Mencegah Kebangkrutan Daerah Otonom

Oleh: Muhadam

Kota Yubari, setingkat pemerintah daerah/kota di Hokkaido, Jepang, dinyatakan bangkrut (2007). Menyusul Kyoto, sebuah kota kuno bersejarah yang mengalami krisis keuangan sejak 2022. Dua kota itu bergantung penuh pada sumber daya lokalnya, namun collaps secara perlahan.

Penyebabnya sederhana. Sumber daya lokal sebagai tumpuan hidup berotonomi mengalami krisis. Yubari, kota yang populer dengan Buah Melon, kehilangan industrial sebagai penopang pajak. Sementara Kyoto mengalami disfungsi fiskal dari aspek urusan pilihan pariwisata.

Realitas itu membuat Pemerintah Jepang melakukan program revieuw. Kini program tersebut diaplikasikan di Indonesia, lewat lembaga Kosso Nippon. Tujuannya untuk mengevaluasi apa penyebab krisis lokal lewat partisipasi publik yang lebih luas.

Berkaca dari dua kasus itu. Pertanyaannya, apakah daerah-daerah otonom di Indonesia bisa bangkrut? Tentu saja. Apalagi mengintip komposisi APBN 2026 terlihat timpang antara alokasi pusat yang mencapai 83% dibanding daerah yang hanya 17% dari total 546 kab/kota dan 38 provinsi.

Menyusutnya alokasi daerah sebesar 269 triliun tentu saja menambah suram masa depan daerah. Bagaimana mungkin daerah sebagai basis otonomi dapat melaju bila anggarannya menipis. Jangankan menyisakan belanja pembangunan, menutup gaji dan tunjangan pegawainya pun setengah mati.

Sejak UU Cipta Kerja dan Minerba diterapkan, sejumlah urusan vital daerah sebagai penopang otonomi lenyap. Pemerintah menarik banyak kewenangan hingga daerah menuju kebangkrutan. Resentralisasi berdampak pada meningkatnya belanja pusat hingga 2.700 triliun dibanding daerah yang hanya 900 triliun (Djohan, 2025). Ironisnya uang di bank menumpuk, kata Menkeu (2025).

Membengkaknya belanja pusat kemungkinan tak hanya disebabkan return point urusan daerah ke pusat, juga tiga agenda besar yang diusung presiden sebagai program nasional, yaitu MBG, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat. Dampaknya pusat lakukan kompresi ke daerah sebesar 335 triliun untuk MBG, 83 trliun buat Koperasi Merah Putih, dan 35 triliun bagi Sekolah Rakyat.

Struktur belanja pusat semacam itu jelas mengancam masa depan daerah otonom menuju bangkrut. Kiranya, perlu dicari resep jitu jika tak ingin melihat daerah kekurangan darah disamping potensi munculnya dinamika sebagaimana Pati dan Bone (2025). Daerah berusaha kreatif di luar kontrol.

Sebagai upaya menyelamatkan daerah otonom dari kebangkrutan, penting kiranya pemerintah, DPR/DPD, asosiasi pemerintah daerah di semua level, termasuk DPRD memikirkan ulang desain pemerintah daerah sebagai daerah otonom sekaligus daerah administrasi.

Rekonstruksi daerah otonom sekaligus daerah administrasi sebagaimana semangat UU 5/74 dapat mengurangi menekan cost terhadap semua program nasional yang menjadi mimpi presiden. Tingginya alokasi MBG, KMP, dan SR disebabkan bertambahnya organisasi seperti BGN dan sumber daya manusia yang dibutuhkan.

Bila status daerah otonom ikut serta menjadi daerah administrasi (Revisi UU Pemda), maka seluruh program nasional efektif dilaksanakan daerah sebagai wakil pemerintah pusat. Pengalaman menunjukkan semua program Presiden Soeharto efektif di era Orba, bahkan sampai di level kecamatan selaku penguasa tunggal di wilayah administrasi.

Konsekuensi perubahan status kabupaten/kota menjalankan dual role itu, pertama, semua instrumen organik pusat yang dibuat instant seperti BGN sampai ke daerah otomatis tak dibutuhkan. Semua di take over pemerintah daerah melalui OPD terkait. Bisa dimaklumi mengapa pemda sejauh ini terkesan cuek dengan Program MBG di daerah. Merasa bukan urusannya.

Kedua, status ganda itu dengan sendirinya mendorong kocek daerah kena suntikan dari program nasional. Total akumulasi MBG, KMP, dan SR sebesar 453 triliun dengan sendirinya memperbesar alokasi APBD yang dapat mencapai sekitar 25% dari 17%. Darah segar itu dapat mendorong relaksasi mencegah kontraksi berlebihan di daerah.

Ketiga, perubahan status sebagai daerah otonom dan administrasi sekaligus menjawab implikasi Putusan MK No.135/2024. Persoalan pokok yang dihadapi sejauh ini bagaimana menempatkan posisi DPRD, apakah diperpanjang atau dinon-aktifkan sementara. Dengan status administrasi maka posisi DPRD dimungkinkan steril selama 2,5 tahun.

Ciri daerah administrasi, kepala daerahnya ditunjuk, tanpa legislative member (DPRD). Contohnya wilayah administrasi otorita maupun kasus kabupaten/kota di DKI Jakarta. Dengan demikian DPRD dapat dipilih kembali pasca pilkada yang cukup diisi lewat penunjukan oleh pemerintah.

Pada langkah berikutnya, bila ingin efisien dan efektif ubah juga mekanisme Pilkada menjadi lebih asimetrik (Revisi UU Pilkada). Daerah-daerah administrasi murni cukup ditunjuk. Daerah istimewa dan khusus diatur tersendiri sesuai semangat pasal 18B UUD 45. Sisanya cukup dipilih oleh DPRD sesuai semangat pasal 18 ayat (4) UUD 45.

Dengan tiga skenario di atas, apa yang kita bayangkan tentang kebangkrutan daerah otonom dengan sendiri dapat diatasi. Tentu saja semua langkah perlu dilakukan lewat mekanisme review yang melibatkan stakeholders terkait. Tanpa upaya serius, kita hanya akan melihat daerah tumbuh dalam ketimpangan.

Redesain daerah semacam itu dengan sendirinya memperkuat spirit Asta Cita yang meletakkan pembangunan dari bawah, sekaligus menarik dana pusat yang menganggur di bank-bank rakyat sebagaimana kritik salah seorang wakil rakyat dan Mentri Keuangan. Dengan begitu rakyat sejahtera, daerah otonom makmur, dan tak ada alasan bangkrut.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top