Mengapa Parpol Islam Parlemen dan Ormas Islam Nasionalistik Mendukung Solusi Dua Negara: Sebuah Telaah dari Konstruktivisme Hubungan Internasional

Oleh: Reza Noormansyah – MSPI

Dukungan partai politik Islam di parlemen dan organisasi massa Islam nasionalistik terhadap solusi dua negara dalam isu Palestina-Israel terbentuk dalam konteks sejarah, pemikiran, dan sistem politik internasional yang membentuk cara pandang yang dianut saat ini. Dukungan tersebut merupakan hasil dari keterikatan pada konstruksi politik global yang menjadikan nation-state sebagai satuan politik utama. Keterikatan ini bersumber dari penerimaan terhadap konstruksi sistem Westphalia, yaitu kesepakatan pasca-perang Eropa abad ke-17 yang kemudian menjadi fondasi pembentukan negara modern di dunia internasional.

Dalam kerangka Westphalia, negara adalah entitas berdaulat yang memiliki batas wilayah, otoritas tunggal, dan diakui oleh negara lain. Dalam ilmu hubungan internasional, baik pendekatan realisme maupun liberalisme memandang negara sebagai aktor tunggal yang sah. Maka tidak mengherankan ketika PBB, sebagai institusi internasional yang didirikan untuk mewadahi prinsip-prinsip Westphalia, dianggap sebagai lembaga rujukan untuk menentukan legal-ilegal, patuh-melanggar, dan berdaulat-tidak berdaulat.

Israel, sebagai proyek negara yang dilahirkan oleh resolusi PBB melalui UN Partition Plan for Palestine 1947 dan diakui secara internasional sebagai negara pada 1948, kemudian diposisikan sebagai aktor tunggal yang setara dengan entitas lain di dunia. Karena itu, dalam diskursus negara modern, mengakui Israel sebagai negara dan mendukung solusi dua negara dianggap sebagai sikap realistis. Di sinilah akar persoalannya, yaitu keabsahan Israel sebagai negara adalah hasil konstruksi ganda. Pertama, konstruksi Westphalia yang menjadikan negara sebagai satu-satunya aktor politik. Kedua, konstruksi politik global yang dilembagakan oleh PBB, yang justru berperan membidani kelahiran Israel dan mengabaikan pengusiran lebih dari 750.000 rakyat Palestina dari rumah dan tanahnya.

Kembali ke partai politik Islam parlemen dan ormas Islam nasionalistik. Partai-partai dan ormas-ormas Islam mendukung solusi dua negara bukan karena absennya kepedulian terhadap Palestina, tetapi karena dua faktor mendasar. Pertama, keterikatan pada konstruksi negara-bangsa modern yang menjadi acuan hukum dan diplomasi internasional. Kedua, keterpaduan parsial antara identitas keislaman dan cara pandang terhadap isu politik global. Aktor politik Islam ini membawa semangat Islam, tetapi mengoperasionalisasikannya dalam kerangka konstruksi Westphalia. Di sinilah letak ketidaksinkronan antara creed (akidah), thought (kerangka pemikiran), dan method (cara pelaksanaan gagasan).

Padahal, dalam sebuah ide yang utuh, ketiganya harus berjalan seiring. Akidah sebagai keyakinan mendasar tidak dapat dikompromikan dengan cara berpikir dan metode yang lahir dari konstruksi lain. Ketika aktor politik Islam menerima sebagian cara pandang Islam (misalnya, solidaritas terhadap Palestina) tetapi tetap disertai cara kerja politik yang dilahirkan oleh konstruksi Westphalia, maka aktor-aktor ini tengah mengalami ambiguitas ideasional. Solidaritas emosional tidak dibarengi dengan kerangka berpikir dan bertindak yang berasal dari sumber pemikiran Islam yang menyeluruh.

Dalam konteks inilah urgensi partai dakwah menjadi terang. Partai dakwah bukan hanya hadir sebagai aktor politik, tetapi sebagai komunitas epistemik yang mampu membuka horizon mengenai bagaimana umat Islam semestinya memandang realitas internasional. Partai dakwah menawarkan cara pandang dan metode politik yang tidak reaksioner, tetapi ideasional, menjunjung intelektualitas, dan visioner. Partai dakwah mampu membongkar konstruksi-konstruksi yang menempatkan Israel sebagai entitas legal dan utuh, dengan menunjukkan akar kelahirannya sebagai entitas kolonial yang didirikan melalui kekerasan, pemaksaan, dan pembersihan etnis.

Partai dakwah juga memiliki kapasitas untuk mendudukkan identitas Islam sebagai fondasi berpikir dan bersikap yang menyatu dengan seluruh aspek perjuangan politik, bukan sebatas simbolik dan ritual. Partai dakwah menawarkan solusi politik yang bersumber dari metodologi yang diajarkan Nabi ﷺ, yaitu dakwah yang menyeluruh, pembentukan kesadaran politik umat, dan perjuangan menuju kehidupan Islam yang menerapkan keadilan sejak dari pikiran. Jalan yang diambil adalah meninggalkan posisi kompromistis konstruksi yang tidak adil dengan menawarkan epistemologi yang kohesif dan teruji validitasnya. Pendekatan ini membentuk dasar perjuangan politik yang berprinsip dan berpola tetap, tanpa bergantung pada penyesuaian pragmatis.

Dengan demikian, memahami dukungan parpol Islam parlemen dan ormas Islam nasionalistik terhadap solusi dua negara harus dimulai dari pemahaman akan konstruksi yang dianut. Selama masih berada dalam konstruksi Westphalia dan menganggap PBB sebagai wasit tertinggi legitimasi politik global, maka dukungan terhadap solusi dua negara akan terus berulang. Jalan keluar dari jebakan ini hanya mungkin melalui transformasi cara berpikir, dari cara berpikir reaksioner-pragmatis yang berujung kompomi ke cara berpikir ideasional yang utuh, dari cara berpikir simbolik-ritual yang sifatnya hanya vertikal ke cara berpikir sistemik sehingga utuh dan menyeluruh. Dan inilah medan perjuangan hakiki yang membawa Islam secara lengkap dari akidah, pemikiran, hingga metode.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top