
Oleh: Dr Riyan MAg (Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia – MSPI)
Dalam upaya memperkuat langkah pencegahan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengumumkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pelaksanaan Kontra Radikalisasi. Pembentukan tim ini merupakan implementasi dari mandat pencegahan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018, PP No. 77 Tahun 2019, serta Peraturan BNPT No. 2 Tahun 2023, yang salah satu aspeknya mencakup pelaksanaan kontra radikalisasi secara komprehensif.(23/1/2025)
Sementara itu, Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i mengungkapkan, Kementerian Agama (Kemenag) akan membentuk empat direktorat jenderal (ditjen) baru untuk bidang pendidikan. Ia menyebutkan, empat ditjen baru tersebut yakni Ditjen Kontra Radikalisme, Ditjen Pendidikan Tinggi Keagamaan, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Keagamaan, serta Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)(Kompas,29/4/2025)
Dua berita ini memberikan kita sebuah pertanyaan kritis: untuk apa pembentukan satgas dan ditjen ini dilakukan?
Mari kita lihat ke belakang. Sejak 2001, pasca WTC (9/11) ketika genderang perang melawan apa yang disebut terorisme digaungkan Bush, Presiden AS saat itu dengan mengatakan: “either you are with us or with terrorist!” seolah membelah dunia menjadi pendukung AS atau pendukung teroris.
Apa yang disebut AS dengan War On Terrorism (WOT) dikritisi dan diyakini banyak fihak sebagai perang melawan Islam.
Pernyataan jurnalis investigatif Australia John Pilger bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya, ungkap Pilger, tidak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme. Amerika sebagai pelaku utama yang menyebabkan umat Islam jadi korban terorisme.
Lebih lanjut, John Pilger menuturkan bahwa AS menggunakan segala kekuatannya untuk menjadi teroris terbesar di dunia. Jargon kampanye War on Terrorism (WOT) yang dibuat AS hanyalah justifikasi untuk melakukan agresi militer (ke Irak dan Afganistan) dan demi kepentingan politik jangka panjang– hegemoni dan dominasi di dunia Islam. Sekaligus AS berusaha keras mempopulerkan moderatisme Islam–untuk melawan apa yang mereka sebut paham radikalisme Islam.
Sangat sejalan, sebagaimana disampaikan oleh Daniel Pipes, “tujuan jangka pendek dari perang ini (WOT) haruslah untuk menghancurkan Islam militan, namun tujuan jangka panjang dari perang ini adalah modernisasi Islam”.
Inilah mengapa dibentuk Densus (Detasemen Khusus) 88 Antiteror– perang fisik melawan terorisme di Indonesia, dan berikutnya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme)– perang melawan radikalisme, membuat Islam menjadi moderat, sebagaimana dimaui Barat yang tunduk pada nilai demokrasi dan HAM.
Setelah 24 tahun, masih relevankah pembentukan satgas dan ditjen kontra radikalisme?
Radikalisme dan terorisme apa yang dimaksud? Apakah radikalisme yang dituduhkan kepada umat Islam karena mereka kritis terhadap berbagai kebijakan AS terkait demokrasi dan HAM di dunia islam dan mereka menginginkan ditegakkan Islam secara kaffah?
Atau apakah terorisme yang dituduhkan karena penggunaan kekerasan? Sehingga HAMAS masuk daftar teroris versi AS karena melakukan jihad melawan penjajah entitas Yahudi. Padahal jihad bukan terorisme dan terorisme bukan jihad.
Bagaimana dengan AS yang telah menghancurkan Irak dan Afganistan, bukankan itu jelas terorisme negara (state-terrorism) sebagaimana kebrutalan Israel yang meluluhlantakkan Gaza Palestina?
Banyak pihak khawatir hal ini hanyalah kepentingan politik islamophobia dan derasnya anggaran.
Demikian.