
Oleh Dr. Riyan, M.Ag (Peneliti MSPI – Masyarakat Sosial Politik Indonesia)
Pernyataan Istana yang menyebutkan data pribadi warga negara Indonesia (WNI) akan diserahkan ke Amerika Serikat demi “kepentingan komersial” merupakan alarm keras bagi kedaulatan digital bangsa. Narasi bahwa ini bagian dari kerja sama perdagangan seharusnya tidak menutupi fakta bahwa yang sedang dipertaruhkan adalah hak digital jutaan rakyat Indonesia.
Kesenjangan Perdagangan: Potret Ketimpangan
Rencana penyerahan data ini erat kaitannya dengan pembahasan perjanjian dagang yang sedang dilakukan antara Indonesia dan AS. Sayangnya, perjanjian tersebut menunjukkan ketimpangan serius: Indonesia ke AS dikenakan tarif dagang 19%, sementara produk AS tidak dikenakan tarif alias 0 % saat masuk ke Indonesia. Bahkan Indonesia diwajibkan membeli komoditas strategis seperti energi, pertanian, dan pesawat boeing.
Dalam konteks ketimpangan ini, pemberian akses data pribadi WNI untuk “kepentingan komersial” sangat mencurigakan. Ini lebih mendekati bentuk baru penjajahan ekonomi berbasis data—bukan kerja sama sejajar antarnegara.
Data Bukan Komoditas Gratis
Dalam era digital, data pribadi bukan sekadar informasi, melainkan sumber daya strategis layaknya minyak dan emas. Data mengandung kekuatan ekonomi, pengaruh sosial, dan potensi manipulasi politik. Menyerahkannya kepada entitas asing sama saja membuka celah eksploitasi luar yang sulit diawasi dan dikendalikan.
Para pakar keamanan siber telah lama mengingatkan agar jangan sampai bangsa ini tunduk dalam hal kedaulatan data. Ada lima alasan utama mengapa penyerahan data ini sangat berbahaya:
- Hilangnya kontrol rakyat atas data pribadinya.
Begitu data keluar ke tangan asing, WNI tidak tahu lagi bagaimana data itu digunakan, disimpan, atau dijual-belikan. - Tingginya risiko kebocoran dan penyalahgunaan.
Data bisa dipakai untuk iklan agresif, manipulasi opini publik, hingga aksi penipuan digital lintas negara. - Ancaman terhadap keamanan nasional.
Data agregat bisa dimanfaatkan untuk strategi ekonomi-politik asing yang melemahkan posisi Indonesia di kancah global. - Kerugian ekonomi.
Keuntungan akan dinikmati korporasi asing, sementara rakyat Indonesia hanya menjadi “tambang data” tanpa kompensasi. - Pelanggaran hukum.
Jika dilakukan tanpa persetujuan eksplisit, maka ini bisa melanggar UU Perlindungan Data Pribadi No. 27 Tahun 2022.
Apa Kata Islam? Pemerintah Adalah Perisai
Dalam pandangan Islam, pemerintah adalah junnah — perisai dan pelindung rakyat. Ia wajib menjamin kemaslahatan umum, bukan memfasilitasi kepentingan asing yang merugikan rakyatnya. Maka, dari perspektif syariah, data pribadi adalah amanah yang harus dijaga. Menjualnya tanpa izin pemiliknya adalah pengkhianatan.
Sikap yang seharusnya diambil pemerintah antara lain:
(1)Menolak penyerahan data tanpa transparansi dan perlindungan maksimal.
(2) Memastikan seluruh aktivitas data tunduk pada UU PDP dan prinsip keadilan digital.
(3) Membangun pusat data dan industri pengolahan data nasional yang mandiri.
(4) Mewajibkan perusahaan asing tunduk pada aturan lokal dan menggandeng mitra lokal.
(5) Meningkatkan literasi digital agar rakyat sadar akan hak-haknya.
(6) Menolak tekanan eksternal, terutama dari negara-negara yang menjadikan data sebagai senjata geopolitik.
Kesimpulan: Pemerintah Harus Jadi Pelindung, Bukan Penjual
Rakyat Indonesia tidak butuh pemerintah yang menjadi makelar data. Yang dibutuhkan adalah pemerintah yang berani berdiri di garis depan melindungi hak digital rakyatnya. Bila data adalah sumber kekuatan masa depan, maka menyerahkannya untuk alasan “komersial” adalah bentuk pelemahan kedaulatan secara sistemik.
Indonesia tidak boleh menjadi negara yang tunduk pada agenda digital asing. Kita harus bangkit sebagai bangsa merdeka, termasuk dalam dunia digital.