
Hasbi Aswar
Dalam pidatonya di PBB pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali dukungan penuh Indonesia terhadap Solusi Dua Negara di Palestina. Ia menyampaikan, “Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus mengakui dan menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan demikianlah kita dapat mencapai perdamaian sejati: perdamaian tanpa kebencian, perdamaian tanpa kecurigaan.”
Pernyataan serupa pernah disampaikandalam keterangan pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka, Jakarta, pada 28 Mei 2025. Saat itu Prabowo mengatakan, “Saya tegaskan bahwa kita juga harus mengakui dan menjamin hak Israel untuk berdiri sebagai negara yang berdaulat dan negara yang harus juga diperhatikan dan dijamin keamanannya.”
Terlepas dari makna politik di balik pernyataan tersebut—apakah untuk menyenangkan Amerika Serikat maupun negara-negara Barat lainnya— seharusnya tidak layak seorang Presiden Indonesia mengucapkan kata-kata yang menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hal ini bertentangan dengan sikap tegas Indonesia yang anti-penjajahan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika pemerintah memahami dan bersepakat bahwa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan Israel terhadap Palestina, maka Israel harus dilihat sebagai entitas asing yang masuk ke tanah Palestina. Entitas asing inilah yang sejak tahun 1948 melakukan berbagai macam kesewenang-wenangan terhadap warga Palestina. Entitas asing itulah akar masalah sebenarnya, sehingga solusi terhadap penjajahan ini berarti menghapuskan entitas penjajah tersebut.
Oleh karena itu, menjadi aneh, ganjil, dan kontradiktif jika di satu sisi Indonesia menyatakan mendukung kemerdekaan Palestina, namun di sisi lain juga mengakui kemerdekaan Israel. Sebab, pengakuan terhadap Israel berarti mengakui hak entitas penjajah untuk terus menguasai wilayah Palestina yang dicaplok selama ini.
Dengan demikian, bila Indonesia benar-benar konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, mestinya juga menolak eksistensi Israel. Artinya, Indonesia tidak boleh membuka ruang bagi hubungan diplomatik apa pun jika Israel masih bercokol di tanah Palestina.
Sebagai manuver politik, langkah Prabowo dapat dipahami bahwa pemerintah Indonesia tentu ingin menjaga hubungan dengan negara-negara yang memback-up Israel, khususnya Amerika Serikat. Sikap yang ditampilkan pun menjadi semacam mencoba seimbang: pro-Palestina sekaligus pro-Israel. Ini mirip dengan pendekatan yang selama ini ditunjukkan sejumlah negara di Timur Tengah.
Namun, perbedaannya, negara-negara seperti Mesir, Yordania, dan negara-negara Teluk tidak pernah menyandingkan dukungan mereka kepada Palestina dengan pengakuan eksplisit terhadap Israel dalam forum-forum publik bahkan mereka sangat keras mengecam Israel. Mungkin karena mereka paham realitas yang sesungguhnya serta untuk menjaga respon publik di dalam negeri yang bisa bergejolak jika pemerintahnya bersikap blunder dalam isu yang sangat sensitif ini.
Oleh sebab itu, Prabowo seharusnya belajar dari cara negara-negara lain dalam menyampaikan aspirasi mereka terhadap Palestina. Kalau masih menggunakan gaya yang dilakukan selama ini, justru dapat menimbulkan kecurigaan bahwa Indonesia tidak tegas menghadapi penjajahan dan genosida yang dilakukan entitas Zionis Israel terhadap rakyat Palestina.