
Oleh: Hasbi Aswar
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi seribu warga Gaza ke Indonesia sebagai bentuk bantuan kemanusiaan menyimpan banyak persoalan mendasar dan potensi pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Pertama, perlu dicermati bahwa sejak awal, proyek kolonial Zionis memang bertujuan mengusir seluruh penduduk Palestina dari tanah mereka. Sejarah mencatat bahwa intimidasi, pemenjaraan, dan pembantaian telah lama menjadi strategi utama Israel untuk mengosongkan Gaza dan wilayah Palestina lainnya. Maka, rencana evakuasi ini, meskipun dibalut dengan alasan kemanusiaan, secara tidak langsung justru sejalan dengan kepentingan Zionis: mengosongkan Gaza dari rakyatnya agar eksistensi entitas kolonial mereka semakin aman dan tak terganggu.
Pernyataan Prabowo bahwa para pengungsi akan “dipulangkan” setelah dirawat pun terdengar naif, jika tidak bisa disebut sebagai pengalihan isu. Realitanya, jutaan warga Palestina yang terusir sejak 1948 hingga kini masih tersebar sebagai pengungsi di Lebanon, Yordania, dan Suriah, tanpa hak untuk kembali ke tanah air mereka. Apakah kita sungguh percaya bahwa Israel akan membuka gerbangnya untuk menerima kembali warga Gaza yang telah direlokasi ke Indonesia? Tentu tidak. Pengalaman sejarah menunjukkan sebaliknya.
Kedua, kebijakan ini tampak tergesa-gesa dan tidak dirancang dengan pertimbangan strategis yang matang. Bahkan muncul dugaan bahwa langkah ini dapat menjadi bagian dari upaya diplomasi tawar-menawar Indonesia di tingkat global, misalnya dengan Presiden AS Donald Trump terkait perang tarif yang belakangan mencuat. Jika benar demikian, maka rencana ini tidak hanya kehilangan esensi kemanusiaannya, tetapi juga mencederai prinsip solidaritas terhadap Palestina yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.
Ketiga, sikap pemerintah Indonesia yang hanya menyoroti aspek kemanusiaan dari tragedi Gaza memperlihatkan lemahnya pemahaman terhadap akar persoalan utama, yakni penjajahan Zionis. Ini adalah persoalan politik, bukan sekadar isu kemanusiaan. Oleh karena itu, respons yang dibutuhkan pun bukan hanya bantuan medis atau evakuasi, melainkan aksi politik nyata untuk menghentikan kejahatan penjajahan: melalui embargo internasional, boikot produk-produk pendukung Israel, dan bahkan kemungkinan pembentukan koalisi militer internasional untuk memberi tekanan serius terhadap entitas Zionis.
Sayangnya, keberanian untuk bersikap tegas dan solutif terhadap penjajah tampaknya tidak dimiliki oleh pemimpin-pemimpin dunia Islam hari ini. Alih-alih memperkuat posisi rakyat Palestina, kebijakan relokasi ini justru menambah masalah baru dengan merampas hak mereka untuk tetap tinggal dan berjuang di tanah air sendiri.
Inilah persoalan besar dunia Islam saat ini—ketidaktegasan dan ketidaksiapan para pemimpinnya dalam membela saudara-saudaranya di Palestina. Jika mereka enggan menggunakan alasan “persaudaraan seiman”, maka setidaknya alasan persaudaraan sebagai umat Manusia.
Kalau tidak mampu bersikap tegas, jangan salahkan jika ada suara sumbang yang menyebutkan bahwa pemimpin kita memberikan karpet merah untuk terus membantai warga Gaza. Terus kalau begitu bantuan kemanusiaan maknanya apa?.