
Oleh: Dr. Riyan, M.Ag. – Peneliti Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI)
Kesepakatan dagang yang baru-baru ini dicapai antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto bukanlah kemenangan diplomatik bagi Indonesia, melainkan potret telanjang dari penjajahan ekonomi gaya baru yang dilakukan Amerika Serikat terhadap negeri ini.
Dalam analisis yang jujur dan objektif, perjanjian ini bukan sekadar hasil perundingan ekonomi, tetapi lebih tepat disebut sebagai bentuk pemaksaan kehendak dari negara adidaya terhadap negara berkembang yang lemah posisinya. Bukan negosiasi yang setara, melainkan relasi antara pemalak dan yang dipalak. Ini bukan perdagangan bebas, tetapi economic coercion — tekanan ekonomi yang sistematis untuk mengukuhkan dominasi global AS.
Perjanjian Berat Sebelah: Skor 4-0 untuk Amerika
Perjanjian tersebut menyepakati bahwa produk ekspor Indonesia ke AS dikenai tarif tinggi sebesar 19 persen. Sementara produk AS masuk ke pasar Indonesia tanpa bea masuk—0 persen. Ini berarti, AS memproteksi pasarnya secara ketat, sedangkan Indonesia membuka pasar domestiknya seluas-luasnya. Ironis dan menyakitkan.
Tak hanya itu, Indonesia juga berkomitmen membeli produk AS dalam jumlah fantastis: (1)Energi sebesar USD 15 miliar (± Rp 244 triliun), (2)Produk pertanian senilai USD 4,5 miliar (± Rp 73 triliun), (3)Pembelian 50 unit pesawat Boeing, mayoritas tipe 777.
Apa yang diperoleh Indonesia sebagai kompensasi dari semua pembelian ini? Tidak ada. Bahkan hak untuk mengenakan tarif pun dicabut. Jika dihitung secara sederhana, hasil perjanjian ini menunjukkan skor telak: 4 untuk Amerika, 0 untuk Indonesia.
Dampak Langsung: Defisit, Keruntuhan Industri, dan Ancaman Kedaulatan
Saat perjanjian dagang ini dilakukan, kondisi ekonomi dalam negeri juga sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dicerminkan sejumlah indikator, diantaranya, (1) Neraca perdagangan migas defisit USD 6,19 miliar (Q1 2025 – BPS), (2) Transaksi berjalan defisit USD 0,2 miliar, (3) Cadangan devisa menurun, (4)Rupiah terjun bebas ke Rp 16.555 per dolar (BI, Maret 2025).
Dalam waktu dekat, produk pertanian dan energi asal AS akan membanjiri pasar domestik. Petani lokal tercekik. Industri nasional tersingkir. Kedaulatan pangan dan energi bangsa ini kian rapuh. Secara politik, ini adalah bentuk kolonialisasi ekonomi yang membelenggu.
Kapitalisme Global: Hukum Rimba Internasional
Dalam sistem ekonomi global berbasis kapitalisme, yang berlaku adalah hukum rimba: siapa kuat, dia berkuasa. Amerika memosisikan dirinya sebagai predator ekonomi, yang dengan kekuatan politik dan militernya mampu mendikte negara-negara lemah seperti Indonesia. Ini sangat berbeda dengan Cina, yang saat menghadapi tekanan dagang dari Trump, justru melakukan perlawanan terbuka dan tegas.
Indonesia, sayangnya, tampil lemah dan tunduk. Seperti pengemis yang tak berhak memilih, hanya menerima nasib buruk yang dipaksakan. Ini mencerminkan lemahnya visi politik ekonomi dan tidak adanya kehendak untuk berdikari.
Penutup
Kesepakatan Trump-Prabowo bukanlah kesuksesan diplomatik, tetapi alarm keras bagi seluruh elemen bangsa. Kita sedang diseret ke jurang penjajahan ekonomi yang lebih dalam. Jika bangsa ini ingin bangkit dan berdaulat, maka dibutuhkan keberanian politik yang nyata untuk melepaskan diri dari dominasi kekuatan asing dan menyusun kembali kedaulatan ekonomi nasional secara adil dan mandiri.
Demikian.