
Mustajab al-Mustafa (Analis Politik MSPI)
Donald Trump yang dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 (20/1/2025), menjabat untuk kedua kalinya setelah jedah empat tahun. Ia akhirnya memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) dengan mengalahkan Kamala Harris dengan suara elektoral 277:223. Ini adalah kemenangan keduanya setelah tahun 2016 mengalahkan Hillary Clinton dan 2020 ia dikalahkan oleh Joe Biden.
Trump sempat mengalami dua kali penembakan selama masa kampanye yang justru semakin meningkatkan simpati publik kepadanya. Kemenangannya dipengaruhi oleh banyak faktor, selain ekonomi juga ada faktor politik khususnya soal imigran yang semakin tinggi. Dalam kasus Palestina, ia tampak lihai memanfaatkan opini yang menyudutkan Biden/Kamala dan meraih simpati komunitas muslim AS dengan berjanji akan menghentikan peperangan. Ia mengatakan akan memulihkan perdamaian, stabilitas dan harmoni di seluruh dunia (Kantor Berita AFP, 19/7/2024). Bahkan sesumbar bisa menghentikan peperangan hanya dengan panggilan telepon.
Atas kemenangannya itu, Trump mendapat ucapan selamat dari pemimpin dunia, diantaranya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, pemimpin Afghanistan, dan Prabowo Subianto. Pada akun X milik Presiden Prabowo, tertulis, “Saya berharap dapat bekerjasama erat dengan Anda dan pemerintahan Anda untuk lebih meningkatkan kemitraan ini dan demi perdamaian dan stabilitas global.” Ia juga menelepon Trump disela-sela kunjungannya di AS untuk menyampaikan selamat atas kemenangannya dalam pilpres AS. Pemimpin baru Rusia juga tidak ketinggalan memberikan ucapan selamat kepada Trump terkait pelantikannya.
Arah Kebijakan Trump
Pada periode kedua ini, arah kebijakan politik dalam negerinya tetap mengarah kepada politik proteksionis sementara politik luar negerinya cenderung lebih agresif. Hal itu tergambar dari pernyataan-pernyataannya sejak kampanye pemilihan presiden hingga ia dilantik dan kebijakannya sesaat setelah dilantik.
Proteksionisme atau proteksi perdagangan merupakan kebijakan yang diambil oleh suatu negara dalam rangka melindungi kepentingan ekonominya dengan jalan pengetatan perdagangan melalui pembatasan ekspor dan impor serta penetapan tarif barang impor yang tinggi. Kebijakan ini telah diambil oleh Trump pada era kepemimpinannya yang pertama. Kali ini rencana pengenaan tarif impor dalam kisaran 20-60%. Ia juga menjanjikan pemotongan pajak korporasi untuk mendorong produksi dalam negeri AS.
Selain itu Trump membuat kebijakan efesiensi dengan membentuk Departemen Efesiensi Pemerintah yang dipimpin oleh Elon Musk. Efesiensi pertama dilakukan dengan keluar dari WHO, menyusul pembatalan dan pengurangan nilai bantuan luar negerinya kepada banyak negara kecuali kepada Israel. Ia juga membubarkan AUSAID, lembaga yang banyak menyalurkan bantuan ke negara lain karena dianggap tidak banyak manfaatnya bagi AS.
Trump juga memberlakukan kebijakan serupa pada kasus imigran. Sejak periode pertama kepemimpinannya ia sangat ketat dan tegas soal imigran seperti membangun pagar pembatas dengan Mexico dan mendeportasi imigran illegal dari berbagai negara termasuk dari Timur Tengah. Pada hari pertama tugasnya yang kedua, pihak imigrasi telah menangkap ratusan imigran gelap. Ini merupakan pesan simbolik atas kebijakan Trump terkait imigran.
Sementara politik luar negeri AS ditangan Trump pada periode keduanya akan cenderung agresif. Hal itu tergambar dari pernyataannya sebelum dan sesudah pelantikannya terkait keinginannya mengambil alih Greenland dari Denmark dan kebijakannya yang keluar dari WHO (World Health Organizatin). Sementara kebijakan luar negerinya di Timur Tengah tidak mengalami perubahan signifikan. AS akan tetap menjadi pendukung utama Israel. Bahkan semakin kokoh dengan mempertahankan pangkalan militernya di Suriah pasca penggulingan Bashar Assad dan signal kerjasamanya dengan pemerintahan baru Suriah.
