Melampaui Tembok Pembatas: untuk Damai (yang Pernah Ada) di Tanah yang Dijanjikan

Oleh: Reza Noormansyah

Apa yang dialami warga Gaza sejak 7 Oktober 2023, bahkan sebenarnya oleh keseluruhan rakyat Palestina sejak 1948, telah meruntuhkan tatanan internasional semenjak spirit dekolonisasi disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Mulai dari kedaulatan, kemanusiaan universal, hingga hak menentukan nasib sendiri. Di wilayah yang telah menjadi simbol persinggungan tiga agama besar, telah tersaji bukan sekadar konflik, tetapi keberlanjutan dari sebuah proyek ideologis yang dibangun di atas eksklusi, supremasi, dan penjajahan. Ideologi ini telah menjadi fondasi negara modern yang memproduksi hukum dan kekerasan dalam satu tarikan nafas: Zionisme.

Alih-alih menjadi entitas yang diputus melanggar norma universal, Zionisme justru mendapat legitimasi dari negara adidaya, negara yang memiliki veto di organisasi-organisasi internasional penentu perang dan damai. Di sisi lain, sejarah membuktikan bahwa di era sebelum ideologi ini hadir, masyarakat Muslim, Kristiani, dan Yahudi pernah hidup berdampingan di bawah pemerintahan yang tidak menindas identitas, tidak membangun tembok-tembok eksklusivitas, dan tidak mengabsolutkan tanah atas dasar mitos politik. Kawasan itu adalah tanah Palestina di bawah pemerintahan Ottoman.

Zionisme: Gerakan Kolonial Modern

Zionisme lahir pada akhir abad ke-19 sebagai respons terhadap antisemitisme di Eropa. Dipelopori oleh jurnalis Yahudi asal Austria, Theodor Herzl, melalui publikasi bukunya Der Judenstaat (Negara Yahudi, 1896), Zionisme menyerukan pendirian negara Yahudi sebagai solusi bagi masalah persekusi dan dikriminasi yang dialami Yahudi di Eropa. Herzl memandang bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendirikan negara nasional Yahudi di tanah yang mereka klaim sebagai tanah leluhur, yaitu tanah Zion, yang kemudian dipilihlah Palestina.

Namun, tidak seperti aspirasi spiritual Yahudi tradisional yang menunggu kedatangan Mesias untuk kembali ke Zion, Herzl dan para pendukung Zionisme menempuh jalur politik, diplomasi, dan kolonisasi. Dengan bantuan kekuatan kolonial Inggris, melalui Deklarasi Balfour 1917, proyek Zionisme memperoleh legitimasi untuk mulai membentuk koloni Yahudi Eropa di Palestina, meskipun tanah tersebut telah dihuni oleh Arab dan Yahudi Palestina. Sejak itu, Zionisme berkembang sebagai gerakan kolonial pemukim modern.

Secara demografis, mayoritas wargai Israel saat ini berasal dari kelompok Yahudi Ashkenazi, yaitu keturunan Yahudi Eropa Tengah dan Timur seperti Jerman, Polandia, dan Rusia. Di dalamnya termasuk Benjamin Netanyahu (PM Israel), David Ben-Gurion (PM Israel pertama), dan Herzl. Yahudi Ashkenazi adalah bagian dari gelombang migrasi Zionis yang dimulai pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20 yang artinya, kelompok ini bukan penduduk asli wilayah Palestina. Selain Yahudi Ashkenazi, ada Yahudi Sephardic yang berasal-usul dari Spanyol, Portugal, dan Afrika Utara, Yahudi Mizrahi yang berasal dari Timur Tengah dan Asia, dan Beta Israel atau Yahudi Ethiopia (Karsh 2010) (DellaPergola 2021).

Fakta bahwa sebagian besar warga negara Israel berpaspor ganda dan pendatang yang tidak memiliki keterikatan historis langsung atau turun-temurun dengan tanah Palestina menunjukkan bahwa Zionisme adalah bentuk pendudukan, bukan repatriasi atau kembalinya komunitas asli. Tidak seperti komunitas Yahudi lokal yang telah lama tinggal di Hebron atau Yerusalem selama berabad-abad, para pemukim pendatang membawa proyek nasionalisme etnis eksklusif yang mengubah relasi tanah, hukum, dan kewarganegaraan menjadi alat dominasi kolonial.

