
Oleh: Dr. Riyan MAg (MSPI – Masyarakat Sosial Politik Indonesia)
Foto viral Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sedang bermain domino dengan Aziz Wellang—bekas tersangka kasus pembalakan liar—mengundang gelombang kritik tajam. Peristiwa ini muncul di tengah demonstrasi besar di berbagai kota yang menolak kenaikan tunjangan anggota DPR, serta duka publik akibat tewasnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis Brimob. Simbol-simbol politik tidak pernah berdiri sendiri; ia membentuk persepsi, dan dari situlah krisis kepercayaan berakar.
Kehati-hatian yang Absen
Alasan bahwa Menteri tidak mengenal Aziz Wellang sulit diterima publik. Kedekatan dalam foto, posisi duduk, serta dua putaran permainan domino memperlihatkan interaksi yang tidak sekadar basa-basi. Seorang pejabat publik, terlebih Menteri Kehutanan, dituntut ekstra hati-hati. Data Greenpeace mencatat hilangnya 30,8 juta hektar hutan Indonesia dalam dua dekade terakhir, sementara Global Forest Watch menyebut angka hingga 32 juta hektar sampai 2024. Hilangnya hutan tidak bisa dilepaskan dari lemahnya pengawasan, termasuk praktik pembalakan liar yang dilakukan jaringan pengusaha dan oknum aparat.
Ketika pejabat justru tampak akrab dengan figur yang pernah menjadi tersangka pembalakan liar, maka integritas kementerian yang seharusnya menjadi benteng penyelamatan hutan justru dipertanyakan.
SP3 dan Pertanyaan Publik
Klaim bahwa status hukum Aziz Wellang telah dihentikan melalui mekanisme pra-peradilan memang harus diverifikasi lebih dalam. Apakah penghentian perkara itu benar murni alasan hukum atau ada intervensi politik demi melindungi kepentingan bisnis tertentu? Momentum penghentian kasus berdekatan dengan periode jabatan Menteri Kehutanan, sehingga wajar bila publik semakin meragukan netralitas hukum. Foto domino itu makin memperkuat kesan adanya relasi yang ambigu antara pengusaha dan pejabat.
Silaturahmi vs Konflik Kepentingan
Dalam kultur bangsa, silaturahmi adalah nilai yang luhur. Namun, pejabat negara tidak boleh menjadikan alasan budaya sebagai pembenaran untuk kedekatan dengan figur bermasalah, apalagi di tengah krisis politik dan sosial. Silaturahmi tanpa pertimbangan konteks hanya akan memunculkan fitnah dan mencederai etika publik. Menteri seharusnya mampu menjaga jarak dengan aktor-aktor yang pernah bermasalah dengan hukum, sembari menunjukkan keberpihakan penuh pada rakyat dan kelestarian hutan.
Demokrasi yang Dikuasai Oligarki
Fenomena ini sekali lagi menunjukkan kelemahan sistem demokrasi Indonesia. Demokrasi yang digadang-gadang “dari, oleh, untuk rakyat” dalam praktiknya dikuasai segelintir kapitalis-oligark. Politik berbiaya tinggi mendorong transaksionalisme. Pejabat yang lahir dari sistem ini lebih banyak sibuk mengembalikan ongkos politik daripada melayani kepentingan publik.
Tak heran, kasus-kasus besar seperti pembalakan liar sering kali terhenti tanpa kejelasan, seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang melindungi para pelaku. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan solusi justru melahirkan figur-figur problematik yang makin memperburuk citra negara.
Penutup
Foto domino ini bukan sekadar soal permainan, melainkan cermin krisis integritas pejabat publik. Jika negara terus gagal menegakkan hukum secara adil, rakyat akan semakin yakin bahwa ada persekongkolan antara pejabat dan pengusaha dalam merusak hutan. Demokrasi yang seharusnya menyejahterakan rakyat justru kian tampak sebagai panggung oligarki.
Indonesia tidak hanya kehilangan jutaan hektar hutan, tetapi juga kehilangan kepercayaan rakyat terhadap pejabatnya. Dan itu jauh lebih berbahaya.