
Oleh: Mustajab Al-Musthafa
Aksi unjuk rasa (demonstrasi) yang telah berlangsung sepekan lalu berujung pada aksi perusakan beberapa fasilitas publik dan fasilitas pribadi politisi. Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai selama beberapa hari mengalami perubahan utamanya setelah adanya insiden penabrakan driver ojek online (Ojol) oleh kendaraan taktis Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian. Peristiwa itu semakin meningkatkan kemarahan massa demonstran yang sebelumnya sudah gerah dengan mandeknya aspirasi mereka akibat tidak terbukanya saluran komunikasi yang baik dengan para wakil rakyat (anggota DPR/DPRD) dan pemerintah (pusat/daerah).
Demonstrasi yang awalnya mengarah dan terkonsentrasi di kantor DPR kemudian beberapa kelompok massa menyasar kediaman beberapa politisi yang teridentifikasi telah mengeluarkan pernyataan yang menyulut emosi publik. Aksi demonstrasi kali ini lebih merupakan akumulasi kekecewaan dan kemarahan publik atas beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil. Pesan demonstran sebenarnya sederhana, yaitu keadilan ekonomi dan hukum. Sesuatu yang sudah menjadi tuntutan publik yang sudah lama beredar diberbagai media massa dan media sosial. Diantaranya publik geram dengan tunjangan yang berlebihan anggota DPR seperti sewa rumah, beras dan PPh 21 saat rakyat berjibaku dengan kesulitan ekonomi yang mendera beberapa tahun terakhir. Ditambah pernyataan beberapa politisi yang tidak patut pula.
Ditengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat, muncul kebijakan pemerintah yang justru bersifat ambigu. Kebijakan efisiensi bertolakbelakang dengan tunjangan yang diberikan kepada pejabat, janji pemberantasan korupsi tidak sejalan dengan kebijakan pemberian remisi, amnesti dan abolisi pada kasus korupsi. Juga tak kunjung disahkannya RUU Perampasan Aset Koruptor.
Di beberapa daerah juga muncul kebijakan kenaikan pajak PBB P2 yang turut memicu protes masyarakat. Selain itu, kebijakan pemerintah (presiden) memberikan jabatan rangkap kepada anggota kabinetnya turut menjadi pemantik kritik dan emosi publik yang sedang kesusahan mendapatkan pekerjaan dan tingginya tingkat pengangguran.
Semua itu menunjukkan inkonsistensi presiden dengan pernyataannya yang menyebutkan dirinya dan pemerintah bersama rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Justru terlihat pemerintah (presiden) kehilangan empatinya terhadap keadaan ekonomi yang dialami rakyat.
Pada situasi seperti itu, suara publik (kritik dan masukan) juga tidak menemukan jalan penyaluran yang baik bahkan cenderung diabaikan. Wakil rakyat yang duduk di kursi DPR/DPRD seolah abai dengan rakyat yang diwakilinya dan telah memilihnya bahkan cenderung dominan memerankan diri sebagai wakil partai politik pengusungnya. Partai politik yang secara teoritik dan perundang-undangan memiliki fungsi sebagai saluran aspirasi rakyat, juga tak berfungsi. Partai politik lebih menunjukkan sebagai saluran kepentingan elit partai politik dan penguasa. Kondisi inilah yang terakumulasi menjadi pemicu protes yang berujung anarkis dengan melakukan perusakan fasilitas publik hingga fasilitas pribadi beberapa politisi.
Sekiranya Pemerintah (Presiden dan Kepala-Kepala Daerah) dan Anggota DPR berfungsi dengan baik, yaitu membuat kebijakan yang adil dan menyerap aspirasi masyarakat, maka aksi demonstrasi bisa saja tidak ada atau kalaupun ada maka itu akan berlangsung dengan tertib dan damai. Fungsi kedua lembaga tersebut (eksekutif dan legislatif), yang merupakan bagian dari suprastruktur politik, sangat berpengaruh terhadap kondusifitas kehidupan masyarakat.
Sebagaimana partai politik yang merupakan salah satu bagian dari infrastruktur politik yang memiliki struktur kepengurusan hingga kecamatan bahkan desa dan perwakilan di lembaga legislatif (DPR dan DPRD), telah mengabaikan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat dan fungsi kontrolnya terhadap Eksekutif dan Legislatif. Parpol lebih menunjukkan diri sebagai perpanjangan tangan kepentingan elit politik, tukang stempel kebijakan penguasa dan juru bicara penguasa. Seharusnya parpol menjadi saluran atau jembatan aspirasi rakyat menuju meja eksekutif dan legislatif.
Pada sisi lain, anggota DPR punya kewajiban untuk mengontrol kinerja eksekutif. Juga berkewajiban menyerap aspirasi masyarakat untuk kemudian diolah menjadi kebijakan publik (undang-undang). Sayangnya kedua fungsi itu tidak berjalan dengan baik. Bahkan lembaga legislatif cenderung berkolaborasi dengan eksekutif dalam membuat kebijakan yang menguntungkan keduanya tapi merugikan rakyat.
Kondisi ini menunjukkan adanya masalah serius yang bersifat sistemik pada suprastruktur politik utamanya pada eksekutif dan legislatif. Juga terhadap infrastruktur politik khususnya partai politik sehingga aspirasi masyarakat tidak tersalurkan dan terserap dengan baik. Kemandekan ini berimplikasi pada ketidakpuasan publik yang telah menimbulkan kemarahan yang berujung kepada tindakan anarkis.
Peristiwa yang terjadi dua hari terakhir–30 dan 31 Agustus–dibeberapa tempat menunjukkan kondisi kemarahan publik tersebut. Sayangnya aspirasi rakyat yang disampaikan oleh para demonstran termasuk yang berseliweran di media massa dan media sosial tidak disikapi dengan tepat oleh pemerintah khususnya presiden dan jajarannya serta anggota DPR/DPRD.
Pemerintah, yang dalam hal ini Presiden lebih cenderung menyikapi ekses daripada substansi aspirasi. Menyalahkan aksi anarki tanpa menyalahkan kebijakannya yang menimbulkan aksi protes tersebut. Hal serupa dilakukan oleh anggota DPR/DPRD, bukannya menerima dan mengelola aspirasi publik tetapi justru beberapa orang melontarkan pernyataan menantang. Ini bukanlah sekedar buruknya komunikasi penguasa kepada publik tetapi juga buruknya kemampuan menyerap dan mengelola aspirasi publik. Ini masalah utamanya.
Padahal sekiranya pemerintah (presiden) dan anggota DPR/DPRD serta partai politik sigap menyerap dan mengelola aspirasi publik dengan segera melakukan perbaikan pada kebijakannya yang “tidak adil” atau yang “tidak tepat”, maka aksi demonstrasi besar-besaran, apalagi aksi anarkis dapat dicegah. [mm]