Kenaifan pada Dinamika Internal Israel

Kebijakan suatu negara tak jarang dipahami dari siapa pemimpin yang berkuasa, atau rivalitas politik domestik, termasuk dalam konteks kebijakan Israel terhadap Palestina. Beberapa analisis mengaitkan nama-nama seperti Benjamin Netanyahu, Yair Lapid, atau tokoh oposisi lainnya dengan perubahan atau eskalasi kebijakan. Namun, analisis semacam ini gagal melihat realitas fundamental, bahwa negara Israel sejak awal berdiri dibangun dan dijalankan berdasarkan ideologi Zionisme, yaitu ekspansi teritorial dan eksklusivitas rasial.

Rivalitas internal memang terjadi, seperti antara blok sayap kanan religius-nasionalis yang dipimpin Netanyahu dan kelompok oposisi seperti koalisi tengah-kiri atau partai Arab-Israel. Namun dalam isu Palestina, perbedaan haluan politik tokoh tersebut tidak menyentuh substansi. Baik pemerintah sayap kanan maupun koalisi moderat tetap mendukung perluasan pemukiman Yahudi, mempertahankan blokade Gaza, dan menyangkal hak kembali bagi pengungsi Palestina. Contohnya, meski Netanyahu berulang kali dikritik atas korupsi dan otoritarianisme, kebijakan ekspansionis Israel tidak pernah berubah secara signifikan di bawah kepemimpinan lawan-lawan politiknya.

Selama masa pemerintahan koalisi perubahan tahun 2021-2022 yang dipimpin oleh Naftali Bennett dan Yair Lapid, dua tokoh yang digadang sebagai antitesis Netanyahu, pemerintah Israel tetap melanjutkan penghancuran rumah warga Palestina, penyitaan tanah di Tepi Barat, dan pembatasan akses ke tempat-tempat suci. Dinamika ini menunjukkan bahwa Zionisme bukan visi satu partai ataupun tokoh, tetapi fondasi seluruh sistem politik Israel.

Sejak 1948 hingga hari ini, Israel secara konsisten menjalankan strategi kolonisasi bertahap, yaitu mengusir warga Palestina dari kampung halaman mereka (seperti dalam peristiwa Nakba), mencaplok wilayah baru (dari Tepi Barat, Yerusalem Timur, hingga Dataran Tinggi Golan), dan menciptakan hukum yang membedakan status kewarganegaraan berdasarkan etnis. Fakta ini tercermin dalam peta yang terus berubah, dalam statistik pengungsi yang tidak pernah kembali, dan dalam laporan lembaga-lembaga internasional yang menyebut Israel sebagai rezim apartheid. Bukan Netanyahu yang menjadi akar masalahnya, bukan pula partai oposisi yang menjadi harapan solusinya, melainkan ideologi negara itu sendiri yang sejak awal menetapkan apartheid sebagai landasan utama.

Maka, menjadi naif jika menilai kebijakan Israel sebagai produk dari pergeseran politik internal belaka. Kekerasan terhadap Palestina adalah perwujudan konsisten dari zionisme sebagai landasan sistem bernegara Israel.

Realitas Politik Israel

Realitas politik yang dibangun oleh negara Israel hari ini tidak dapat dipisahkan dari karakter rezim yang secara sistematis menginstitusionalisasi apartheid. Apartheid sendiri merupakan kategori hukum internasional yang didefinisikan secara jelas dalam International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid (1973) dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998), yaitu setiap tindakan yang bertujuan mempertahankan dominasi satu kelompok rasial atas kelompok lain dan secara sistematis menindasnya.

Berbagai laporan independen mengafirmasi bahwa praktik negara Israel memenuhi definisi tersebut. Laporan Tahunan 2017 United Nations Economic and Social Commission for Western Asia menyebut bahwa Israel memberlakukan apartheid terhadap warga Palestina dan warga Israel keturunan Arab, baik yang tinggal di Israel, Tepi Barat, maupun Gaza. Demikian pula berbagai laporan Human Rights Watch dan organisasi HAM Israel, B’Tselem yang menyimpulkan bahwa Israel menjalankan sistem dualisme hukum yang memisahkan hak-hak sipil, politik, dan ekonomi berdasarkan etnis, satu sistem bagi warga Yahudi, satu sistem lainnya bagi warga non-Yahudi, khususnya Palestina.

