
Oleh: Reza Noormansyah
Kebijakan tarif impor baru yang diumumkan Donald pada 2 April 2025 bukan hanya bentuk proteksionisme ekonomi klasik. Tarif 125% terhadap produk China (yang kabarnya naik menjadi 245%), 100% terhadap Meksiko, termasuk Indonesia 32% yang kemudian naik menjadi 47%, itu semua lebih dari sekadar kalkulasi neraca dagang, tetapi adalah pernyataan kuasa. Dunia berebut diplomasi ke Gedung Putih, berharap bisa dinegosiasikan agar industri domestik tidak runtuh dan jutaan pekerja tak kehilangan mata pencaharian.
Indonesia misalnya, menghadapi ancaman atas ekspor tekstil, meubel, dan produk elektronik. Potensi penurunan ekspor berarti potensi PHK massal. Ini bukan hanya risiko ekonomi, tapi juga krisis sosial, karena akan berdampak pada nilai tukar rupiah dan kestabilan makroekonomi nasional.
Namun, di balik itu semua, mengapa negara-negara harus begitu perhatian pada tarif Trump? Jawabannya sederhana sekaligus menjadi bisa tinjauan bersama: karena AS memegang kunci utama sistem ekonomi dunia, yaitu mata uang US Dollar.
Dolar: Senjata Hegemoni
Semua negara menyimpan cadangan devisa dalam bentuk USD. Utang luar negeri harus dibayar dengan USD. Perdagangan internasional masih berbasis USD. Bahkan ketika negara lain menggerutu atas kebijakan AS, mereka tetap harus mengejar dolar agar bisa bertahan di konstelasi global. Ini adalah bentuk dominasi era modern, yaitu hegemoni moneter.
Sejak Bretton Woods Agreement tahun 1944, Amerika berhasil memaksa dunia menggunakan dolar dengan janji bahwa dolar dijamin oleh emas. Maka, dunia menyetujui, dolar menjadi standardisasi keuangan global. Namun pada tahun 1971, Presiden Nixon dalam Nixon Shock secara sepihak mencabut standar emas atas dolar, yang praktis menjadikan USD sebagai mata uang fiat atau kertas tanpa jaminan nilai intrinsik. Sementara negara lain harus bekerja keras menghasilkan barang dan jasa, AS bisa mencetak kertas dan tetap mendapatkan kekayaan global. Uang hanya dijamin oleh kepercayaan, bukan atas nilai riilnya.
Simptom dalam Pasar Spekulasi
Jaminan kepercayaan, alih-alih nilai riil, tercermin dalam pasar keuangan global, yang didominasi oleh sektor non-riil daripada sektor riil. Lebih dari 90% transaksi keuangan dunia kini terjadi di sektor non-riil, seperti forex, derivatif, dan crypto. Meskipun angka pastinya dapat bervariasi tergantung pada metodologi dan definisi yang digunakan, data dari BIS menunjukkan bahwa pasar derivatif over-the-counter (OTC) memiliki nilai nosional yang tinggi, mencerminkan dominasi sektor non-riil dalam aktivitas keuangan global. Artinya, keuntungan besar tidak lagi berasal dari petani, pengrajin, atau manufaktur, tetapi dari para spekulan finansial.
Ketika ada konflik dan krisis, maka yang diuntungkan bukanlah pelaku ekonomi produktif, yang bahkan mereka justru dirugikan. Pihak yang mendapatkan untuk adalah pemilik modal yang bermain di pasar uang. Dalam sistem seperti ini, perang tarif hanyalah gejala dari struktur ekonomi global saat ini yang sudah bermasalah sejak akarnya.
