
Oleh: Dr. Riyan MAg (Peneliti di MSPI – Masyarakat Sosial Politik Indonesia)
Dugaan korupsi kuota haji era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menambah daftar panjang kasus serupa di tanah air. Publik tentu bertanya-tanya, bagaimana mungkin ibadah suci yang seharusnya dikelola dengan amanah justru dicederai praktik busuk bernama korupsi?
Ini bukan pertama kali. Pada era Presiden Megawati, Menteri Agama Said Aqil Al Munawar pernah terseret kasus korupsi Dana Abadi Umat senilai Rp4,5 miliar. Lalu, di masa Presiden SBY, Surya Dharma Ali terbukti menyelewengkan dana ibadah haji hingga Rp1,8 miliar. Kini, muncul lagi dugaan manipulasi anggaran perjalanan haji dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1 triliun.
Berulangnya skandal ini menunjukkan, masalahnya bukan sekadar “siapa yang menjabat menteri”, melainkan sistem yang memberi ruang besar bagi praktik penyimpangan.
Mengapa korupsi ini berulang kali terjadi?
Ada dua faktor utama:
- Niat serakah pelaku
Setiap kejahatan lahir dari keserakahan. Diduga kuat, ada aktor yang merancang, menjalankan, hingga menutupinya. Namun, tak ada kejahatan yang sempurna—semua akhirnya tercium publik. - Celah aturan
Regulasi penyelenggaraan haji sudah dipisah antara Kemenag dan BPKH. Tapi ketika muncul tambahan kuota 20 ribu jamaah, aturan UU No. 8/2019 yang mewajibkan pembagian 92% haji reguler dan 8% haji khusus justru diabaikan. Yang terjadi malah pembagian 50:50, entah siapa yang menetapkan. Inilah lubang sistem yang membuka peluang korupsi.
Bagaimana Islam menawarkan solusi?
Pertama, moratorium pendaftaran haji perlu dipertimbangkan. Antrian yang mencapai puluhan tahun tidak rasional. Prinsipnya, siapa yang benar-benar siap secara dana, kesehatan, ilmu, dan keamanan, dia yang berangkat lebih dulu. Selama ini dana calon jamaah justru ditahan bertahun-tahun, lalu diputar. Kondisi ini rawan disalahgunakan.
Kedua, diplomasi yang kuat dengan Arab Saudi. Penyelenggaraan haji jangan lagi dipandang sebagai proyek bisnis. Negara harus hadir sebagai pelayan umat, bukan pedagang jasa.
Ketiga, pengawasan publik. Transparansi harus jadi prinsip utama. Umat sendiri perlu dilibatkan dalam mengawasi, agar semua proses berjalan jujur, profesional, dan tanpa celah manipulasi.
Penutup
Korupsi kuota haji adalah ironi. Ibadah suci yang mestinya dijalankan dengan penuh keikhlasan justru dijadikan ladang bancakan. Karena itu, solusinya bukan sekadar mengganti menteri, melainkan memperbaiki sistem secara menyeluruh.
Pemerintah harus ingat, haji adalah amanah besar, bukan komoditas bisnis. Jika pengelolaan dilakukan profesional, transparan, dan sesuai syariat, umat akan bisa beribadah dengan tenang, khusyuk, dan bermartabat.