Di wilayah geografis yang sama, hak untuk bergerak, hak untuk memiliki properti, hak untuk menikah, hak atas pendidikan dan layanan publik, bahkan hak untuk diakui sebagai manusia yang merdeka dan berdaulat, ditentukan oleh identitas etnis, bukan hukum yang inklusif. Misalnya, undang-undang Nation-State Law yang disahkan pada tahun 2018 secara resmi menetapkan bahwa hanya bangsa Yahudi yang memiliki hak penentuan nasib sendiri di Israel, dan bahasa Arab diturunkan statusnya dari bahasa resmi menjadi bahasa “dengan status khusus”. Undang-undang ini menjadi pengukuhan hierarki kewarganegaraan dalam doktrin hukum negara.

Lebih dari itu, kebijakan administratif Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur memperlihatkan segregasi terencana. Pemukiman Yahudi dibangun dengan infrastruktur lengkap (air bersih, listrik, telekomunikasi) dan dilindungi militer. Sementara, desa-desa Palestina menghadapi pembongkaran paksa, larangan izin bangunan, dan pemisahan dengan dinding dan pos penjagaan. Di wilayah lain, Warga Palestina di Gaza hidup di bawah blokade total yang telah berlangsung lebih dari 17 tahun, menjadikan wilayah tersebut sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.

Kondisi ini adalah cerminan kekerasan struktural sebagaimana dijelaskan oleh Johan Galtung, yaitu bentuk kekerasan yang dilembagakan dalam sistem sosial, politik, dan hukum, sehingga tampak legal tetapi berdampak sistemik dan mematikan. Kekerasan ini bekerja melalui formulir, kebijakan zonasi, perizinan, dan hukum kependudukan. Kekerasan struktural merampas masa depan melalui mekanisme yang dirancang rapi dan dijustifikasi oleh wacana keamanan.

Dalam konteks ini, Israel tidak hanya bertindak sebagai aktor negara yang menduduki wilayah asing, tetapi sebagai entitas yang secara aktif mengonstruksi realitas hukum berdasarkan supremasi ideologis. Tindakan Israel bertentangan dengan prinsip jus cogens dalam hukum internasional, yang melarang praktik apartheid, aneksasi, dan diskriminasi, serta mengingkari nilai dasar sovereign equality dan universal dignity.

Mandat Internasional yang Diabaikan

Dalam arsitektur hukum internasional, agresi militer oleh satu negara terhadap kelompok atau wilayah lain seharusnya tidak dibiarkan berlangsung tanpa konsekuensi. Piagam PBB tegas mengatur bahwa tindakan agresi harus dihentikan, bahkan dengan kekuatan militer jika perlu. Pasal 39 memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan PBB untuk menyatakan kapan suatu situasi telah mencapai level ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan agresi, dan untuk menentukan respons internasional yang diperlukan.

Ketika sanksi ekonomi, diplomatik, atau bentuk tekanan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 41 terbukti tidak efektif, Pasal 42 membuka jalan bagi penggunaan kekuatan melalui darat, laut, atau udara, demi memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Namun, dalam kasus Palestina, pasal-pasal tersebut tidak pernah berlaku.

Sejak peristiwa Nakba 1948, pembangunan pemukiman ilegal di Tepi Barat di setiap harinya, hingga blokade dan bombardemen yang di Gaza yang belum berhenti, parameter agresi negara oleh Israel telah terakumulasi, yaitu aneksasi wilayah, pemindahan penduduk secara paksa, blokade kolektif, dan penggunaan kekuatan militer yang tidak proporsional terhadap populasi sipil.

Meskipun perangkat hukum internasional tersedia sebagaimana telah diatur dalam Bab VII Piagam PBB tersebut, mekanisme implementasi terhenti di hadapan kekuasaan veto. Negara-negara adidaya menutup pintu tindakan ketika agresor adalah sekutu strategis. Dunia menyaksikan sebuah negara agresor dilindungi dan tidak tersentuh. Kekebalan Israel menjadi penanda keruntuhan kredibilitas sistem internasional hari ini.

Penentangan Zionisme oleh Kalangan Yahudi

Sejak awal kemunculannya, ideologi Zionisme tidak pernah diterima secara universal oleh seluruh komunitas Yahudi. Penolakan berasal dari komunitas yang berakar pada tradisi keagamaan dan telah lama hidup berdampingan secara damai dengan komunitas non-Yahudi, termasuk di Palestina.