Secara politik, Trump (AS) tidak memiliki kendala signifikan yang berpotensi menghalangi rencananya di kawasan Timur Tengah tersebut setelah “menaklukkan” Rusia di Suriah dan menggaet pemimpin baru negara itu kedalam poros kepentingannya. Juga telah “merangkul” Rusia melalui pertemuannya di Arab Saudi (18/2) dengan mengorbankan Ukraina. Kebijakan Trump ini sekaligus menjadi peringatan bagi Uni Eropa untuk tidak bertindak sendiri dalam kasus Ukraina. Sementara kelompok perlawanan yang didukung Iran, yakni Hizbullah di Lebanon juga semakin melemah dengan tergulingnya Assad bahkan menjadi bulan-bulanan Israel yang didukung penuh AS dan diamnya penguasa sekitarnya yang semuanya dalam kendali AS.
Di kawasan lainnya AS tetap mendominasi dan mempertahankan pengaruhnya termasuk di Asia Timur seperti pengaruh dan dukungannya di Taiwan dan Korea Selatan. Kawasan Afrika juga tetap dalam kontrolnya termasuk di negara yang masih bergolak seperti Sudan. Pengaruhnya terhadap Uni Eropa tetap kokoh melalui NATO dan “Marshall Plan”. Praktis tak ada kekuatan penyeimbang pada semua kawasan sehingga ia bisa semakin agresif terhadap pihak yang dianggapnya berpotensi mengganggu kepentingan AS.
Perpaduan kedua pola kebijakan politik Trum tersebut—politik dalam negeri yang proteksionis dan politik luar negeri yang agresif—diharapkan bisa membawa AS sebagaimana disebutnya sebagai “era kebangkitan AS”, yaitu ekonomi AS yang semakin kokoh dan pengaruh politik luar negerinya yang tanpa pesain (makin digdaya).
Sikap Trump Terhadap Palestina
Secara personal bisa saja ada perbedaan gaya diplomasi presiden AS dalam mengangani masalah Palestina, tetapi secara politik pada hakikatnya mereka sama, yakni menjadi pelindung dan pendukung Israel, bukan terhadap Palestina. Mereka tetap menempatkan Islam dan kelompok perlawanan sebagai ancaman. Pemerintah AS hanya mau bekerjasama dengan negara-negara dan kelompok Islam yang bersedia mengikuti garis politiknya, selain itu mereka cap sebagai kelompok teroris seperti Hamas, Hizbullah dan yang lainnya.
Trump akan tetap menjadi pendukung utama Israel termasuk atas penguasaannya yang meluas di Dataran Tinggi Golan, juga dalam upaya pencaplokan Gaza melalui skenario Rekonstruksi dan Relokasi setelah invasi militer 15 bulan yang memporak-porandakan wilayah itu. Kendati rencana relokasi penduduk Gaza ke wilayah Yordania dan Mesir ditentang oleh pemimpin negara tersebut beserta pemimpin negara-negara di Timut Tengah lainnya, bukan berarti rencana Trump berhenti. Ia bisa menggunakan pengaruhnya untuk menekan para penguasa tersebut yang sejatinya memang telah lama tunduk pada AS.
Trump menunjukkan kecenderungan akan mengambil sikap agresif terhadap kasusu Palestina sebagaimana pada periode pertamanya yang menyetujui Yerussalem sebagai ibukota Israel dengan memindahkan kantor kedutaannya ke wilayah tersebut.
Secara khusus Donald Trump mempunyai jejak rekam yang buruk dalam masalah Palestina saat menjadi presiden AS periode pertamanya (2016-2020). Pada tahun 2017, Trump menerapkan kebijakan ”Muslim Ban” yang membatasi masuknya warga dari beberapa negara mayoritas Muslim dengan alasan keamanan nasional, khususnya dalam mencegah terorisme. Pada Desember 2017, Trump mengumumkan keputusan untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018. Trump juga mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki. Dia juga mendorong pelabelan produk dari permukiman ilegal di Tepi Barat sebagai “Made in Israel.”
Pada 2020, pemerintahan Trump mengungkapkan rencana perdamaian “Peace to Prosperity”, yang dikenal sebagai “Deal of The Century”. Dalam rencana tersebut Israel diizinkan untuk mencaplok sebagian besar Tepi Barat dan Yerusalem dijadikan sebagai ibukota Israel yang tidak terbagi. Olehnya itu tidak mengherankan jika beredar pernyataan Benyamin Netanyahu untuk mencaplok Tepi barat pada hari pelantikan Trump sebagai presiden untuk periode keduanya.
