Genosida Gaza dan Sisi Gelap Nasionalisme

Oleh: Hasbi Aswar

Pembantaian yang terjadi di Gaza sudah berjalan sekitar 19 bulan dan belum ada tanda-tanda berakhir sampai saat ini. Publik dunia hanya bisa terus berteriak dan menjaga kepedulian mereka terhadap penderitaan yang terjadi di Palestina. Sementara para pemimpin negara, khususnya dunia Islam, tidak berani mengambil sikap efektif untuk menyelesaikan pembantaian di depan mata itu. Berbagai alasan mereka telah ungkapkan untuk membela sikap mereka tapi, yang kita pahami sederhana. Mereka mengedepankan kepentingan nasional “nasionalisme” di atas kepentingan yang lain untuk setiap Tindakan mereka.

Begitulah wajah dari nasionalisme yang doktrinnnya menjadikan negara hanya peduli kepada kepentingannya saja yang ilusif. Ia menjadi ilusi karena terkadang mengatasnamakn negara tapi sebenarnya hanya untuk kepentingan segelintir orang: untuk politik dinasti atau oligarki yang tidak mau kepentingan mereka hancur.

Nasionalisme memang sejak awal sudah didengungkan tidak sekedar sebagai ikatan alamiah pengikat komunitas Masyarakat, tapi juga sebagai prioritas utama setiap individu dalam Masyarakat tersebut. Sebagai sebuah pengikat masyarakat ini adalah hal yang wajar sebagai ekspresi dari sifat emosional manusia untuk saling terikat satu sama lain. Namun jika ia diposisikan sebagai asas dan tujuan utama bermasyarakat, ini malah menjadi berbahaya.

Keyakinan tentang superioritas barat terhadap non-barat adalah ekspresi terburuk dari nasionalisme yang menghasilkan penjajahan di masa lalu. Asas nya adalah keyakinan akan kelebihan ras Eropa dari ras lain, kemudian mereka melakukan ekspansi untuk kepentingan kemajuan ras mereka juga.

Nasionalisme berwajah kolonial ini dilanjutkan dalam penjajahan Israel atas Palestina dengan motif yang sama keyakinan akan superioritas satu bangsa terhadap bangsa yang lain, yang membuat mereka tidak lagi peduli dengan makna moralitas dan kemanusiaan.

Dukungan Barat dan koalisi mereka terhadap Israel juga didasarkan pada kepentingan nasionalisme. Begitupun juga, alasan-alasan ketidakmampuan para pemimpin dunia untuk membela Palestina juga karena pertimbangan-pertimbangan nasionalistik.

Inilah titik jahatnya nasionalisme, dapat membuat satu pihak merasa lebih baik daripada yang lain; berlanjut kepada melegitimasi kekerasan terhadap mereka; di sisi yang lain, menahan pihak yang lain untuk mencegah kekerasan dan kesewenang-wenangan terhadap korban kekerasan.

Sebelum adanya istilah Nasionalisme abad 19, realitas ini sebenarnya sudah ada di mana individu, komunitas atau bangsa tertentu lebih mengutamakan kepentingan masing-masing di atas kepentingan moralitas dan kemanusiaan. Saat ini menjadi lebih parah karena ia menjadi ideologi yang didoktrin kepada berbagai bangsa dan publik dunia.

Dalam konteks Gaza, Ide nasionalisme menjadi penghambat utama para pemimpin negara untuk bertindak efektif membela para korban di Palestina termasuk menghentikan genosida Zionis terhadap mereka. Untuk saat ini, para pemimpin itu tidak bisa lagi diharapkan memiliki inisiatif sendiri untuk membuat keputusan yang terbaik. Di sinilah pentingnya tekanan moral publik.

Untuk memaksa para penguasa keluar dari cangkang Nasionalistik mereka, publik mesti terus menyuarakan persoalan Palestina dalam kerangka yang tepat yakni menghentikan kekerasan terhadap warga Palestina dan membebaskannya dari penjajahan Zionis. Poin ini yang selama ini sudah disuarakan oleh Gerakan publik lintas negara tersebut meski belum bisa menggerakkan hati dan pikiran para elit politik yang ada secara efektif.

Selain itu, publik juga dapat melakukan tekanan-tekanan yang efektif khususnya terhadap Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman untuk memboikot Israel dan segala kerjasama dengan rezim itu. Selain membuat keributan di gedung-gedung pemerintahan, juga menyasar pusat-pusat bisnis jejaring Zionis di negara itu.

Sementara gerakan-gerakan di negara lain, dapat menekan melalui kantor-kantor perwakilan negara-negara pro-Israel. Jika dalam waktu tertentu tidak ada perubahan sikap elit, aksi bisa ditingkatkan eskalasinya ke gerakan boikot kantor-kantor perwakilan. Kalau ini dilakukan secara global melalui kordinasi lintas gerakan, ini akan menjadi kekuatan politik publik yang dahsyat.

Gerakan dan Keributan publik harus terus menerus dilakukan untuk memaksa para pemimpin bebas dari doktrin nasionalistik mereka. Tentu saja, akan ada tekanan, intimidasi dari rezim atas gerakan tersebut. Tapi, publik tidak punya pilihan lain kecuali melakukan itu. Jika ketakutan didahulukan, apa bedanya kita dengan para elit yang sudah kerasukan ide nasionalistik itu.

Hanya saja biar lebih kuat, perlu koordinasi lintas daerah lingkup nasional bahkan kordinasi gerakan publik lintas negara lebih baik lagi sampai akhirnya para pemimpin tidak punya pilihan kecuali mengikuti sikap moral publik.

Untuk proyek gerakan publik jangka panjang adalah mendesain kepemimpinan politik di setiap negara agar tidak terjebak pada kepentingan-kepentingan nasionalistik sempit yang berbahaya itu. Ini tugas berat yang mesti diambil oleh gerakan publik untuk mengubah tatanan dunia yang lebih bermartabat ke depan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top