Komunitas Yahudi ultra-Ortodoks seperti yang tinggal di kawasan Mea Shearim di Yerusalem, atau kelompok internasional Neturei Karta, secara terbuka menolak keberadaan negara Israel. Penentangan ini berjalan konsisten hingga aksi-aksinya menetang penjajahan Israel, termasuk genosida di Gaza. Bagi komunitas-komunitas Yahudi ini, pendirian negara Yahudi adalah bentuk penentangan terhadap kehendak Tuhan, karena menurut keyakinan mereka, kembalinya orang-orang Yahudi ke tanah yang dijanjikan hanya sah jika terjadi melalui tangan Tuhan, bukan lewat intervensi politik dan militer. Negara Israel dianggap sebagai ciptaan manusia yang melanggar janji dan kesabaran yang diajarkan dalam Taurat.

Beberapa komunitas Yahudi memilih untuk tetap menjadi bagian dari masyarakat Palestina dan tidak mengasosiasikan diri dengan negara Israel. Komunitas ini menolak kewarganegaraan Israel, menolak dikaitkan dengan kebijakan politik yang dilakukan atas nama Yahudi, dan memilih mempertahankan hubungan sosial yang telah terbentuk jauh sebelum ide Zionisme lahir. Dalam pandangan komunitas ini, Zionisme adalah proyek ideologis yang merusak esensi spiritualitas.

Selain penolakan dari komunitas Yahudi religius, penentangan terhadap Zionisme juga datang dari sejumlah intelektual Yahudi sekuler yang menggunakan pendekatan historis, filosofis, dan etis untuk membongkar kerusakan ideologi Zionisme. Para intelektual ini menolak apartheid, kolonialisme, dan klaim Zionisme sebagai representasi tunggal identitas Yahudi.

Ilan Pappe, seorang sejarawan Israel dalam novelnya, The Ethnic Cleansing of Palestine (2006), membongkar narasi pendirian Israel dengan menunjukkan bahwa peristiwa Nakba sebagai proyek ideologis yang dipersiapkan oleh elit Zionis, serta menyerukan dekonstruksi terhadap mitos-mitos nasionalis yang mengaburkan kolonialisme sebagai pembebasan. Noam Chomsky dalam bukunya, Fateful Triangle (1983), menyebut kolusi Israel dan Amerika Serikat dalam menjadikan Palestina sebagai tanah terbuka untuk imperialisme. Miko Peled, aktivis dan penulis yang anak seorang Jenderal Israel, Matti Peled, tumbuh menjadi kritikus militerisme Zionis dan pendukung hak rakyat Palestina. Dalam bukunya, The General’s Son: Journey of an Israeli in Palestine (2012), Peled menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya dapat dicapai dengan mengakhiri sistem apartheid Zionis.

Albert Einstein menolak menjadi presiden Israel dan mengecam kelompok Zionis fanatik seperti Herut (cikal bakal Partai Likud) sebagai fasis. Dalam suratnya kepada The New York Times, 4 Desember 1948, Einstein bersama Hannah Arendt menyatakan bahwa Zionisme bertentangan dengan nilai humanisme universal. Norman Finkelstein, akademisi dan anak penyintas Holocaust, menolak eksploitasi sejarah Holocaust untuk membenarkan pendudukan Israel. Dalam bukunya, The Holocaust Industry (2000), Finkelstein menyoroti bahwa Israel telah menjauh dari nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi pelajaran dari sejarah tragis Yahudi di Eropa.

Shlomo Sand, profesor sejarah di Tel Aviv University, melalui bukunya, The Invention of the Jewish People (2020), mendekonstruksi mitos bahwa orang-orang Yahudi Ashkenazi adalah keturunan langsung dari 12 suku Israel dan membongkar basis rasial Zionisme. Israel Shahak, profesor di Hebrew University, dalam Jewish Fundamentalism in Israel (2004) mengkritik pembajakan hukum Talmud untuk mendukung diskriminasi terhadap non-Yahudi dalam struktur hukum Israel.

Komparasi Historis: Tanah Palestina dalam Dekapan Ottoman

Kontras yang mencolok justru terlihat ketika dunia menoleh ke masa lalu. Bahwa wilayah yang kini dipenuhi tembok pemisah, pos militer, dan kebijakan segregasi, dahulu merupakan ruang koeksistensi yang damai ketika dikelola oleh pemerintahan yang tidak menjadikan identitas sebagai dasar hierarki kekuasaan. Di bawah Kesultanan Ottoman, Palestina tidak diatur berdasarkan etnis atau agama mayoritas, melainkan melalui millett system. Millet system adalah kerangka pemerintahan multikomunal yang memberikan otonomi bagi komunitas agama untuk mengelola urusan internalnya, meliputi peradilan privat, pendidikan, tempat ibadah, dan hubungan keluarga.

Millett system menjadi model pemerintahan aktif yang mengakui keberagaman dalam tata kelola pemerintahan. Di bawah sistem ini, Muslim, Kristiani, dan Yahudi tidak diposisikan dalam relasi dominasi-subordinasi, melainkan sebagai komunitas yang sah, dilindungi, dan dihormati eksistensinya. Komunitas Yahudi diberikan ruang untuk menjalankan hukum-hukum agama mereka, membangun sinagog, serta berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial secara bebas.

Testimoni penting datang dari Rabbi Yitzhak Sarfati, seorang Ashkenazi Jerman yang pada abad ke-15 menulis surat terbuka kepada komunitas Yahudi Jerman dan Hungaria untuk berhijrah ke Turki dengan kondisi yang digambarkan sebagai “here every man dwells at peace under his own vine and fig tree.

Perdamaian dan keadilan hadir dari pengakuan keberagaman sebagai keniscayaan dan mengatur kehidupan publik berdasarkan prinsip komunitas. Model ini bertahan selama berabad-abad, bahkan ketika dunia Eropa masih dilanda pembantaian, konversi paksa, dan pengusiran terhadap Yahudi seperti peristiwa Inkuisisi Spanyol atau Pogrom di Eropa Timur.

Artinya, perdamaian dan keadilan multikomunal sama sekali bukan utopia dan pernah menjadi realitas historis. Tanpa tembok pemisah, tanpa identifikasi berdasarkan ras, dan tanpa ideologi yang memonopoli klaim sejarah. Pelajaran dari masa Ottoman ini membuktikan bahwa keamanan dan koeksistensi bisa dihasilkan melalui struktur politik yang menjamin hak hidup dan keberadaan bersama.

… untuk Perdamaian di Tanah yang Dijanjikan

Dalam realitas politik hari ini, diperlukan keberanian intelektual untuk mengusulkan kerangka baru. Kerangka yang berbicara bahwa hubungan antarbangsa harus bertumpu pada prinsip perlindungan, keadilan substantif, dan hak atas hidup bermartabat.

Fakta bahwa Palestina pernah menjadi ruang aman bagi Muslim, Kristiani, dan Yahudi di bawah sistem pemerintahan yang non-nasionalistik, menjadi bukti historis bahwa keberagaman bisa dikelola secara adil dan acuan bahwa model alternatif bisa diwujudkan. Sebuah model yang dibangun dari sistem yang sudah sejak awal menolak untuk menindas.

Gagasan solusi dua negara yang dipromosikan komunitas internasional gagal menyentuh akar masalah. Masalah Palestina bukan bermula dari konflik dua bangsa, tetapi dari ditetapkannya ideologi yang mengklaim tanah atas nama satu kelompok dan meniadakan yang lain. Maka, untuk mengakhiri krisis yang mengakar ini, dunia tidak cukup hanya menuntut gencatan senjata atau perundingan batas, negosiasi antara yang kuat dan lemah, apalagi kompromi antara penjajah dan yang dijajah, melainkan memiliki keberanian untuk menyentuh akar masalah, yaitu sebuah sistem apartheid yang melegalisasi kekerasan struktural.

Dengan keberanian itu, masa depan Palestina tidak akan mentok pada formula normalisasi diplomatik yang sampai hari ini terus berputar-putar, tetapi dalam penyadaran intelektual dan tindakan nyata untuk mengatakan bahwa tidak ada keadilan selama Zionisme tetap menjadi dasar kebernegaraan. Dengan demikian, yang harus dilakukan oleh dunia adalah pembebasan cara berpikir sebelum pembebasan tanah yang terjajah.

*Catatan rangkuman penulis untuk perdamaian: intervensi militer terhadap Israel, kembalikan semua imigran ke negara asalnya, lindungi semua warga asli (etnis, agama, dan komunitas apapun), bentuk satu pemerintahan yang adil dan menjamin martabat manusia.

3.7 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top