Selama pemerintahan Trump, bantuan AS kepada Israel tetap berjalan. Bantuan AS kepada Israel merupakan bantuan terbesar luar negeri AS sejak negara itu terbentuk. Bahkan AS merupakan negara pertama yang mengakui Isreal sebagai negara berdaulat. Sejak tahun 1947 itu pula bantuan AS digelontorkan kepada entitas politik Zionis Yahudi tersebut.
Atas dukungan dan kebijakan AS terhadap Israel tersebut, membuat pemimpin entitas politik Zionis Yahudi-Israel terus melanjutkan misi penguasaannya atas seluruh wilayah Palestina. Hal itu ditunjukkan salah satunya melalui pengesahan undang-undang yang dilakukan Kesnet (Palerlemen Israel) terkait Tepi Barat yang memungkinkan orang-orang Yahudi mengklaim tanah dan membangun pemukiman di Tepi Barat. Dalam undang-undang tersebut juga menetapkan perubahan nama Tepi Barat menjadi “Yudea dan Samaria” (CNBC Indonesia,11/2/2025).
Tepi Barat yang berada dalam wilayah administrasi Otoritas Palestina sesungguhnya dikontrol oleh Israel sejak pendudukannya atas wilayah itu sejak tahun 1967. Militer Israel bebas keluar masuk di kawasan itu tanpa kendala. Praktis hanya Jalur Gaza yang belum mereka kendalikan penuh, yang berada dalam kontrol Hamas. Tapi setelah penghancuran Gaza selama 15 bulan terakhir, sepertinya Israel menemukan jalan penguasaan atas wilayah itu melalui skenario Rekonstruksi dan Relokasi yang digagas Trump.
Dengan fakta-fakta seperti itu, Trump tak akan membawa Palestina kearah yang lebih baik, bahkan mungkin akan kehilangan semakin banyak wilayahnya, kalaupun tidak secara keseluruhan! Ingat bahwa hingga tahun 1947 wilayah Palestina meliputi Jalur Gaza, Tepi Barat dan seluruh wilayah yang kini disebut Israel. Wilayah itu selama lebih 9-10 abad berada dibawah kekuasaan Khilafah, yakni sejak kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab hingga Khalifah Mehmed V (Muhammad V) dengan jedah kekuasaan selama 92 tahun (1095-1187) oleh Pasukan Kerajaan Eropa (Pasukan Salib).
Dukungan tersebut menggambarkan begitu kuatnya pengaruh lobi Yahudi (organisasi Yahudi) terhadap pemerintahan AS. Disamping itu, dibalik dukungan tersebut, AS memiliki berbagai kepentingan di kawasan Timur Tengah, utamanya minyak. AS berkepentingan mengontrol situasi politik di kawasan tersebut termasuk dalam hal mencegah munculnya kelompok Islam yag bisa mengancam eksistensinya. Untuk itu ia mengambil untung dengan keberadaan Israel di tengah-tengah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.
Dampak Global Kebijakan Trump
Secara ekonomi, kebijakan proteksionisme Trump menciptakan perang tarif antara AS dengan China, khususnya pengaruh Dollar AS yang tidak stabil. Nilai Yuan China pun akan mengalami dinamika. Sementara kedua mata uang negara itu sangat berpengaruh terhadap banyak negara. Dollar AS yang masih menjadi standar mata uang global sangat sensitif bagi kondisi moneter negara lain di seluruh dunia. Sementara Yuan China berpengaruh di negara-negara yang bekerjasama dengan China khususnya dalam perdagangan dan investasi.
Pengetatan impor Trump berimplikasi pada pengalihan produk China ke negara lain. Artinya akan ada peningkatan volume impor barang-barang China ke negara lain. Kondisi ini berpotensi “membunuh” produksi dalam negeri negara-negara berkembang karena tidak akan kuat menyaingi produk China dari sisi volume, keragaman dan harga.
Secara politik, kebijakan pemotongan dan penghapusan bantuan luar negeri AS ke berbagai negara termasuk ke Mesir, akan membatasi ruang gerak penguasa negara-negara itu dalam mengambil kebijakan tertentu untuk menjaga eksistensi kekuasaannya. Ini bisa menjadi pintu masuk China untuk menanamkan pengaruhnya di negara-negara tersebut melalui skema utang dan investasi. Akibatnya, loyalitas negara tersebut berpotensi mendua, ke AS sekaligus China. [mm]