
Oleh: Mustajab al-Musthafa
Nasionalisme diartikan sebagai paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri (kbbi.web.id, kata nasionalisme). Ia merupakan paham yang lahir dari keterikatan perasaan terhadap tanah kelahiran atau tempat tinggal yang kemudian membentuk suatu identitas yang disebut bangsa (nation). Kata “nation” (Inggris) merupakan serapan dari kata “natio” (Latin). Sementara “natio” berasal dari kata “nascor” (aku lahir) dan dari kata “natus sum” (aku dilahirkan). Olehnya itu nasionalisme berkaitan dengan tanah kelahiran, yaitu tentang kecintaan dan solidaritas berdasarkan tanah kelahiran.
Nasionalisme tumbuh dalam ikatan perasaan sebagai respon atas suatu keadaan—secara umum karena keterjajahan (kolonialisasi) yang dialami secara bersama. Tumbuh bersama dengan sikap patriotik (perlawanan) terhadap penjajahan yang dialaminya. Latar belakang keluarga, suku, rasa dan agama yang berbeda bisa saja melebur membentuk identitas baru ketika mereka merasa senasib dan sepenanggungan dalam membela dan memperjuangkan hak-haknya atas perampasan yang dilakukan oleh pihak lain (penjajah). Identitas baru ini adalah “nation” (bangsa) yang banyak terbentuk pada Abad ke-20 Masehi akibat kolonialisasi. Salah satunya adalah Indonesia.
Pada perkembangannya, muncul gagasan “one nation one state” (satu bangsa untuk satu negara). Dalam konteks Indonesia, lahir dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kemudian digelorakan salah satunya melalui lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”. Sikap patriotik itu kemudian berkembang menjadi lebih luas dalam bangunan cita-cita bersama untuk meraih kemerdekaan yang berdasarkan pada identitas baru tersebut. Dengan demikian bangsa (nation) bukanlah hal alamiah melainkan produk manusia yang lahir dari suatu realitas politik, yaitu keterjajahan.
Ekspresi nasionalisme akan menguat ketika menghadapi imperialisme dan cenderung buyar seiring dengan hilangnya imperialisme tersebut. Bahkan tak sedikit kasus ikatan tersebut retak dan saling berhadapan satu dengan lainnya dalam konflik baru akibat akses kekuasaan yang telah diraih tidak terdistribusi dengan baik atau menimbulkan kekecewaan diantara kompenen pembentuknya karena adanya ketidakadilan ataupun janji yang tak ditepati. Istilahnya, melawan bangsa sendiri.
Dalam konteks konflik politik ataupun penjajahan yang terjadi di negara lain (bangsa lain), nasionalisme kehilangan vitalitasnya. Ia hanya sampai pada ekspresi kepedulian yang bersifat simpati, yaitu suatu perasaan iba atau kasihan terhadap bangsa lain yang ditimpa musibah dan biasanya disertai bantuan materi untuk meringankan beban korban. Tidak mewujud menjadi empati, yaitu perasaan iba dan meresa bahwa ia bagian dari musibah itu serta berusaha membantu sesuai kebutuhan korban hingga masalahnya selesai. Sekalipun bangsa itu memiliki kesamaan latar belakang keluarga, suku, ras, dan agama. Karena standar bertindaknya adalah bangsa, teritorial yang disebut tanah air.
Olehnya itu, ketika dunia dilanda kolonialisasi pada Abad ke-19 dan 20 Masehi, ia cukup efektif untuk mendorong semangat patriotik dalam upaya membebaskan diri (negerinya) yang terjajah, tapi dalam batas-batas teritorial tertentu yang masuk dalam kesepakatan batas bangsa. Antar satu bangsa dengan bangsa lainnya hanya saling mendukung dalam konteks memberi semangat dan pengakuan, tidak terlibat langsung dalam pembebasannya dari penguasa kolonial.
Memasuki bagian akhir Abad ke-20 M dan awal Abad ke-21 M, nasionalisme menunjukkan kelemahannya dalam merespon konflik politik dan imperialisme yang dialami bangsa lain (negara lain). Respon antar bangsa dalam menyikapi bencana kemanusiaan akibat konflik politik serupa dengan responnya terhadap korban bencana alam.
Berbagai kasus bencana kemanusiaan, yang lebih tepat disebut sebagai upaya genosida, terjadi diakhir Abad 20 M dan awal Abad 21 M seperti di Bosnia, Irak, Afganistan, Suriah, Yaman dan tentunya Palestina, serta apa yang menimpa Muslim Uighur di Xinjiang dan Muslim Rohingya di Myanmar, semua terjadi diera globalisasi informasi sehingga pertistiwa itu cepat menyebar ke seluruh dunia. Tapi apa yang terjadi? Respon dunia sebatas simpati; belasungkwa, keprihatinan dan kecaman serta bantuan kemanusiaan berupa makanan dan obat-obatan layaknya merespon bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan lain-lainnya.
Genosida Muslim Rohingya tahun 2017 yang dilakukan oleh rezim penguasa Myanmar beserta para biksu radikal. Dalam waktu sebulan, korban tewas mencapai 6.700 orang (bbc.com, 14/12/2017). Mereka adalah masyarakat sipil yang berhadapan dengan militer dan kelompok buddhis bersenjata. Mereka tidak sekedar mengalami pengusiran, tetapi pembunuhan dan pembakaran kampung halaman mereka yang menyebabkan mereka terpaksa melarikan diri untuk menyelamatkan jiwa. Terdapat sekitar 1 juta jiwa yang mengungsi ke Bangladesh (unrefugees.org, 24/8/2024). Tak sedikit pula yang meninggal di lautan akibat kapal yang ditumpangi karam dihantam ombak ataupun over kapasitas ketiga mereka berupaya menyelamtkan nyawa. Itupun tak sedikit yang mendapatkan penolakan di negara lain ketika hendak mendarat atau sandar. Benar-benar sebuah ironi kemanusiaan.
Penguasa negara sekitarnya mengetahui hal itu dan punya kemampuan militer untuk menghentikan penindasan tersebut. Tetapi semuanya hanya membatasi diri pada seruan dan kecaman. Satu kalimat yang seragam yang sering terlontar dari para penguasa negara-negara sekitarnya adalah “ïtu masalah internal mereka”.
Hal serupa terjadi di Xinjiang, dialami oleh Muslim Uighur dalam bentuk “Kamp Cuci Otak” (Kamp Re-Edukasi). Dengan dalih pendidikan ulang untuk mengeluarkan mereka dari pengaruh radikalisme dan terorisme. Pihak pemerintah Tiongkok mengakui bahwa ada sekitar 1,3 juta peduduk yang ikut program re-edukasi dalam setiap tahunnya (bbc news.com, 17/9/2020).
Begitupun yang dialami penduduk Suriah di bawah tekanan rezim diktator Bashar Assad. Selama konflik dari 2011 sampai 2021, sebanyak 306.887 warga sipil tewas (Laporan Kantor HAM PBB, OHCHR, 28/6/2022) . Ada jutaan yang mengungsi di Turki dan negara-negara Eropa lainnya.
Sementara ada juga agresi militer Amerika Serikat dan sekutunya di Irak pada tahun 2003 yang berlanjut pendudukan yang menewaskan sekira 1 juta penduduknya dengan alasan palsu senjata biologis pemusnah massal. Afganistan yang diduduki AS dan sekutunya selama 20 tahun dengan alasan memburu Osama bin Laden dan al-Qaedah hingga menumbangkan Taliban, telah menewaskan sekitar 241 ribu penduduk sipil (tempo.co,22/82021).
Terakhir adalah kasus Invasi Rusia terhadap Ukraina yang mulai 24 Februari 2022 hingga saat ini, telah menghancurkan pemukiman penduduk dan menewaskan 12.605 warga sipil (statista.com,24/2/2025). Daerah konflik berada di kawasan Eropa dekat dnegan negara-negara yang diklaim sebagai negara demokrasi penjunjung Hak Asasi Manusia. Lagi-Lagi semua berdalih itu merupakan masalah dalam negeri kedua negara.
Sementara itu, genosida Israel di Gaza dalam satu setengah tahun terakhir , sejak Oktober 2024- sekarang) yang telah menewaskan lebih 50.600 penduduk (Tempo.co,5/4/2025). Gaza berada di kawasan Timur Tengah yang berbatasan langsung dengan Mesir dan berdekatan dengan Suriah, Lebanon, Yordania, Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya. Tapi apa yang terjadi? Membuka akses masuk bantuan kemanusiaan (makanan dan obat-obatan) di pintu gerbang Gaza, mereka “tidak mampu” dan hanya menunggu persetujuan pihak agresor, Israel!
Semua itu terjadi dan diliput oleh media massa dan media sosial secara massif sehingga dalam waktu cepat tersebar ke seluruh dunia. Tapi apa respon dunia, khususnya para penguasa negara-negara pemilik senjata dan pasukan? Mereka hanya mengecam dan menyeruh layakanya masyarakat sipil bahkan lebih buruk lagi karena diantara mereka masih banyak yang tetap melakukan hubungan kerjasama ekonomi dan politik bahkan ada yang membantu dana dan persenjataan kepada sang agresor!
Begitulah wajah nasionalisme yang mewujud dalam negara bangsa, rasa kemanusiaan terbelenggu dan dibatasi oleh teritorial negara. Genosida terhadap bangsa lain hanyalah sebagai tontonan layaknya menonton film, mengaduk-aduk perasaan, memunculkan rasa sedih dan keperihatinan serta kecaman, tetapi tak bisa melakukan intervensi langsung agar alur cerita berubah. Seberapa tragispun plotnya, ia akan tetap ditonton hingga kisahnya tamat. Begitulah nasib Muslim Rohingya tanpa penolong, dan tak menutup kemungkinan Gaza akan dikuasai penuh oleh Israel menyusul Tepi Barat untuk menuntaskan penguasaannya atas seluruh wilayah Palestina. Para penguasa negara-negara bangsa akan tetap diam ditengah-tengah pasukannya yang menenteng senjata menyaksikan genosida terjadi. Ironis bukan?
*Penulis Analis Politik MSPI