Pembacaan Mengenai (Masih) Absennya Perang Dunia III: Pengaruh Veto P-5 DK PBB atau Konfigurasi Sistem Internasional?

Oleh: Reza Noormansyah

Salah satu argumen dalam hubungan internasional adalah bahwa PBB, terlepas dari berbagai keterbatasan dan ketimpangan mengenai mekanisme hak veto lima anggota tetap Dewan Keamanan (P-5), telah berperan dalam mencegah pecahnya Perang Dunia III. Menurut pandangan ini, desain institusional PBB, meskipun dikritik karena kerap menghasilkan deadlock, tetap memiliki fungsi stabilisasi. Dalam argumen ini, PBB tidak sepenuhnya gagal. PBB berfungsi secara selektif, yaitu menjaga stabilitas global meski tidak mampu merespons beberapa kasus konflik secara memadai.

Edward Luck (2006) menggambarkan veto P-5 sebagai harga yang harus dibayar agar kekuatan besar tetap terkendali. Veto P-5 berperan mencegah keputusan yang bisa memicu konfrontasi antar adidaya. Ian Hurd (2020) juga melihat P-5 berfungsi sebagai ruang institusional untuk menahan diri dan menjaga agar tidak terjadi perang antara kekuatan besar dunia. Doyle dan Sambanis (2006) menyatakan bahwa, terlepas dari keterbatasannya, PBB telah berkontribusi terhadap berkurangnya konflik di antara aktor-aktor kuat.

Boutros Boutros-Ghali (2004) menyebut veto P-5 sebagai realita politik yang jika digunakan secara bertanggung jawab, dapat menjaga stabilitas global. John Ruggie (2009) juga menjelaskan bagaimana PBB secara institusional membatasi eskalasi militer berskala besar. Dengan veto P-5 ini, tindakan kolektif internasional yang dapat memicu konfrontasi langsung antar negara adidaya sejauh ini tereliminasi. Sehingga, meski gagal mencegah berbagai konflik, PBB diklaim masih bekerja dalam satu hal, yaitu mencegah bencana global.

Namun demikian, ketiadaan perang besar tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh mekanisme dan desain institusional PBB dalam veto P-5. Di sisi lain, realita bahwa dunia yang pasca-1945 tidak mengalami perang besar, telah mencerminkan karakteristik tatanan negara-bangsa sebagai sistem internasional yang berlaku. Negara yang dibentuk berdasarkan bangsa akan mengalami keterbatasan kapasitas untuk memproyeksikan kekuatan ideasional dan material melampaui batas teritorialnya. Maka, dalam konteks ini, dunia tidak serta merta dapat diartikan sedang dalam posisi damai, tetapi lebih karena ketiadaan aktor tandingan yang kapabel untuk terlibat dalam konfrontasi sekelas perang dunia.

Negara hari ini berdaulat secara de jure. Namun, secara desain, negara tidak mampu membentuk proyek tandingan terhadap aktor hegemonik. Artinya, tatanan negara-bangsa menghasilkan sejumlah batasan. Pertama, sistem ini membentuk ruang politik yang menghambat potensi proyek transnasional untuk mencapai skala institusional yang dibutuhkan guna menjadi penantang hegemon. Kedua, logika kelangsungan hidup negara telah melahirkan rasionalitas serta pengkondisian ide dan material, di mana para pemimpin negara, bahkan dalam situasi ketidakadilan global ataupun ancaman eksistensial bangsa lain, cenderung (dan dipaksa) mengadopsi kebijakan yang bertujuan menghindari eskalasi. Tendensi ini tertanam baik dalam pertimbangan politik domestik maupun diplomasi dan politik luar negeri.

Dalam konteks ini, tidak terjadinya Perang Dunia III dapat dipahami sebagai hasil dari fragmentasi sistemik dan rasionalitas yang dikondisikan, daripada sebagai hasil keberhasilan pencegahan institusional veto P-5. Potensi untuk memicu konflik global, baik secara ideasional, organisasional, maupun material, dibatasi oleh konfigurasi tatanan negara-bangsa ini. Di sisi lain, alih-alih perdamaian abadi, yang mucul justru konflik asimetris, di mana negara-negara kuat dapat melakukan operasi militer tanpa potensi pembalasan yang seimbang. Dari sini, tatanan negara-bangsa menciptakan dunia yang stabil untuk kekuatan besar, dengan memecah potensi kekuatan alternatif menjadi negara-negara kecil yang secara struktural telah takluk.

