupnya, dan mengakibatkan wilayah perairan di 3.197 tercemar oleh limbah pertambangan (WALHI, 2022).

Kedua, ketentuan Pasal 99 ayat (3) UU Minerba Baru memberikan pelonggaran kewajiban reklamasi dan kegiatan pasca tambang bagi pengusaha tambang yang berpotensi untuk menciptakan lebih banyak lubang tambang beracun nan mematikan. Pasal 99 ayat (3) pada intinya menentukan bahwa perusahaan hanya wajib menutup lubang tambang berdasarkan persentase yang ditentukan peraturan perundang-undangan dalam hal ini Peraturan Pemerintah (PP) bukan seluruh lubang tambang hasil kegiatan pertambangan. Auriga Nusantara mencatat bahwa dengan kebijakan ini maka luasan lubang bekas tambang yang terancam tak direklamasi mencapai 87.307 hektar (Auriga Nusantara, 2020). Berdasarkan laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur terhitung sejak tahun 2011 hingga tahun 2021 terdapat 40 orang menjadi korban tenggelam di lubang tambang di Kalimantan Timur yang tidak direklamasi (Mongabay, 2021).

Ketiga, ketentuan Pasal 100 ayat (1) UU baru menjelaskan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib menyediakan serta menempatkan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang. Adanya frasa “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat dimaknai bahwa para pemegang izin tambang nantinya dapat memilih salah satu penyediaan dana jaminan reklamasi atau hanya dana jaminan pascatambang. Padahal dalam ketentuan UU lama, reklamasi dan pascatambang wajib dilakukan keduanya. Reklamasi dan pascatambang bukan pilihan, kedua hal ini merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan untuk mewujudkan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

Keempat, dengan dalih meningkatkan penerimaan negara melalui ketentuan Pasal 169 A dan Pasal 169 B, pemerintah memberikan jaminan perpanjangan izin tanpa lelang bagi perusahaan mineral dan batubara dengan lisensi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Menurut Pasal 169 A, para pemegang PKP2B dapat diberi perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebanyak dua kali 10 tahun. Pasal 169 B mengatur pemegang PKP2B yang dapat meminta perpanjangan lima tahun sebelum kontraknya berakhir. Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan PKP2B baru dapat diberikan paling cepat dua tahun sebelum berakhirnya kontrak. Melalui ketentuan pasal-pasal ini, pemegang PKP2B bisa segera memperoleh perpanjangan dalam bentuk IUPK tanpa melalui lelang sehingga BUMN tidak mendapat prioritas untuk mendapatkan wilayah bekas PKP2B. Padahal pada UU Minerba lama ditentukan bahwa jika izin sudah berakhir maka perusahaan tambang tersebut seharusnya dikelola oleh negara, hal ini jelas-jelas menciderai hak penguasaan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat  sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Kelima, dugaan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha tambang semakin menguat dengan dihilangkannya pengaturan mengenai ancaman pidana bagi pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangannya dalam penerbitan izin pertambangan sebagaimana sebelumnya diatur pada Pasal 165 UU Minerba lama. Hal ini membuka celah korupsi yang semakin besar di sektor pertambangan. Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama 2020 menyebutkan bahwa kerugian negara akibat korupsi kekayaan alam mencapai hampir Rp30,5 miliar, dimana kerugian tersebut hanya berasal dari lima kasus korupsi, yaitu masing-masing dua di sektor tambang dan energi, dan satu di sektor kehutanan (Pusat Edukasi Antikorupsi, 2023). Kondisi ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ferdian Yazid yang menyatakan bahwa korupsi akan cenderung tumbuh subur di negara yang memberikan perlindungan bisnis bagi perusahaan nasional terhadap kompetisi asing dalam berbagai bentuk, termasuk melalui kebijakan yang menghambat aktivitas perdagangan (Ferdian Yazid, 2021).

Pasal-pasal bermasalah tersebut sebagai produk dari praktik state capture corruption memiliki dampak sistemik terhadap kemiskinan, kehancuran lingkungan hidup, pelanggaran HAM, rubuhnya sistem sosial budaya masyarakat, dan dampak lainnya dalam kehidupan sosial ekologi masyarakat. Transparansi yang terang benderang dan pengawasan, serta partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya dalam proses pembuatan kebijakan sangat penting untuk mencegah terjadinya manipulasi kebijakan yang merugikan negara dan masyarakat seluruhnya. Tanpa ketiga hal tersebut, Indonesia dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan menjadi tanah surga bagi oligarki namun menjadi neraka bagi masyarakat masa kini dan generasi yang akan datang sebab harus hidup berdampingan dengan bencana ekologis akibat eksploitasi pertambangan yang dilegalkan oleh kebijakan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top