
Oleh: Mustajab al-Musthafa (Analis Politik MSPI)
Kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) periode Januari-April 2022 yang melibatkan tiga korporasi besar yatiu Wilmar Group, Musim Mas Group, Permata Hijau Group, yang merugikan negara 6 triliun tersebut, selain kerugian ekonomi dan “illegal gains” (kompas, 22/7/2022). Kasus ini berbuntut panjang setelah ditangkapnya hakim yang menangani perkara tersebut dengan kasus suap. Seolah sudah terpola, yaitu korupsi plus suap. Sekalipun sebenarnya suap menyuap juga masuk kategori korupsi. Artinya, korupsi ddiatas korupsi.
Dalam kasus CPO ini, nilai suapnya sangat besar mencapai 600 milyar dalam berbagai bentuknya termasuk kendaraan mewah yang melibaatkan 8 orang yang terdiri dari hakim, pengacara dan pihak korporasi (detiknews, 16/4/2025). Kasus korupsi ini merupakan satu dari sekian banyak kasus korupsi yang berbuntut pada kasus suap penegak hukum.
Kasus korupsi yang begitu masif terjadi memberikan gambaran bahwa negara ini telah berada dalam cengkeraman koruptor yang menggurita dari pusat hingga daerah menggerogoti semua lini kekuasaan dan keuangan negara. Pada sisi lain, upaya penanganannya juga bermasalah dengan munculnya kasus-kasus suap yang menyertainya. Kondisi ini membawa sementara pihak pesimis terhadap masa depan bangsa ini.
Korupsi dengan penanganannya melalui penegakan hukum bertumpu pada tiga aspek, yaitu materi hukum, sistem peradilan dan penegak hukum. Pertama, Materi Hukum; ini menyangkut sanksi atas tindak kejahatan yang tertuang dalam perundang-undangan yang berlaku. Keadilan hukum tergambar didalam materi hukum ini. Jenis pelanggaran dan sanksinya harus jelas, tegas dan berkeadilan. Dalam kasus korupsi di Indonesia, penyelesaiannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang tersebut dipadukan dengan KUHP yang berlaku. Terdapat pula peraturan yang mengatur remisi bagi tahanan kasus korupsi, yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 tahun 2022 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Kedua, Sistem Peradilan yang menangani kasus korupsi di negeri ini memiliki dua jalur yatiu Jalur Biasa (Ordinary Track) dan Jalur Luar Biasa (Extra Ordinary Track). Jalur biasa melalui Pengadilan Negeri yang ditangani oleh Kejaksaan. Sementara Jalur Luar Biasa melalui Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua jalur ini menganut sistem peradilan berjenjang yakni dari tingkat pertama (PN, PTUN), ke Pengadilan Tinggi (PT) hingga pengadilan tertinggi di Mahkamah Agung (MA). Secara teoritik pengadilan berjenjang ini dimaksudkan untuk memastikan keadilan, meningkatkan kualitas putusan dan memastikan penegakan hukum yang konsisten.
Ketiga, Penegak Hukum. Penegak hukum ini mencakup polisi, jaksa, hakim dan beberapa pihak lainnya yang secara kelembagaan meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Mahkamah Konstitusi serta Komisi Pemberantasan Korupsi, Advokat (Pengacara), Komisis Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Badan Narkotika Nasional, Pengadilan Militer dan Lembaga Pemasyarakatan. Masing-masing lembaga tersebut memiliki tugas dan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang semuanya bertanggung jawab dalam penegakan hukum.
Permasalahannya adalah bagaimana ketiga aspek ini memberikan pengaruh dalam pemberantasan korupsi?
Secara teoritik, pada aspek materi hukum ada celah pada pemberian sanksi minimal yang diberikan oleh hakim karena peraturan yang ada memberikan ruang itu. Masalah lainnya adalah adanya peraturan terkait pemotongan masa tahanan (remisi) dan pemberian pembebasan bersyarat. Juga dalam hal pengembalian kerugian negara termasuk dalam hal ini “jumlah denda” yang harus dibayarkan oleh pelaku jauh lebih sedikit daripada nilai kerugian yang ditimbulkannya. Selain itu masih adanya kekosongan peraturan menyangkut perampasan aset koruptor untuk menutupi kerugian yang ditimbulkan. Demikian pula adanya pemberian pengurangan masa tahanan (remisi) dan pembebasan bersyarat mengesankan ketidakseriusan dalam upaya pemberantasan dan pencegahan tidak pidana korupsi. Remisi ini juga bisa mencederai rasa keadilan sekaligus tidak memberikan efek jera terhadap terpidana, Bahkan penerapannya cenderung subjektif. Semua celah itu berpengaruh terhadap upaya pencegahan tindak pidanan korupsi.
Pada aspek peradilan berjenjang, tujuan yang ingin dicapai pada faktanya sering tidak tercapai dan justru menjadi peluang melakukan tindak pidana korupsi lanjutan khususnya suap menyuap terhadap penegak hukum. Selain itu juga memperpanjang masa peradilan dan lamanya waktu untuk mendapatkan kepastian hukum. Sistem ini justru menciptakan peradilan yang tidak efisien dan efektif.
Sedangkan pada aspek penegak hukum, integritas penegak hukum dapat dipengaruhi oleh materi hukum dan sistem peradilan. Materi hukum yang memberikan ruang terhadap penerapan sanksi minimal menjadi celah terjadinya praktek transaksional suap menyuap terhadap penegak hukum, khususnya terhadap hakim. Ini banyak terjadi, salah satunya dalam kasus korupsi CPO. Demikian pula adanya ruang pada pemberian remisi bisa menjadi celah suap menyuap untuk mendapatkan remisi sebanyak-banyaknya. Demikian pula dengan adanya peradilan berjenjang, terhadap setiap tingkatan terdapat celah untuk melakukan praktik transaksional, suap menyuap. Ini juga banyak terjadi termasuk terhadap Hakim Agung di tingkat kasasi sebagaaimana yang terjadi pada kasus Ronald Tanur.
Integritas penegak hukum tidak hanya ditentukan oleh kondisi pribadi tetapi juga sistem kerja yang melingkupinya. Pepatahnya adalah kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat tetapi juga karena ada kesempatan. Kesempatan ini sangat dipengaruhi oleh materi hukum dan jenjang peradilan.
Olehnya itu untuk menciptakan penegakan hukum yang baik, maka mutlak dibutuhkan pembenahan terhadap materi hukum, sistem peradilan dan terhadap penegak hukum. Bertahan dengan sistem hukum yang ada saat ini sepertinya sama saja memperpanjang masalah hukum yang membelenggu negara dan pada akhirnya akan membuat kolaps negara ini akibat ulah koruptor yang terus menggurita. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah membenahi ketiga aspek itu adalah dengan pendekatan hukum yang bersifat transedental. Sistem hukum yang berbasis liberal-sekuler terbukti tidak efektif dan efisien dalam menciptakan supremasi hukum yang berkeadilan.