Senjata Pamungkas AS: Jejaring Hegemon
Beberapa pihak mulai memikirkan alternatif sebagai counter-hegemony, seperti dedolarisasi. BRICS, inisiatif bilateral Rupee-Ruble, penggunaan Yuan dalam perdagangan minyak, atau sistem pembayaran alternatif seperti CIPS bisa jadi adalah langkah konkret. Namun, belum ada yang benar-benar bisa membuat gusar dominasi Dolar, karena AS masih mempunyai empat senjata utama:
- Kepercayaan pasar global terhadap Dolar sebagai aset safe haven
Meskipun dolar AS tidak lagi berbasis emas, dunia tetap menganggapnya sebagai mata uang paling stabil. Dolar menjadi tempat pelarian ketika dunia dilanda krisis. Saat terjadi gejolak geopolitik, krisis ekonomi, atau bencana global, investor global justru membeli dolar, bukan menjauhinya. Dolar adalah paradoks hegemonik, yaitu sekalipun AS memicu ketidakstabilan misal melalui perang dagang atau intervensi militer, dolar tetap dianggap aman. Negara-negara berkembang tetap harus memperkuat cadangan devisanya dengan dolar untuk menjaga kepercayaan investor dan stabilitas nilai tukar mata uang. Sementara, AS bisa mencetak dolar dalam jumlah besar tanpa takut kehilangan kepercayaan pasar. Negara lain tidak punya kemewahan ini. Jika mereka mencetak uang, nilai tukar mata uang bisa runtuh.
- Wall Street sebagai pusat investasi dunia dan magnet likuiditas
Wall Street adalah jantung dari pasar keuangan. Bursa saham seperti New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq menampung sebagian besar perusahaan multinasional terbesar dunia, menjadikannya tempat utama mengalirnya investasi internasional. Dana pensiun, sovereign wealth funds, dan bank sentral dari berbagai negara menyimpan dan menginvestasikan asetnya di pasar modal AS. Pemodal dan spekulan berkumpul di Wall Street karena dianggap paling likuid dan menguntungkan.
- Kontrol atas institusi finansial internasional
AS memiliki kekuatan veto di lembaga-lembaga utama seperti IMF dan World Bank. Melalui lembaga ini, AS menetapkan kebijakan global atas utang, pinjaman, dan program restrukturisasi bagi negara-negara berkembang. Negara yang membutuhkan bailout tidak punya banyak pilihan kecuali tunduk pada syarat dan skema yang ditentukan oleh AS.
- Hegemoni militer-politik
AS bukan hanya hegemon ekonomi, tapi juga kekuatan militer terbesar. Dengan ratusan pangkalan militer dan aliansi militer seperti NATO, AS bisa mengerahkan kekuatan tempurnya ke mana saja, kapan saja. Negara-negara yang mencoba keluar dari sistem, seperti Irak di bawah Saddam Hussein, Libya di bawah Muammar Qaddafi, dan Venezuela di bawah Hugo Chavez mengalami tekanan ekonomi, embargo, hingga invasi militer. Qaddafi, misalnya, menggagas Gold Dinar untuk menggantikan dolar dan euro dalam perdagangan minyak Afrika. Tak lama kemudian, NATO menggulingkannya dengan dalih intervensi kemanusiaan. Artinya, hegemoni Dolar ini juga didukung oleh ancaman koersif. Negara yang membangkang tidak hanya berhadapan dengan tekanan ekonomi, tetapi juga risiko destabilisasi politik dan invasi militer.
Keempat senjata tersebut saling menguatkan. Kepercayaan pasar memastikan dolar tetap laku, Wall Street menarik arus modal dan meyakinkan bahwa AS tetap pusat kapital global, lalu institusi keuangan global memastikan negara berkembang tetap tergantung, dan pungkasnya adalah kekuatan militer untuk menjaga kepatuhan.
Kesadaran sebagai Counter-Hegemony
Perang tarif menjadi pernyataan AS dalam mendominasi tatanan perekonomian dunia. Di sisi lain, China melawan, tetapi mau tidak mau masih bermain di papan catur yang sama. Trump membawa spirit America First, tetapi caranya mengancam mitra dagang. Negara-negara besar saling cakar, dan masyarakat yang menanggung dampaknya.
Jika kita belum tahu cara keluar dari kubangan ini, atau belum mampu melawan sepenuhnya, maka kesadaran adalah langkah pertama. Kesadaran bahwa dunia sistem keuangan saat ini tidak ideal. Kesadaran bahwa uang kertas global hari ini bukan alat tukar netral, melainkan alat dominasi.
Kesadaran bahwa sistem ini bukan semata tentang ekonomi, tapi tentang kekuasaan, politik, dan arah peradaban. Karena selama dunia masih menukar hasil kerja kerasnya dengan kertas yang dicetak tanpa jaminan yang setara, maka dagang tetap bisa menjadi perang.