
Oleh: Dr. Suswanta, M.Si (Dosen dan Pengamat Politik)
Menanggapi pergantian kepemimpinan nasional dari Rezim Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto, harapan publik terhadap rezim baru terbagi antara optimisme dan pesimisme. Bagi sebagian orang, ada optimisme yang muncul seiring dengan ekspektasi bahwa Indonesia akan menonjol sebagai kekuatan ekonomi dan politik yang dihormati di kancah internasional. Harapan ini didasarkan pada sosok presiden baru yang dinilai tegas, kompeten, dan serius dalam memberantas korupsi yang selama ini merongrong sistem pemerintahan. Percepatan pembangunan infrastruktur, termasuk jaringan jalan tol, kereta cepat, dan proyek pemindahan ibu kota negara (IKN), seolah mengukuhkan status Indonesia sebagai negara yang sedang beranjak menuju status negara maju.
Namun, di sisi lain, ada pula pesimisme yang menyelimuti harapan publik. Sebagian masyarakat menilai bahwa rezim baru ini hanyalah bagian dari puzzle besar sistem kapitalis sekuler yang mengakar kuat di negeri ini. Terlepas dari sosok pemimpinnya, rezim baru tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari pengaruh para elit ekonomi atau “bohir” yang mendukungnya dalam kontestasi pilpres. Akibatnya, rezim ini tetap akan menjadi pelayan bagi kepentingan pemilik modal, baik dari dalam maupun luar negeri. Kebijakan yang akan diambil rezim baru pun dikhawatirkan lebih menguntungkan para pemodal besar daripada rakyat banyak, sebab sumber daya alam yang melimpah di negeri ini sebagian besar telah dikuasai asing dan investor luar.
Pandangan ini diperkuat dengan mengacu pada temuan Clifford Geertz bahwa Indonesia adalah sebuah “negara teater” atau panggung sandiwara, di mana pejabat pemerintahan sering kali tampil dengan seremonial megah dan simbol kemewahan yang, sayangnya, tidak banyak memberikan manfaat bagi rakyat. Ironisnya, meskipun sering dijadikan penonton dan objek eksploitasi, sebagian masyarakat tampak menerima bahkan menikmati “kegemerlapan” ini. Padahal, kenyataannya rakyat hanya dijadikan objek eksploitasi dan dianggap sekadar audiens.
Selain itu, masalah-masalah struktural yang diwarisi dari rezim sebelumnya semakin memperburuk pesimisme ini. Hutang luar negeri yang semakin membengkak, kriminalisasi terhadap tokoh masyarakat dan aktivis, serta proyek-proyek besar yang berisiko mangkrak, seperti proyek IKN, menjadi persoalan pelik yang harus dihadapi rezim baru. Untuk menyelesaikan berbagai problem ini, rezim baru tampaknya masih akan mengadopsi kebijakan ekonomi berbasis kapitalis-sekuler.
Sebagai contoh, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemungkinan besar akan mendorong kebijakan peningkatan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui peningkatan pajak dan penambahan utang luar negeri. Hal ini tampak sebagai langkah pragmatis yang sejalan dengan kerangka kapitalis-sekuler, di mana negara lebih mengandalkan pajak dan utang sebagai sumber pendapatan ketimbang mengelola kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat.
Melihat kenyataan ini, penting bagi rezim baru untuk mempertimbangkan model kebijakan ekonomi yang mengutamakan kesejahteraan publik sebagai alternatif. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi model bagi sistem ekonomi yang berfokus pada kesejahteraan individu dan keseimbangan sosial apalagi sebagai negara mayoritas Muslim di Dunia. Islam mewarisi konsep – konsep yang dapat menjadi alternatif terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini.