
Oleh: Mustajab Al-Musthafa (Analis Politik)
Penetapan Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016. Terlepas dari adanya polemik terhadap penetapan tersebut, setiap tahunnya diadakan peringatan sekalipun secara terbatas dan oleh kalangan tertentu saja. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan salah satu lembaga yang aktif melakukan kegiatan pada momentum peringatan Hari Lahir Pancasila.
Pada tahun ini, peringatan HUT Hari Lahir Pancasila tersebut tidak sesemarak tahun-tahun sebelumnya, bahkan sepi. Mungkin saja ini dampak dari efisiensi anggaran yang menyasar banyak lembaga ataupun karena pemerintah saat ini masih sibuk membenahi struktur kelembagaan yang makin “gemoy” dengan adanya pembentukan lembaga-lembaga baru. Usia pemerintahan juga masih baru beberapa bulan. Tapi diskursus tentang Pancasila tak pernah lekang oleh zaman.
Sejak Perppu No. 2/2017 dikeluarkan, yang kemudian menjadi bagian dari Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), telah digunakan mencabut dan menolak perpanjangan legalitas beberapa organisasi kemasyarakatan. Terlepas dari sikap pemerintah terhadap beberapa organisasi kemasyarakatan tersebut, satu hal yang perlu dicermati dari alasan pemerintah adalah karena terindikasi anti-Pancasila. Alasan ini perlu direspon dalam pendekatan keilmuan karena menyangkut perkara ideologis.
Sementara dua alasan lainnya, yakni dianggap tidak berkontribusi positif bagi pembangunan dan berpotensi menimbulkan benturan di masyarakat, cukup direspon dengan pengamatan biasa saja untuk menentukan validitasnya.
Pengkajian itu penting karena telah timbul polemik tentang Pancasila yang cenderung digunakan sebagai “palu godam” untuk menindak pihak tertentu secara tidak adil dimana proses politik lebih dikedepankan daripada proses hukum melalui peradilan terlebih dahulu. Paling tidak, bisa menempatkan Pancasila sebagai “pisau bedah” untuk menganalisis sesuatu yang dianggap berkesesuaian atau bertentangan dengannya. Sesuatu yang seharusnya menjadi konsen pemerintah untuk mendorong perguruan tinggi melakukan hal itu. Bukan malah terjebak dalam alur politik yang turut menyibukkannya “memburu” pihak-pihak yang dianggap anti Pancasila.
Lebih dari itu, perlu ada penelitian terhadap pelbagai kebijakan pemerintah, apakah berkesesuaian dengan Pancasila atau tidak? Karena sejatinya, jika Pancasila diposisikan sebagai ideologi maka seharusnya sistem ketatanegaraan yang berlaku bersumber dan berkesesuaian dengan Pancasila.
Kebijakan-kebijakan penguasa pun harus sesuai dengan Pancasila. Dengan begitu ia telah digunakan sebagai “pisau bedah” dalam menyusun dan menilai setiap kebijakan dan tindakan penguasa, bukan sebagai “palu godam” yang digunakan melawan siapa saja yang dianggap bertentangan dengan kepentingan penguasa.
Jika kita melihat sejarah, kelahiran Pancasila tidaklah seperti kelahiran demokrasi/kapitalisme (demokrasi modern), juga tidak seperti kelahiran komunisme/sosialisme, yang keduanya lahir menggugat sistem politik dan ideologi yang berlaku saat itu.
Kelahiran Pancasila terjadi ditengah diskursus tentang negara yang berdasarkan Islam yang diusulkan tokoh dari kalangan islam dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia muncul sebagai gagasan dari kalangan tokoh nasionalis, khususnya oleh Dr. Supomo, Muh.Yamin, dan Ir. Sukarno. Bisa dikatakan bahwa saat itu gagasan ini lebih sebagai gagasan politis yang merupakan reaksi (penolakan) terhadap gagasan Islam sebagai dasar negara.
Kalau Pancasila ditempatkan sebagai gagasan ideologis, maka seharusnya ia menjadi sumber atas perumusan konstitusi yang menjadi tatanan dalam sistem ketatanegaraan. Nyatanya terjadi penolakan terhadap rumusan dalam Undang-Undang Dasar yang terkait kewajiban pelaksanaan syariat islam bagi pemeluknya, dimana secara teoritik rumusan itu sejalan dengan sila pertama Pancasila.
Pada sisi lain, sistem politik barat (demokrasi/republik), sistem hukum sipil sekuler (termasuk KUHP warisan Belanda), sistem ekonomi kapitalisme dan yang lainnya justru tidak dianggap bertentangan dengan Pancasila. Ini tentu membutuhkan penjelasan, apa alasannnya semua itu dianggap berkesesuaian dengan Pancasila sementara tidak dengan syariat islam (termasuk sistem khilafah)?
Pada perjalanan negara ini, khususnya pada era kepemimpinan Orde Lama, komunisme dan sosialisme diposisikan berkesesuaian dengan Pancasila dan dilegalkan. Bahkan menolak gagasan Nasakom (nasionalisme, agama dan komunis) dianggap anti-Pancasila. Partai yang berasas komunisme dan sosialisme–seperti Partai Komunis Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia–yang bercita-cita mewujudkan negara komunisme/sosialisme diberi ruang legal oleh negara. Resmi berkompetisi dalam pemilu, beraktifitas di tengah masyarakat, dan tokoh-tokohnya diberi jabatan dalam kabinet. Padahal secara teoritik ada ajarannya yang bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila pertama.
Pada era berikutnya, yakni Orde Baru, Pancasila dijadikan asas tunggal untuk seluruh organisasi baik parpol maupun ormas. Kebijakan ini cenderung menjadi alat kontrol bagi rakyat tapi tidak untuk kebijakan pemerintah. Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diintensifkan tapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) berjalan massif.
Setelah reformasi, amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan empat kali. Pelbagai perundang-undangan juga direvisi dan banyak yang dibuat baru. Apakah semua itu benar-benar didasarkan dan berkesesuaian dengan Pancasila?
Pertanyaan itu penting mengingat Pancasila telah ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara. Tentu tidaklah tepat jika dasar dan ideologinya Pancasila—yang sering dikatakan khas Indonesia—tapi sistem ketatanegaraan yang diberlakukan adalah imporan; sistem politik barat, sistem ekonomi kapitalisme, sistem hukum sipil barat, dan pelbagai perundang-undangan merujuk ke Barat (luar negeri). Jika demikian dimana posisi Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara?
Pada kondisi tertentu, Pancasila lebih terkesan digunakan sebagai alat politik penguasa daripada sebagai pengejawantahan sebagai ideologi negara melalui kebijakan-kebijakan yang Pancasilais.
Olehnya itu, kiranya kita tergerak untuk menempatkan pembahasan Pancasila ini dalam kerangka keilmuan agar tersingkap segala hal yang masih samar terkait dengannya. Jika ia benar sebagai ideologi dan merupakan ideologi terbaik, maka reideologisasi Pancasila mutlak dibutuhkan agar kita tidak sekedar menyatakannya sebagai “Harga Mati” sementara tatanan kenegaraan kita berlumuran liberalisme-kapitalisme.