Hasilnya, saat berbagai invasi militer, pendudukan, penjajahan, ataupun genosida baik di wilayah yang sedang diperebutkan ataupun di negara merdeka-berdaulat dilakukan secara terang-terangan seperti yang terjadi di Palestina, Irak, Afghanistan, Yaman, Suriah, Libya, Iran, dan sebagainya, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu melawan dan mengimbangi kekuatan agresor tersebut. Yang tersisa adalah bentuk-bentuk perlawanan parsial, lokal, dan dipatahkan oleh logika diplomasi internasional yang kembali dikendalikan oleh aktor hegemon.

Seluruh dunia bisa mengutuk serangan Israel dan AS, misalnya. Namun, logika negara-bangsa memaksa pemimpin negara bertindak rasional yang membuatnya tunduk pada kalkulasi kekuasaan, ekonomi, dan diplomasi internasional. Hasilnya, tetap tidak ada aksi politik, sebut saja untuk keadilan dan kemanusiaan, yang melampaui pernyataan politik dan berbagai kecaman tersebut. Artinya, tidak ada perpetual peace. Hanya tercermin kepasrahan melihat ekspos kekuatan koersif negara adidaya akibat kondisi yang tersekat oleh batas-batas kebangsaan tersebut.

Madleen Flotilla dan Global March to Gaza juga dapat menjelaskan keterbatasan tatanan tersebut. Flotilla yang berlayar dari Sisilia membawa bantuan kemanusiaan untuk Gaza, melibatkan 12 aktivis dari 7 negara, dicegat oleh militer Israel di perairan internasional dan seluruh penumpangnya ditahan lalu sebagian dideportasi. Setelahnya, inisiatif Global March to Gaza melibatkan partisipasi aktivis tidak kurang dari 80 negara, tetapi menghadapi hambatan serupa. Ratusan aktivis ditahan dan dideportasi oleh otoritas Mesir, dengan berbagai laporan kekerasan aparat. Kedua aksi tersebut merepresentasikan solidaritas transnasional tanpa batas. Namun, upaya kemanusiaan dan keadilan global ini dibendung oleh akses politik ke Gaza yang disekat oleh Israel dan Mesir.

Kasus-kasus tersebut memiliki karakteristik sejenis, yaitu ketimpangan antara kekuatan intervensi dan aktor lokal, serta ketidakmampuan institusi global untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Negara-negara terdampak pada realitanya terisolasi secara material dan diplomatik untuk menempuh perlawanan yang sepadan. Sementara, kekuatan hegemon beroperasi dengan impunitas. Meskipun perang antarnegara besar dapat dihindari, berbagai konflik asimetris hadir, yaitu konflik yang secara tidak proporsional menghancurkan negara sasaran dan tidak menghasilkan transformasi untuk perdamaian yang sistemik.

Dengan demikian, absennya Perang Dunia III tidak serta-merta menandakan efektivitas sistem internasional saat ini, melainkan bentuk fragmentasi yang dikelola, di mana ciri-ciri struktural sistem mencegah terjadinya konflik simetris maupun perubahan sistemik. Arsitektur keamanan internasional memungkinkan terjadinya konflik secara terus-menerus, berintensitas rendah, dan terbatas secara geografis, tanpa memicu keruntuhan menyeluruh terhadap sistem yang tidak mampu menjamin perdamaian.

Argumentasi ini memberikan implikasi bagi teori hubungan internasional. Pola-pola yang terjadi menantang kecenderungan untuk terlalu menekankan pada efektivitas kelembagaan. Sebaliknya, pola justru tersebut menyoroti pengaruh yang bersemayam dari struktur hegemomik, khususnya paradigma negara-bangsa dan distribusi agensi politiknya. Pandangan ini membuka ruang untuk penyelidikan lebih lanjut mengenai kondisi-kondisi di mana formasi politik alternatif seperti blok ideologis atau peradaban dapat muncul.

Jika dunia ingin keluar dari siklus konflik dan kolonialisme sistemik, pertama yang perlu diungkap adalah struktur epistemik dan entitas yang menopang sistem ini. Selama dunia terkurung dalam kerangka logika hegemon saat ini, maka, apakah kita telah menormalisasi kekalahan alih-alih bersungguh-sungguh untuk perdamaian? Lalu, apakah Perang Dunia III adalah sesuatu yang bisa terhindarkan karena hak veto, ataukah veto P-5 tersebut justru menjadi mekanisme yang mengunci semua jalan keluar dari ketidakadilan struktural? Apakah Perang Dunia III terhindarkan karena sistem internasional bekerja, ataukah karena sistem tersebut membuat dunia dibuat tidak mampu melawan?

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top