
DR. Riyan, M.Ag (Penasehat MSPI)
Pembukaan kembali ekspor pasir laut oleh pemerintah Indonesia setelah 20 tahun dilarang memicu banyak kritik. Kebijakan ini, yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 dan 21 Tahun 2024, dinilai hanya menguntungkan segelintir pengusaha besar yang melayani kepentingan asing, terutama Singapura dan China. Sementara itu, dampak negatif terhadap lingkungan dan geopolitik Indonesia sangat signifikan.
Pada Mei 2023, pemerintah resmi mengeluarkan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kebijakan ini mencabut larangan ekspor pasir laut yang diberlakukan sejak 2003 berdasarkan SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003. Larangan ini sebelumnya diterapkan untuk mencegah eksploitasi berlebihan yang dapat merusak lingkungan. Namun, alih-alih mendengarkan kritik dari berbagai kalangan, pemerintah justru memperkuat kebijakan ini dengan dua peraturan tambahan yang semakin membuka peluang bagi pengusaha besar untuk mengeksploitasi pasir laut.
Salah satu alasan utama diberlakukannya larangan ekspor pasir laut pada 2003 adalah untuk mencegah kerusakan lingkungan, termasuk hilangnya pulau-pulau kecil di Indonesia. Contoh konkret kerusakan ini terjadi pada Pulau Nipah dan Pulau Sebatik, yang hampir hilang karena pasirnya diambil dan dijual ke Singapura. Pada 2007, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyatakan bahwa reklamasi Pulau Nipah saja membutuhkan biaya lebih dari Rp 100 miliar untuk memulihkan 60 hektare wilayah yang tergerus.
Eksploitasi pasir laut yang berlebihan mempercepat abrasi pantai dan menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Abrasi ini tidak hanya menghancurkan habitat biota laut, tetapi juga menenggelamkan pulau-pulau kecil, yang semakin membuat masyarakat pesisir kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka.
Kebijakan ini juga mencerminkan kepentingan asing yang semakin dominan. Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menyebutkan bahwa kebijakan ini menguntungkan empat kelompok pengusaha besar yang bersekongkol dengan pemerintah untuk melayani kepentingan asing. Singapura, misalnya, menjadi importir terbesar pasir laut di dunia, dengan pasir dari Indonesia menjadi salah satu sumber utama untuk reklamasi wilayah mereka.
Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2019 menunjukkan bahwa Singapura memperluas wilayahnya sebesar 2,7 kilometer persegi selama tahun 2018, yang merupakan ekspansi terbesar dalam satu dekade terakhir. Walhi mencatat bahwa sejak kemerdekaan Singapura pada 1965, negara tersebut telah memperluas wilayahnya lebih dari 20 persen hingga 2017. Dengan pasir dari Indonesia, Singapura dapat terus memperluas wilayahnya, yang menimbulkan kekhawatiran terkait implikasi geopolitik bagi Indonesia.
China juga merupakan negara lain yang diuntungkan dari kebijakan ekspor pasir laut ini. Negara tersebut tengah giat membangun pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan, yang telah menjadi isu geopolitik global karena pembangunan ini terkait dengan ambisi militer China di kawasan tersebut. Ekspor pasir laut Indonesia berisiko memperburuk ketegangan di kawasan strategis ini.
Dari sudut pandang lingkungan dan geopolitik, jelas bahwa kebijakan ekspor pasir laut ini membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Pemerintah Indonesia seharusnya mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023 dan Permendag Nomor 20 dan 21 Tahun 2024 untuk melindungi lingkungan dan kepentingan strategis negara. Langkah ini akan mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut dan menjaga posisi geopolitik Indonesia yang terancam oleh perluasan wilayah negara-negara tetangga.
Keputusan untuk mengekspor kembali pasir laut seharusnya dipertimbangkan dengan matang, mengingat potensi dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem laut Indonesia dan stabilitas geopolitik kawasan. Pemerintah perlu memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan lingkungan, daripada mengorbankan sumber daya alam demi keuntungan jangka pendek bagi segelintir pengusaha besar.