TRUMP, GENOSIDA GAZA DAN LIBERALISME YANG MENUJU MAUT

Oleh: Hasbi Aswar, S.IP., M.A., Ph.D

Persoalan kebijakan Trump terkait tarif resiprokal, kemudian isu kegagalan penanganan genosida Gaza, meningkatnya trend otoritarianisme dan rasisme di negara demokrasi menyiratkan bahwa peradaban liberalisme global sedang menuju titik paling bawahnya yang mungkin saja membuka jalan bagi kehancuran peradaban yang belum seabad menjadi yang paling dominan sedunia.

Jika merujuk pada perspektif liberalisme secara ideal. Demokratisasi, pasar bebas, dan organisasi internasional menjadi kunci perdamaian dunia abadi sebagaimana yang dirumuskan oleh Emmanuel Kant dalam, Perpetual Peace, 1795.

Negara – negara demokratis akan menjadikan rakyat sebagai pemilik kuasa yang berdaulat sehingga para penguasa tidak bisa mengambil langkah seenaknya sebab jika melenceng akan mudah ditumbangkan dan diganti oleh sosok yang lebih baik oleh rakyat. Rakyat juga akan senantiasa mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan meratanya demokrasi di dunia, menurut liberalisme, akan mendorong hubungan kerjasama damai dan penyelesaian konflik secara damai pula sehingga perang pun akan bisa diminimalisir.

Para liberalis ternyata keliru, rakyat tidak sekuat dan seideal itu saat berhadapan dengan kekuasaan. Rakyat bisa ditipu, bisa dimanipulasi, untuk kepentingan segelintir elit. Dengan dukungan modal dari pengusaha, citra kekuasaan bisa dipoles untuk membuat rakyat terlena dan lupa akan kerusakan kekuasaan. Saking parahnya, pemimpin otoriter pun bisa tetap terlihat demokratis oleh berbagai intrik – intrik politik yang mereka buat.

Pasar bebas menjadi resep yang lain untuk dunia yang lebih damai bagi para liberalis. Mereka meyakini, saat Masyarakat bebas berinteraksi tanpa batas dengan berbagai motif baik ekonomi, sosial, budaya, wisata, dan pendidikan, dinding negara menjadi hilang. Tinggallah Masyarakat global yang damai dan cinta damai. Masyarakat global yang menyatu ini akan saling menjaga agar dunia tetap lebih baik. Bahkan perang pun akan sulit terjadi sebab rakyat akan kompak menolak, dan kerugian ekonomi pasti terjadi dikedua belah pihak.

Konsep ini ternyata hanyalah ideal di gagasan, secara aplikasi tidaklah seperti itu, malah dilanggar sendiri oleh elit, media dan publik di barat sendiri. Semakin banyak pendatang yang bermigrasi ke Eropa & Amerika malah membuat diskriminasi semakin meningkat dengan berbagai tuduhan khususnya Islamophobia terhadap para migran Muslim.

Belum lagi soal, kesenjangan ekonomi negara utara dan Selatan, barat dan non-barat, akibat kebijakan global ekonomi, perdagangan, keuangan dan investasi yang tidak fair yang diterapkan oleh negara – negara besar terhadap negara – negara yang lemah. Sebagian besar kekayaan akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir elit global saja.

Eksistensi organisasi internasional juga sudah dianggap lumpuh dan mati dengan desain yang dibuat hanya menguntungkan negara – negara besar utamanya anggota dewan keamanan (DK) tetap PBB. Mereformasi PBB juga ide yang mustahil sebab DK PBB tidak mungkin mau.

Cita – cita berdirinya PBB memang ideal yakni untuk mewujudkan keamanan Bersama. Saat ada yang melanggar, negara – negara anggota akan menekan, mengancam, bahkan dapat memaksa secara fisik untuk menghentikan upaya pelanggaran keamanan.

Hanya sayangnya PBB, sejak awal memang tidak dibuat untuk keamanan bersama, tapi untuk keamanan koalisi barat yang mengatasnamakan kepentingan bersama.

Apakah mungkin keamanan bersama diwujudkan ?. Mungkin saja jika dunia sudah dalam satu hegemoni yang adil. Tapi mustahil jika hegemonnya adalah pelaku utama pengrusakan tatanan politik dan kemanusiaan dunia saat ini.

Melihat kerusakan dan kemerosotan peradaban liberalisme ini, sudah saatnya para korban dari sistem ini mengambil jalan alternatif dengan membuat koalisi independen dengan gagasan independen yang berbeda jalan dengan yang pernah ditempuh oleh negara – negara liberalis bengis yang sudah gagal itu.

Terkhusus dunia Islam, mereka sudah punya sejarah Panjang pernah menjadi single global hegemonic power. Semestinya, gagasan – gagasan konstruktif dari sejarah itu dapat dikaji dan dihidupkan kembali untuk kebaikan peradaban umat Manusia di masa – masa yang akan datang.

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top