
Oleh: Reza Noormansyah
“Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan,” demikian bunyi pembukaan alinea pertama UUD 1945. Namun, penolakan terhadap penjajahan semestinya tidak berhenti pada alasan moralitas semata. Penjajahan bukan hanya tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Penjajahan adalah virus ideologis yang menular, membiak, dan merusak secara sistemik.
Sejarah membuktikan bahwa penjajahan tidak hanya menindas wilayah yang dijajah, tetapi juga menyebarkan sistem dan cara pandang penjajah kepada dunia. Dari kolonialisme Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin hingga imperialisme modern oleh negara-negara adidaya, penjajahan selalu membawa satu paket lengkap: dominasi ekonomi, kontrol militer, dan penetrasi pemikiran. Inilah bentuk penjajahan baru atau yang dikenal sebagai neokolonialisme, yang justru lebih berbahaya karena tidak kasat mata.
Ambil contoh sistem ekonomi kapitalis global yang hari ini mendominasi dunia. Negara-negara Dunia Ketiga yang secara politik telah merdeka, tetapi secara ekonomi tetap tergantung pada bekas penjajah atau lembaga-lembaga internasional bentukannya. Joseph Stiglitz, mantan kepala ekonom Bank Dunia, pernah menyatakan bahwa “resep ekonomi neoliberal yang dipaksakan oleh IMF seringkali merusak negara berkembang dan memperdalam ketimpangan” (Globalization and Its Discontents, 2002).
Menurut laporan Debt Justice, 54 negara berkembang kini mengalami krisis utang. Negara-negara ini mengalokasikan hingga 47% dari anggaran negara hanya untuk membayar bunga dan cicilan utang luar negeri. Postur anggaran tersebut menunjukkan bagaimana penjajahan ekonomi terus berlangsung melalui sistem utang dan regulasi global.
Penjajahan yang Menular
Penjajahan bukan hanya aksi entitas penjajah terhadap entitas terjajah. Penjajahan adalah sistem yang bisa ditiru, diwariskan, bahkan dilembagakan. Dalam dunia poskolonial, praktik kolonial diadopsi oleh aktor-aktor baru, seperti korporasi multinasional, aliansi militer internasional, dan bahkan rezim lokal/nasional yang berorientasi pada kepentingan global.
Praktik land grabbing (perampasan lahan) oleh korporasi di Afrika dan Asia Tenggara adalah contoh nyata. Berdasarkan data Land Matrix Analytical Report III 2021, sejak tahun 2000, lebih dari 30 juta hektar lahan di negara-negara berkembang telah diambil alih oleh perusahaan asing, terutama dari Eropa, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Lahan-lahan tersebut digunakan untuk pertanian ekspor, pertambangan, atau proyek infrastruktur, yang notabene kurang memberi manfaat bagi masyarakat lokal.
Pada aspek militer, kita bisa melihat pola serupa. Penjajahan militer modern dijalankan melalui operasi-operasi “perdamaian” atau kampanye “war on terror” seperti yang dilakukan NATO dan sekutunya. Misalnya invasi militer ke Irak tahun 2003 yang dilakukan tanpa mandat PBB dan menewaskan ratusan ribu warga sipil serta mengakibatkan instabilitas jangka panjang. Atau agresi Israel ke Gaza yang masih berlangsung hingga tulisan ini dibuat yang memakan 50.000 lebih korban jiwa warga Gaza.
Sementara itu, penjajahan pemikiran berlangsung halus melalui soft power, yaitu dengan kurikulum pendidikan, media populer, dan teknologi. Edward Said dalam Orientalism (1978) menjelaskan bahwa Barat membentuk narasi tentang Timur sebagai “inferior” untuk membenarkan dominasi mereka. Saat ini, negara-negara mayoritas muslim masih menjadikan sistem hukum kolonial, gaya hidup, dan pemikiran Barat sebagai simbol kemajuan.
Dari Penjajahan, Lahir Kejahatan-Kejahatan Baru
Penjajahan hari ini melahirkan berbagai bentuk kejahatan sistemik. Sebut saja krisis iklim akibat eksploitasi alam, kemiskinan struktural, atau perdagangan internasional yang timpang. Menurut laporan Oxfam 2024, 1% orang terkaya dunia kini menguasai hampir 60% kekayaan global, sementara lebih dari separuh populasi dunia hidup dengan kurang dari $5,50 per hari. Berbagai keterpurukan dan ketimpangan tersebut adalah hasil tatanan global yang berpihak pada elite kapitalis sebagai warisan langsung dari penjajahan.
Solusi: Dekolonisasi Sejati Dimulai dari Kesadaran Ideologis
Maka, penghentian penjajahan tidak cukup hanya dengan menolak kekerasan fisik atau menuntut ganti rugi sejarah. Dunia butuh dekolonisasi sejati, yaitu pemutusan total dan pembebasan dari sistem dan ideologi penjajahan. Dalam konteks dunia Muslim, pembebasan ini berarti membangun tatanan yang sesuai dengan Islam. Allah Swt. berfirman, “Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil” (QS Al-Baqarah: 188), dan Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya dizhalimi.” (HR. Bukhari & Muslim).
Apakah kesadaran ideologis ini benar-benar bisa membebaskan manusia dari penjajahan? Sejarah sendiri telah bercerita bahwa ketika Islam membebaskan negeri-negeri, mereka tidak menjarah, tetapi membawa kehidupan yang memuliakan warganya, yang baru-baru ini diamini juga oleh seorang Rabbi Yahudi. Andalusia, Baghdad, Istanbul, dan Syam menjadi pusat peradaban karena Islam memuliakan ilmu, menjamin hak milik, dan melarang eksploitasi. Fakta sejarah ini bisa dijadikan pelajaran bahwa kesadaran adalah modal dekolonialisasi dari kolonialisme yang telah menjangkau alam pemikiran.
Menghapus penjajahan bukan sekadar agenda politik, tetapi proyek peradaban. Kita tidak hanya menolak penjajahan karena ia tidak adil, tetapi karena ia menular, membusuk, dan melahirkan kejahatan-kejahatan lain. Maka sudah saatnya dunia benar-benar merdeka, bukan hanya dari penjajah, tapi dari cara berpikir penjajah.